Share

Chapter. 7

Kiana tergesa-gesa di Lorong Istana. Dia sedikit berlari setelah mendengar berita hari ini. Elisa sudah bangun dari tidurnya. Itulah yang didengarnya dari tabib baru-baru ini. Padahal belum ada sejam dirinya meninggalkan gadis itu.

Sebenarnya bukan hanya itu, ada yang lebih mengejutkan lagi. Maka dari itu ia ingin melihat dengan matanya sendiri. Ia tidak bisa mempercayai tabib itu tanpa adanya bukti.

"Tidak mungkin!" ucap Kiana saat sudah berada di sana. Kedua tangannya refleks menutup mulut setelah melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia benar-benar tidak bisa mempercayainya.

Seorang gadis telah duduk dan tersenyum manis padanya. Padahal baru beberapa jam yang lalu, ia melihat Elisa masih terbaring lemah. Bahkan wajahnya begitu pucat. Namun, sekarang sepertinya berbalik arah. Wajah gadis itu sudah cerah kembali. Tak hanya itu, apa yang dikatakan tabib tadi benar adanya. Luka di tubuh Elisa telah hilang tak berbekas.

Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana mungkin luka sebesar dan separah itu bisa menghilang? Bahkan kulitnya tak sedikit pun ada bekas dari luka tersebut.

'El, kapan kau bangun?" tanya Kiana mendekati gadis yang masih tersenyum padanya.

"Baru saja Kia, berapa lama aku tertidur?" tanya Elisa.

Kiana tidak tahu sudah melewatkan waktu berapa lama. Selama ini ia hanya merasa sedang tidur. Dalam tidurnya ia bertemu dengan seorang pria, tapi tak dapat mengenalinya. Wajah pria itu tertutup oleh cahaya putih.

"Dua hari, kau sudah tidak sadarkan diri selama itu."

Kiana memperlihatkan dua jarinya ke arah Elisa, lalu duduk di samping gadis tersebut. Menatap Elisa dengan penuh tanda tanya. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Apa karena dirinya yang menaburkan bubuk itu? Apa tangannya bisa menyembuhkan luka?

Pikirannya teralihkan dengan pernyataan Elisa yang membuatnya melongo.

"Benarkah? Aku pikir sudah sebulan," ujar Elisa tanpa dosa.

Jawaban dari gadis itu benar-benar membuatnya terkejut. Bahkan dirinya menggelengkan kepalanya pelan.

"Kau kira dua hari itu sebentar El? Kau harus tahu jika aku begitu khawatir kau tak bisa diselamatkan, apalagi melihat luka-lukamu yang tak bisa mengering, meskipun kami sudah menggunakan ramuan yang mujarab," keluh Kiana dengan nada sedikit sedihnya. Wajahnya pun dibuat sesedih mungkin, hingga air matanya lolos begitu saja.

Sedangkan Elisa hanya memutarkan kedua bola matanya jengah. Teman barunya itu tidak bisa berakting seperti itu. Orang awam saja tahu jika Kiana sedang berbohong tentang air matanya.

"Bagaimana lukamu bisa sembuh, El?" tanya Kiana, mengusap air mata yang hanya sebulir saja. Elisa menyentuh di mana lukanya berada, tapi sekarang tidak ada lagi. Bahkan kulitnya lebih terasa halus dibandingkan sebelumnya. Ia juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Setahu dirinya, ia tidak pernah mengeluarkan sihir yang bisa menyembuhkan luka. Apa saat dirinya tidur, ia mengobati diri sendiri?

"Hei, kenapa kau melamun? Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Kiana melihat dengan kening berkerut.

"Ah, tidak. Ramuan apa yang kau berikan padaku?" tanya Elisa balik.

"Ini, bubuk ini yang kami gunakan El," ujar Kiana sambil memberikan sisa bubuk berwarna abu-abu di dalam botol kaca.

"Bubuk apa ini?" tanya Elisa lagi.

Dirinya mengamati bentuk botol itu, hingga mencium bubuk tersebut dari botolnya. Tidak mungkin bubuk seperti ini bisa menyembuhkannya. Ini hanya bubuk abu-abu biasa. Memang benar jika bubuk tersebut bisa menyembuhkan luka biasa, tapi luka yang didapat Elisa bukanlah luka biasa, tapi luka yang disebabkan oleh racun dari sihir. Itulah mengapa lukanya tak bisa sembuh dan kering dalam dua hari ini.

"Itu terbuat dari ekstrak daun dan buah Basella. Kau tahu tanaman itu bukan?" jelas Elisa.

Kiana tahu betul kegunaan tersebut. Namun, satu kegunaan yang tak ia jabarkan pada mereka. Tanaman merambat dengan daun berbentuk hati tersebut juga bisa digunakan sebagai pembuat halusinasi bagi siapa saja yang meminumnya. Tidak main-main, yang digambarkan adalah ketakutan masa lalu orang itu.

"Apa bubuk itu bisa sehebat ini? Aku tidak pernah melihat hal seperti ini. Bahkan kulitmu terlihat lebih segar dan lembut, El," ujar Kiana menyentuh tangan Elisa.

Elisa benar-benar terkejut. Saat masuk ke dalam kamar tadi, ia pikir hanya matanya saja yang salah, tapi setelah lebih dekat, memang benar. Matanya tak salah melihat kelembutan kulit Elisa yang putih bersinar itu.

"Aku tidak tahu, tapi aku berterima kasih karena kalian telah menyembuhkanku, bahkan membiarkanku berada di istana untuk beberapa hari ini," ujar Elisa tulus.

Kiana dengan tulus mengucapkannya. Seandainya saja dirinya tak bertemu dengan orang baik, mungkin sejak awal tubuhnya telah dimangsa oleh binatang buas di hutan.

"Kau tidak perlu sungkan, El. Harusnya aku yang berterima kasih, karena kau sudah kembali," ujar Kiana.

Kiana tidak ingin kehilangan teman seperti Elisa. Baginya, Elisa adalah gadis yang baik. Apalagi sekarang ia tahu jika Elisa adalah seseorang yang penting dalam kehidupan sang Alpha.

"Aku senang kau masih bisa bangun. Kami sudah tidak tahu lagi cara membangukanmu. Semua ramuan penyembuh sudah digunakan, tapi tak bisa menutup luka tersebut," Kiana menjelaskan pada Elisa.

"Terima kasih," ucap Elisa menyentuh punggung tangan Kiana yang tak kalah halus dari kulitnya.

"Sama-sama," jawab Kiana, "bagaimana dengan tubuhmu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Kiana.

Elisa menggerakkan tubuhnya perlahan, tapi tidak merasakan apa pun. Yang ia rasakan hanyalah rasa segar dan sepertinya tenaganya kini sedikit bertambah.

Saat memutarkan kepalanya ke arah samping jendela, sekilas dirinya melihat bayangan seseorang. Ia tidak tahu siapa itu. Yang pasti, bayangan itu adalah seorang pria. Keningnya sedikit mengerut ketika tidak merasakan aura apapun saat ini. Padahal, bayangan itu masih saja bersembunyi di balik pohon besar. Apa ada kaum lain yang datang ke sini? Bayangan hitam itu bukanlah kaum werewolf. Ia tahu jelas bagaimana aura seorang werewolf.

"El, apa yang kau lihat?" tanya Kiana yang sejak tadi memperhatikan gadis itu.

Matanya beralih ke arah luar jendela. Namun, tak mendapatkan apapun yang menarik untuk dipandang. Hanya ranting-ranting pohon besar yang hampir saja mengenai jendela tersebut. Mungkin, ia akan memerintah salah seorang prajurit untuk merapikan pohon itu.

"Hei, kau tak menjawab pertanyaanku," ujar Kiana lagi setelah tak mendapat jawaban dari Elisa.

"Eh, iya. Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Elisa berbalik melihat ke arah Kiana, lalu kembali menatap pohon besar itu sebentar.

Bayangan itu telah hilang. Elisa kembali memikirkan siapa pria itu. Mengapa ia berada di sini? Seperti mengintai sesuatu saja. Apa pria itu memang dari pack ini?

"Apa ada seseorang di luar sana?" tanya Kiana penasaran. Sejak tadi, gadis itu selalu melihat ke luar jendela. Entah apa yang dilihatnya.

"Tidak, aku hanya senang dengan pohon itu, sangat besar," ujar Elisa, merentangkan kedua tangannya memperagakan bagaimana besarnya pohon tersebut.

"Hahaha. Kau begitu lucu, El. Aku yakin raja dan ratu akan begitu senang mengenalmu. Ayo, kita ke tempat mereka," ajak Kiana, membuat Elisa membeku seketika.

"Untuk apa? Apa raja dan ratu ingin bertemu denganku?" tanya Elisa pura-pura ketakutan. Padahal, dirinya begitu senang bisa mengenal mereka. Itu artinya ia bisa lebih dekat dan mengetahui situasi kerajaan secara cepat. Dengan begitu, balas dendamnya akan cepat tuntas.

"Kau takut?" tanya Kiana melihat tingkah Elisa yang sedikit kikuk. "Kau tak perlu takut, raja dan ratu hanya ingin bertemu dengan calon Luna," ucapnya lagi.

"Luna? Maksudnya apa?" tanya Elisa.

"Nanti juga kau akan tahu, ayo kita harus pergi sekarang. Mereka sedang menunggu di sana." Kiana menarik tangan Elisa agar bisa berdiri dan berjalan lebih cepat. Ia tidak ingin dimarahi oleh raja dan ratu, karena memang sejak tadi keduanya sudah tidak sabar ingin bertemu Elisa, sang gadis penyelamat putri mereka.

Sampai mereka tiba di pintu tinggi yang dijaga oleh para warrior, jantung Liana berdetak hebat ketika pintu itu semakin terbuka lebar. Perasaannya campur aduk. Ada rasa takut sekaligus senang dalam dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status