Nyonya Ratih begitu cemas tentang kesehatan putranya dan menatap Kiya dengan tatapan harap-harap cemas. Takut jika putranya akan tamnah sakit dan semakin hari semakin memburuk. “Aku meminta padamu suster Kiya,” kata nyonya Ratih, menggenggam tangannya dengan erat. “Hanya bisa berharap padamu untuk kesembuhan putraku,” tambahnya dengan nada khawatir dalam suaranya.
Kiya merasakan kekhawatiran Nyonya Ratih dan melepaskan satu tangannya seraya mengusap bahu ibu yang cemas itu. Dia ingin menenangkan orang tua itu agar tidak khawatir berlebihan, "Ini sudah tanggung jawab Kiya," jawabnya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. "Nyonya tidak perlu khawatir, Kiya akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan tuan arvin nyonya.”"Terima kasih banyak, jika gaji kamu kurang akan saya tambah," ucapnya dengan nada tulus.Namun, Kiya menolak tawaran tersebut dan mengatakan bahwa itu tidak perlu, "Tidak nyonya, itu sudah sangat cukup dan malah lebih banyak dari gaji saya di kampung halaman.""Pengasuh di kampung besar menerima bayaran hanya sekitar satu juta rupiah sebulan, sedangkan gaji yang saya terima di sini sudah sangat besar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saya," Kiya melanjutkan penjelasannya.Tiba-tiba Tuan Muda Arvin menggelung dengan cepat, dan Kiya segera merespons dengan segera menggapainya dan membantunya membalikkan tubuhnya dan merengkuh guling. Kiya tahu bahwa Tuan Muda Arvin butuh bantuan karena tidak bisa membalikkan tubuhnya sendiri. Meskipun Kiya tahu bahwa Tuan Muda Arvin tidur, ia tidak pernah tinggal kamar tersebut untuk melakukan aktivitas apa pun.Menurut Kiya, kamar Tuan Muda Arvin sangat lengkap dan nyaman. Kamar tersebut dilengkapi dengan dapur mini, sehingga Kiya bisa membuat minuman hangat menggunakan kompor listrik yang terletak di dekat balkon. Selain itu, kamar tersebut juga dilengkapi dengan kulkas yang berisi hanya air es dan beberapa buah.Saat itu, Kiya memperhatikan sebuah foto yang terpajang di atas meja Tuan Muda Arvin. Foto tersebut menampilkan pasangan yang sangat serasi dan di bawah fotonya tertulis kalimat yang membuat Kiya penasaran, 'Indah bersama bahagia ku denganmu pujaan hatiku.'Kiya bertanya-tanya dalam hati, apakah foto itu adalah istrinya atau tunangannya Tuan Muda Arvin. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya kepada Tuan Muda Arvin, mengingat privasi dan etika yang harus dijaga sebagai seorang perawat.Tak lama setelah memandangi foto itu, tiba-tiba pintu terbuka dan Mbok Marini masuk membawa troli makanan dan kardus besar. Kiya dengan sigap membantu Mbok Marini membawa barang-barang tersebut ke dalam kamar Tuan Muda Arvin.Kiya melihat jam dan menyadari bahwa Tuan Muda Arvin masih tidur. Ia memberitahu Mbok Marini, "Tuan muda masih tidur mbok, belum juga waktunya makan," sementara melihat jam yang menunjukkan pukul 13.45 WIB.Namun, Mbok Marini memberitahu Kiya bahwa bukan untuk Tuan Muda Arvin, melainkan makan siang untuk suster dan ada piring yang belum diambil. Mbok Marini juga memberikan titipan dari Nyonya Ratih.Kiya merasa senang dan terkesan dengan aroma makanan yang segar dan aroma ikan yang sangat menggiurkan. Ia menerima makanan itu dan menciumnya, "Enak aromanya mbok. Pasti dimasak dengan rasa cinta," jawabnya dengan rasa kagum terhadap keahlian memasak Mbok Marini.Mbok Marini menarik tangan Kiya dan membawanya ke balkon. Ia memperingatkan Kiya untuk berhati-hati dengan Nyonya Ratih dan segala yang diberikannya. "Jika nanti suster sakit salahkan saja anya, soalnya dia yang masak hari ini." tuturnya dengan nada khawatir.Kiya merasa bingung dan tidak mengerti tentang peringatan Mbok Marini. Ia bertanya, "Ada apa, Mbok?" dan Mbok Marini menjelaskan bahwa Nyonya Ratih memiliki motif yang jahat dan suka pada Tuan Muda Arvin, tetapi tanpa pengetahuan Tuan Muda Arvin.Mbok Marini Setelah tahu apa yang sedang Kiya pikirkan tentang foto di atas meja Tuan Muda Arvin dan menceritakan tentang Anya yang mencintai Tuan Muda Arvin secara diam-diam. Namun, setelah kecelakaan yang terjadi, Mbak Zee menghindari Tuan Muda Arvin sehingga Anya terlihat seperti kehilangan kesempatan.Kiya merasa kasihan pada Anya yang terlanjur mencintai Tuan Muda Arvin dalam diam-diam, dan merasa bahwa Mbak Zee seharusnya menemani Tuan Muda Arvin di saat susah sebagai pasangan yang seharusnya menjadi pendukung dan pelengkap kehidupan. "Kasian sekali ditinggal kekasihnya, datang mau kejayaan tapi saat terpuruk ini dia tak mau menemaninya," ujar Kiya yang prihatin."Ya, saya mengerti," jawab Kiya dengan penuh simpati terhadap pengalaman Mbok Marini. "Ini kasihan sekali untuk Tuan Muda Arvin, ditinggal kekasihnya saat terpuruk dalam keadaan sulit," lanjutnya dengan pandangan yang mengkhawatirkan.Kiya setuju dengan Mbok Marini bahwa Tuan Muda Arvin pasti sangat sedih dan kesepian setelah ditinggal kekasihnya, terutama ketika dia mengalami kesulitan."Saya ingatkan agar lebih berhati-hati dengan Anya. Dia tahu bagaimana menghasilkan uang dengan segala cara. Tuan muda, jangan biarkan dia sendirian." begitu kata-kata yang dilontarkan oleh Mbok Marini.Setelah makan siang bersama, Kiya dan Arvin duduk berdampingan di kamar. Matahari bersinar terik di luar, tetapi suasana di dalam kamar cukup tenang. Kiya menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang masuk melalui balon pintu kamar yang terbuka, membuat matanya terasa semakin berat. Akhirnya, rasa kantuk yang menggelora membuatnya perlahan menutup matanya dan terlelap.Ketika Arvin terbangun, ia melihat Kiya yang sedang terlelap dengan posisi duduk, meskipun sebagian wajahnya terhalang rambut. Hanya bagian pipi Kiya yang terlihat oleh Arvin. Namun, pikiran Arvin tertuju pada sosok Zee, saat Arvin merasa sakit karena pikirannya membuatnya emosi. Tangan Arvin secara spontaneous mendorong Kiya dengan kencang.Tetapi, tiba-tiba, Kiya merintih dan meraih pelipisnya, menunjukkan bahwa kepala gadis itu telah mengenai tiang ranjang. "Aaaww!”"Apa yang terjadi, Tuan? Tidak perlu didorong begitu kuat, sakit tahu?" tanya Kiya sambil merapikan penampilannya dan menahan rasa sakit di pelipisnya."Maaf, aku merasa terganggu dengan pikiranku. Aku tidak bermaksud menyakitimu," jawab Arvin dengan suara lembut.Kiya mengangguk mengerti dan merasa lega karena Arvin tidak bermaksud menyakiti dirinya. Ia segera merapikan penampilannya dan menenangkan diri sebelum melanjutkan aktivitasnya."Sudah sore, ayo mandi," ajak Kiya tegas.Arvin menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Untuk apa mandi? Saya tidak pernah mandi. Hanya cuci muka sudah cukup."Kiya menatap Arvin dengan heran. “Kamu bercanda, kan? Tentu saja kita harus mandi. Apalagi setelah seharian beraktivitas. Tuan harus membersihkan diri agar badan tetap sehat dan segar.”Kiya langsung meringis dan menunjukkan wajah meremehkan. "Karena itu kau terlihat kucel, kumel, dan dekil," balasnya dengan nada mempermalukan Arvin.Arvin pun merasa tersindir dan berusaha membela diri, "Tapi mau kan uang dariku?"Kiya mengangguk dan menjawab dengan tegas, "Iya, tetapi bukan berarti kau dapat seenaknya tidak menjaga kebersihan dan penampilanmu. Semua orang seharusnya merawat dirinya dengan baik."Arvin merenung sesaat. Ia merasa malu karena tidak menyadari bahwa penampilannya yang tidak rapi bisa mempengaruhi pandangan orang lain terhadap dirinya. Ia bertekad untuk memperbaiki kebiasaannya dan menjaga penampilannya dengan lebih baik.Ketika Dinda memasuki kamar Arvin, ia langsung memberikan salam pagi dengan ramah."Selamat pagi, Tuan," ucapnya sopan.Arvin memandang Dinda, masih terbaring di atas tempat tidur dan masih terlihat kurang segar. Namun, ia tak dapat menahan rasa penasaran saat melihat ke hadapan."Kok kamu bukan Kiya? mana Kiya?" tanya Arvin penasaran."Duh, Kiya terlambat bangun pagi. Ia sedang mandi," jawab Dinda sambil mempersiapkan sarapan Arvin. Ia meletakkan susu dan roti di atas meja kecil di sebelah tempat tidur Arvin.Arvin merespon jawaban Dinda dengan mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Ia masih menatap bingung ke depan, sementara Dinda merapikan meja makan.Arvin masih menatap ke arah lampu gantung di atas plafon kamar tidurnya, seakan tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walaupun mata terbuka lebar, raut wajahnya masih menampakkan tanda-tanda mengantuk.Namun, Dinda mengamati Arvin dari jauh dan terus memantau tubuh tuannya yang malas bangkit. Ia menunggu Kiya datang, sementara caha
Di sebuah meja makan, Kiya duduk bersama Arvin, Nyonya Ratih, dan seluruh staf pelayan yang lainnya. Makan malam disajikan dalam suasana yang indah di teras rumah keluarga Arvin yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan.Mereka duduk untuk menikmati makanan yang tersedia di meja. Kiya hanya memperhatikan Rey saat ia sedang menikmati santapannya dengan lahap."Aku ingin ayam bagian kanan," ucap Rey sambil menunjuk pada potongan ayam yang berada di depan Arvin."Yang mana yang kanan? Sejauh ini, aku tidak melihat adanya tanda penunjuk pada potongan ayam untuk membedakan antara kanan dan kiri," tanya Kiya dengan nada agak kesal."Kalau begitu, mohon ambilkan yang bagian kanan atau tanyakan pada si ayam sendiri," jawab Rey dengan sok cuek.Seketika suasan di dalam ruangan tersebut menjadi riuh gembira karena mereka menertawakan apa yang telah diucapkan oleh Rey. Tawa riang terdengar di seluruh ruangan dan bahkan seorang pria bernama Arvin pun tersenyum kecil ketika melihat Rey dengan
Ketika Tuan Muda Arvin melihat wajah Kiya, ia merasa khawatir. Wajah Kiya terlihat sembab dan pucat, menandakan bahwa ia masih sakit. Namun, meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, Kiya tetap bersedia menemani Arvin untuk berlatih berjalan.Arvin menginjak kedua kakinya pada lantai dengan berpegangan pada alat peraga di dekatnya. Kiya berdiri di sisinya dengan memperhatikan gerakan dan langkah Arvin. Meskipun Kiya diam dan tidak berkomentar apapun, jelas terlihat bahwa ia khawatir dan ingin memastikan Arvin aman selama berlatih.Namun, tiba-tiba Arvin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kiya cepat bereaksi untuk menolongnya, menarik lengannya agar Arvin tidak benar-benar jatuh."Biar Kiya bantu," ucap Kiya dengan suara lembut, menawarkan bantuan pada Arvin."Enggak, aku bisa sendiri," jawab Arvin dengan sedikit kesal. Dia ingin membuktikan pada Kiya bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.Kiya memperhatikan Arvin dengan seksama saat ia mencob
Kiya merasakan denyutan sakit yang menyengat tubuhnya, sementara rasa ketakutan memenuhi dirinya. Dia menyesal tiba-tiba datang ke ruangan yang salah, tempat yang seharusnya dihindarinya. Ruangan itu bau dan gelap, ada sepasang mata kejam yang menatapnya dengan penuh amarah.Saat tak bisa menahan ketakutannya, Kiya berteriak meminta tolong, berharap ada seseorang yang akan mendengarnya. Tapi, suaranya hanya bergema di dinding yang dingin, dengan tangisannya yang tak berdaya. Tanpa Nyonya Ratih, Kiya tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia mungkin akan kehilangan kesuciannya, yang sulit diraih dan dijaga selama ini.Mendadak ibu Kiya bertanya dengan nada tinggi, "Kamu ngapain ke juragan?"Kiya terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak ada yang dibahas lagi, Kiya nggak mau dijodohkan dengan juragan tua itu. Cocoknya itu buat ibu," ujarnya dengan sedikit keras.Sontak, ibunya merasa tersinggung dengan ucapan anaknya yang membandingkan dirinya dengan juragan tua itu dan membenta
🍒Rumah Sakit🍒Kiya yang baru saja dipindahkan ke ruangan perawatan merasa sangat lelah dan pusing. Infus menancap di tangannya dan tubuhnya terasa lemas. Namun, suasana yang semakin memanas antara ayah dan ibunya membuatnya semakin pusing.Kedua orang tua Kiya terus bertengkar mengenai calon pasangan hidup Kiya. "Kiya harus menikah dengan juragan Feri," ucap ibu dengan teguh pada pendiriannya.Namun, ayah Kiya tidak setuju dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. "Nggak! Masa depan anakku ada di tanganku," jawab ayah dengan tegas.Ibu Kiya masih tetap berpegang pada pendapatnya mengenai uang yang bisa didapatkan dari juragan Feri jika Kiya menikah dengan dia. "Uang juragan Feri itu banyak dan besar, kita bisa dapat untung berkali-kali lipat," ucap ibu Kiya dengan meyakinkan."Dari dulu kamu memikirkan uang terus. Nggak berubah jadi perempuan malah menjadi materialistik," ucap ayah dengan tegas.Ibu mencoba membela diri dengan mengingatkan bahwa ayah dan dia adalah pasangan yang tel
Kiya berada di kamar bersama Dinda yang sangat perhatian padanya, sembari Dinda mengompresnya dengan hati-hati. Saat itu Kiya masih merasakan demam dan merasa tidak enak badan."Kamu panas kok nggak turun-turun dari tadi siang?" tanya Dinda dengan nada perhatian.Kiya mempersilahkan Dinda untuk merasakan suhu tubuhnya, dan Dinda langsung merasa kehangatan yang ada pada tubuh Kiya. Dinda langsung kebingungan mengikuti Kiya mengapa Kiya tidak mau memberitahukan hal ini dengan baik terlebih dahulu sebelum Kiya diserang sakit."Kamu harus istirahat dengan baik, kamu belum pulih sepenuhnya," ujar Dinda sambil memperhatikan Kiya dengan intensif.Di malam itu, rutinitas makan malam dimulai dan Dinda menjaga Rey, anak kecil yang susah diatur. Dinda sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian terhadap Rey, sambil mempersiapkan makan malam.Dinda mencoba membujuk Rey agar mau makan dan menyimpan makanan yang sehat untuknya. Namun, Rey tetap bersikeras bahwa dia tidak suka makan tersebut dan me