Kiana tergesa-gesa di Lorong Istana. Dia sedikit berlari setelah mendengar berita hari ini. Elisa sudah bangun dari tidurnya. Itulah yang didengarnya dari tabib baru-baru ini. Padahal belum ada sejam dirinya meninggalkan gadis itu.
Sebenarnya bukan hanya itu, ada yang lebih mengejutkan lagi. Maka dari itu ia ingin melihat dengan matanya sendiri. Ia tidak bisa mempercayai tabib itu tanpa adanya bukti.
"Tidak mungkin!" ucap Kiana saat sudah berada di sana. Kedua tangannya refleks menutup mulut setelah melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia benar-benar tidak bisa mempercayainya.
Seorang gadis telah duduk dan tersenyum manis padanya. Padahal baru beberapa jam yang lalu, ia melihat Elisa masih terbaring lemah. Bahkan wajahnya begitu pucat. Namun, sekarang sepertinya berbalik arah. Wajah gadis itu sudah cerah kembali. Tak hanya itu, apa yang dikatakan tabib tadi benar adanya. Luka di tubuh Elisa telah hilang tak berbekas.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana mungkin luka sebesar dan separah itu bisa menghilang? Bahkan kulitnya tak sedikit pun ada bekas dari luka tersebut.
'El, kapan kau bangun?" tanya Kiana mendekati gadis yang masih tersenyum padanya.
"Baru saja Kia, berapa lama aku tertidur?" tanya Elisa.
Kiana tidak tahu sudah melewatkan waktu berapa lama. Selama ini ia hanya merasa sedang tidur. Dalam tidurnya ia bertemu dengan seorang pria, tapi tak dapat mengenalinya. Wajah pria itu tertutup oleh cahaya putih.
"Dua hari, kau sudah tidak sadarkan diri selama itu."
Kiana memperlihatkan dua jarinya ke arah Elisa, lalu duduk di samping gadis tersebut. Menatap Elisa dengan penuh tanda tanya. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Apa karena dirinya yang menaburkan bubuk itu? Apa tangannya bisa menyembuhkan luka?
Pikirannya teralihkan dengan pernyataan Elisa yang membuatnya melongo.
"Benarkah? Aku pikir sudah sebulan," ujar Elisa tanpa dosa.
Jawaban dari gadis itu benar-benar membuatnya terkejut. Bahkan dirinya menggelengkan kepalanya pelan.
"Kau kira dua hari itu sebentar El? Kau harus tahu jika aku begitu khawatir kau tak bisa diselamatkan, apalagi melihat luka-lukamu yang tak bisa mengering, meskipun kami sudah menggunakan ramuan yang mujarab," keluh Kiana dengan nada sedikit sedihnya. Wajahnya pun dibuat sesedih mungkin, hingga air matanya lolos begitu saja.
Sedangkan Elisa hanya memutarkan kedua bola matanya jengah. Teman barunya itu tidak bisa berakting seperti itu. Orang awam saja tahu jika Kiana sedang berbohong tentang air matanya.
"Bagaimana lukamu bisa sembuh, El?" tanya Kiana, mengusap air mata yang hanya sebulir saja. Elisa menyentuh di mana lukanya berada, tapi sekarang tidak ada lagi. Bahkan kulitnya lebih terasa halus dibandingkan sebelumnya. Ia juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Setahu dirinya, ia tidak pernah mengeluarkan sihir yang bisa menyembuhkan luka. Apa saat dirinya tidur, ia mengobati diri sendiri?
"Hei, kenapa kau melamun? Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Kiana melihat dengan kening berkerut.
"Ah, tidak. Ramuan apa yang kau berikan padaku?" tanya Elisa balik.
"Ini, bubuk ini yang kami gunakan El," ujar Kiana sambil memberikan sisa bubuk berwarna abu-abu di dalam botol kaca.
"Bubuk apa ini?" tanya Elisa lagi.
Dirinya mengamati bentuk botol itu, hingga mencium bubuk tersebut dari botolnya. Tidak mungkin bubuk seperti ini bisa menyembuhkannya. Ini hanya bubuk abu-abu biasa. Memang benar jika bubuk tersebut bisa menyembuhkan luka biasa, tapi luka yang didapat Elisa bukanlah luka biasa, tapi luka yang disebabkan oleh racun dari sihir. Itulah mengapa lukanya tak bisa sembuh dan kering dalam dua hari ini.
"Itu terbuat dari ekstrak daun dan buah Basella. Kau tahu tanaman itu bukan?" jelas Elisa.
Kiana tahu betul kegunaan tersebut. Namun, satu kegunaan yang tak ia jabarkan pada mereka. Tanaman merambat dengan daun berbentuk hati tersebut juga bisa digunakan sebagai pembuat halusinasi bagi siapa saja yang meminumnya. Tidak main-main, yang digambarkan adalah ketakutan masa lalu orang itu.
"Apa bubuk itu bisa sehebat ini? Aku tidak pernah melihat hal seperti ini. Bahkan kulitmu terlihat lebih segar dan lembut, El," ujar Kiana menyentuh tangan Elisa.
Elisa benar-benar terkejut. Saat masuk ke dalam kamar tadi, ia pikir hanya matanya saja yang salah, tapi setelah lebih dekat, memang benar. Matanya tak salah melihat kelembutan kulit Elisa yang putih bersinar itu.
"Aku tidak tahu, tapi aku berterima kasih karena kalian telah menyembuhkanku, bahkan membiarkanku berada di istana untuk beberapa hari ini," ujar Elisa tulus.
Kiana dengan tulus mengucapkannya. Seandainya saja dirinya tak bertemu dengan orang baik, mungkin sejak awal tubuhnya telah dimangsa oleh binatang buas di hutan.
"Kau tidak perlu sungkan, El. Harusnya aku yang berterima kasih, karena kau sudah kembali," ujar Kiana.
Kiana tidak ingin kehilangan teman seperti Elisa. Baginya, Elisa adalah gadis yang baik. Apalagi sekarang ia tahu jika Elisa adalah seseorang yang penting dalam kehidupan sang Alpha.
"Aku senang kau masih bisa bangun. Kami sudah tidak tahu lagi cara membangukanmu. Semua ramuan penyembuh sudah digunakan, tapi tak bisa menutup luka tersebut," Kiana menjelaskan pada Elisa.
"Terima kasih," ucap Elisa menyentuh punggung tangan Kiana yang tak kalah halus dari kulitnya.
"Sama-sama," jawab Kiana, "bagaimana dengan tubuhmu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Kiana.
Elisa menggerakkan tubuhnya perlahan, tapi tidak merasakan apa pun. Yang ia rasakan hanyalah rasa segar dan sepertinya tenaganya kini sedikit bertambah.
Saat memutarkan kepalanya ke arah samping jendela, sekilas dirinya melihat bayangan seseorang. Ia tidak tahu siapa itu. Yang pasti, bayangan itu adalah seorang pria. Keningnya sedikit mengerut ketika tidak merasakan aura apapun saat ini. Padahal, bayangan itu masih saja bersembunyi di balik pohon besar. Apa ada kaum lain yang datang ke sini? Bayangan hitam itu bukanlah kaum werewolf. Ia tahu jelas bagaimana aura seorang werewolf.
"El, apa yang kau lihat?" tanya Kiana yang sejak tadi memperhatikan gadis itu.
Matanya beralih ke arah luar jendela. Namun, tak mendapatkan apapun yang menarik untuk dipandang. Hanya ranting-ranting pohon besar yang hampir saja mengenai jendela tersebut. Mungkin, ia akan memerintah salah seorang prajurit untuk merapikan pohon itu.
"Hei, kau tak menjawab pertanyaanku," ujar Kiana lagi setelah tak mendapat jawaban dari Elisa.
"Eh, iya. Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Elisa berbalik melihat ke arah Kiana, lalu kembali menatap pohon besar itu sebentar.
Bayangan itu telah hilang. Elisa kembali memikirkan siapa pria itu. Mengapa ia berada di sini? Seperti mengintai sesuatu saja. Apa pria itu memang dari pack ini?
"Apa ada seseorang di luar sana?" tanya Kiana penasaran. Sejak tadi, gadis itu selalu melihat ke luar jendela. Entah apa yang dilihatnya.
"Tidak, aku hanya senang dengan pohon itu, sangat besar," ujar Elisa, merentangkan kedua tangannya memperagakan bagaimana besarnya pohon tersebut.
"Hahaha. Kau begitu lucu, El. Aku yakin raja dan ratu akan begitu senang mengenalmu. Ayo, kita ke tempat mereka," ajak Kiana, membuat Elisa membeku seketika.
"Untuk apa? Apa raja dan ratu ingin bertemu denganku?" tanya Elisa pura-pura ketakutan. Padahal, dirinya begitu senang bisa mengenal mereka. Itu artinya ia bisa lebih dekat dan mengetahui situasi kerajaan secara cepat. Dengan begitu, balas dendamnya akan cepat tuntas.
"Kau takut?" tanya Kiana melihat tingkah Elisa yang sedikit kikuk. "Kau tak perlu takut, raja dan ratu hanya ingin bertemu dengan calon Luna," ucapnya lagi.
"Luna? Maksudnya apa?" tanya Elisa.
"Nanti juga kau akan tahu, ayo kita harus pergi sekarang. Mereka sedang menunggu di sana." Kiana menarik tangan Elisa agar bisa berdiri dan berjalan lebih cepat. Ia tidak ingin dimarahi oleh raja dan ratu, karena memang sejak tadi keduanya sudah tidak sabar ingin bertemu Elisa, sang gadis penyelamat putri mereka.
Sampai mereka tiba di pintu tinggi yang dijaga oleh para warrior, jantung Liana berdetak hebat ketika pintu itu semakin terbuka lebar. Perasaannya campur aduk. Ada rasa takut sekaligus senang dalam dirinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren.Ia menatap Elisa penuh rasa penasaran. Untuk apa gadis itu ada di taman terbengkalai sendirian? Ke mana orang lain? Apa dia berjalan ke sini sendiri?"Eh, kau mengagetkanku," sahut Elisa, sedikit terkejut.Ia langsung memasang wajah jutek, tapi tampaknya Daren tidak terlalu peka dengan sikapnya itu."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang membawamu?" Daren bertanya lagi."Itu bukan urusanmu," balas Elisa ketus. Ia benar-benar tidak ingin berada satu tempat dengan pria itu."El, kau keterlaluan pada pasanganmu sendiri," tegur Ivy."Biarkan saja. Dia memang pantas menerimanya," jawab Elisa dingin.Ia menjauh dari Daren. Tak sudi berlama-lama di dekat pria yang membuat hidupnya porak-poranda. Karena Daren, ia sering terbaring di ruang tabib. Karena pria itu juga, nyawanya selalu terancam oleh para rogue."Hei," panggil Daren, mencoba mendekati.Ia tahu Elisa menghindarinya akhir-akhir ini. Ia ingin tahu alasan sebenarnya. Mengapa Elisa selalu perg
Dua hari telah berlalu.Kini Elisa berada di sebuah lorong istana, sibuk mondar-mandir keluar masuk ruangan. Sejak pagi, ia fokus meracik ramuan untuk raja dan ratu—dua sosok paling penting di kerajaan ini. Setelah semuanya siap, ia menyerahkannya kepada pelayan yang akan mengantarkan ramuan itu.“Kia! Sudah siap belum?” teriak Elisa dari luar. Tak ada waktu untuk bersantai. Ia harus serius.Ramuan itu dibuat dari bahan herbal khusus untuk memulihkan tenaga sang raja dan ratu. Dari Kiana, ia mendengar bahwa kesehatan keduanya menurun drastis belakangan ini. Elisa menduga ada racun yang menggerogoti tubuh mereka, dan ia sudah lebih dulu memberi ramuan penawar berbahan dasar mandrake. Kini, ia hanya perlu menunggu reaksinya berkembang sepenuhnya.Setelah tugasnya selesai, Elisa berniat beristirahat di kamarnya yang lama. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ia temui.“El, kemarilah,” panggil pria itu dengan senyum lebar.Dulu, senyum itu membuat jant
“Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalau El bersamamu, selalu saja begini?” tanya Kiana dengan nada kesal.Daren hanya diam. Ia tak berniat menjawab, apalagi menanggapi pertanyaan adiknya itu. Tatapannya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajah yang tadi pucat kini mulai membaik—setidaknya tak lagi seperti mayat.“Bagaimana kondisinya? Apa lukanya sudah ditangani?” tanya Daren kepada para tabib yang berjaga di sisi ranjang.“Sudah, Alpha. Semua luka telah kami bersihkan dan balut. Dalam tiga hari, seharusnya ia sudah pulih,” jawab salah satu tabib.Kiana berdecak kesal melihat sikap kakaknya yang seolah mengabaikannya. Bahkan menatap pun tidak. Kalau saja dia bukan Daren—kakaknya sendiri—sudah dari tadi kepalanya dijitak.“Kalian boleh pergi,” ucap Daren tanpa mengalihkan pandangan dari Elisa.Perasaan lega perlahan muncul. Ia tahu, semua ini salahnya. Dan untuk itu, ia hanya ingin tinggal berdua dengan Elisa.“Kau juga pergi, Kia,” tambahnya pelan.K
Daren mengamati matenya dari balik pepohonan. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan ketika melihat Elisa menebas leher dua rogue dengan gerakan belatinya yang cepat dan mematikan. Kini, hanya tersisa dua musuh.“Ternyata kau cukup lincah untuk ukuran gadis muda,” ujar salah satu rogue sambil menyeringai.Sebenarnya mereka berniat kabur, namun melihat dua teman mereka mati membuat mereka enggan mundur. Harga diri mereka sebagai rogue tak membiarkan mereka lari dengan pengecut.“Jangan pernah meremehkanku!” teriak Elisa meski napasnya sudah tak beraturan.Tubuhnya lelah. Tenaganya terkuras. Membunuh dua rogue sebelumnya bukan perkara mudah, dan dua yang tersisa terlihat lebih tangguh dan berpengalaman.Elisa kembali mengangkat belatinya. Kedua rogue menyeringai, seolah tahu gadis itu hampir habis tenaga.Mereka mulai berpencar, mencoba mencari celah untuk menyerang. Elisa tetap siaga meski tubuhnya penuh luka. Cakaran dari serangan sebelumnya terasa menyengat.Tanpa sengaja, mata
Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belum menyentuh ikan yang ditawarkan oleh Dare
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D