Share

Memandikan, Kata Pedas

Kiya sudah berkali-kali memperingatkan Tuan Muda Arvin untuk mandi setiap hari, tetapi kali ini Tuan Muda Arvin menolak untuk mandi karena ia begitu lelah setelah seharian bekerja.

Kiya dengan nada lembut bertanya, "Tuan Muda, apakah Tuan masih tak ingin mandi?”

Tuan Muda Arvin dalam nada sombongnya menjawab kembali, "Saya tidak butuh mandi untuk merasa bersih, Kiya. Saya selalu merawat kebersihan tubuh saya dengan cara lain."

Kiya dengan sabar mencoba mengubah pikiran Tuan Muda Arvin dan menjaga kesehatannya dengan berkata, "Mandi itu penting, Tuan Muda. Mandi bukan hanya untuk membuat kita merasa bersih, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh kita dari berbagai penyakit yang bisa menyerang kulit dan tubuh."

Tuan Muda Arvin masih terlihat enggan dan menjawab, "Sudahlah, Kiya. Saya tidak butuh mandi. Saya cukup merasa bersih dengan cara saya sendiri."

"Tak perlu lagian aku ini menjijikkan dan hina," ucap Tuan Muda Arvin

Kiya menunjukkan foto seorang wanita di ponselnya dan berkata, "Kata siapa? Kata wanita di foto itu?" Sontak Arvin terkejut dan kembali diam.

"Sudahlah cepat mandi, untuk apa Tuan tidak mandi yang ada tambah dikucilkan nanti," ucap Kiya dengan nada kesal. Kiya sudah kesal karena Arvin masih enggan untuk mandi meskipun sudah waktunya. Padahal mereka masih memiliki jadwal yang harus ditepati.

"Tapi Kiya!" sahut Arvin mencoba mempertahankan diri.

Tak ingin mendengar alasan apapun, Kiya merasa kesal dan langsung bergerak cepat. Dia dengan cepat mulai melepas semua pakaian yang dikenakan oleh Arvin, hingga tidak tersisa apa-apa selain pakaian dalam transparan yang dikenakannya.

Arvin masih merasa tidak nyaman dan terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh Kiya sebelumnya. Namun, dia merasa sedikit lebih baik setelah mendengar permintaan maaf dari Kiya.

Arvin terdiam saat itu, dia kebingungan dan kewalahan oleh tindakan Kiya yang tiba-tiba. Dia merasa kehilangan kata-kata yang ingin diucapkan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Setelah meninggalkan Tuan Muda Arvin tanpa sehelai benang yang melilit di tubuhnya, Kiya segera menyiapkan air untuk mandi di bathtub. Dia ingin memberikan pengalaman mandi yang menyenangkan untuk Arvin setelah insiden sebelumnya.

Kiya memastikan suhu air dan kualitas sabun yang digunakan sesuai dengan keinginan Arvin. Setelah semuanya siap, Kiya memanggil Arvin untuk mandi. Arvin terlihat masih shock dengan tindakan sebelumnya, namun dia sadar bahwa Kiya ingin memberikan yang terbaik untuknya.

"Kamu teriak suruh aku lari ke kamar mandi gitu?" tanya Arvin saat Kiya kembali.

Kiya merasa sedikit kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dia tersenyum kecil dan mengatakan, "Hehe, maaf Tuan Arvin, aku lupa.”

Dengan perlahan dan hati-hati, Kiya mengangkat tubuh Arvin dari tempat duduknya dan membawanya ke kursi roda. Dia memperhatikan setiap gerakan Arvin dan memastikan bahwa dia merasa nyaman. Setelah berhasil memindahkan Arvin ke kursi roda, Kiya kemudian mendorong kursi tersebut menuju kamar mandi.

Dengan perlahan, Kiya mulai menggosok tubuh Arvin sambil memastikan bahwa gerakannya lembut dan membuat Arvin merasa nyaman.

Arvin dengan senang hati memenuhi permintaan Kiya dan membantunya memulai proses pemandian.

Tangan Kiya bergerak perlahan, meratakan sabun di tubuh lembut Arvin. Perlahan-lahan, ia mulai mencuci rambut Arvin dengan lembut, meraba kulitnya dengan lembut. Sementara itu, Arvin menarik Kiya lebih dekat dan tiba tiba saja Arvin menyemprotkan shower.

"Tuan...! basah baju Kiya. Hentikan, Tuan!" pekik Kiya seraya menggosok ketiaknya yang berkeringat. Arvin memandangnya dengan dingin, mengevaluasi situasi tersebut. Dalam pandangan Arvin, tidak ada yang salah dengan Kiya yang basah kuyup. Kiya harus menyelesaikan kewajibannya, sedangkan Arvin telah memberinya jatah waktu untuk mandi.

"Aku mandi, kamu juga mandi. Kamu juga belum mandi, kan?" tanya Arvin dengan suara dingin.

"Sudah, kok," jawab Kiya sambil beberapa kali mengusap wajahnya untuk membuang air.

"Tadi pagi kan mandinya," potong Arvin dengan cepat. Kiya menatapnya dengan heran saat Arvin mendekatinya dengan senyum lebar. Tanpa ragu, Arvin merebahkan tangan kecilnya dan memukul permukaan air dengan indah. Kiya melihatnya dengan seksama dan kemudian bergabung dengannya, mengetuk-ngetuk air bersama-sama.

Tanpa henti, Arvin dan Kiya bermain air hingga Kiya pun basah kuyup. Kiya melihat Arvin dengan senyum. Mereka saling melempari semprotan air dan tertawa riang, menikmati kesenangan sederhana dalam keseharian mereka.

Arvin dan Kiya terus bermain air dengan riangnya dan tidak jelas waktu berlalu begitu cepat. Entah berapa lama mereka bermain, suara ketukan tiba-tiba terdengar. Arvin dan Kiya menoleh ke arah suara itu, dua pasang mata yang saling bertemu memiliki reaksi yang sama-- keraguan.

"Suster dipanggil Nyonya Ratih," ujar bodyguard Arvin.

"Iya, sebentar belum selesai Pak," jawab Kiya.

Segera setelah bodyguard Arvin memberitahu bahwa suster dipanggil oleh Nyonya Ratih, Kiya pun dengan sigap mengangkat Arvin dan membawanya ke kamarnya. Dengan penuh kehati-hatian, Kiya membantu Arvin melepaskan pakaian basah dan memakaikan kembali bajunya yang kering.

Namun tak hanya itu saja, Kiya juga memberikan minyak angin pada seluruh tubuh Arvin. Arvin merasa nyaman saat aroma minyak angin meresap ke dalam lututnya, tengkuk, hingga tulang ekornya.

"Sudah, taman ini jangan sedih lagi ya. Kiya akan selalu ada untuk Tuan, apapun yang terjadi," ucap Kiya dengan nada lembut. Ia menyelesaikan pekerjaannya untuk merapikan rambut Arvin, sambil memandang ke arah taman yang terlihat begitu tenang.

Arvin menatap Kiya dengan penuh perhatian, menghargai kehadirannya yang selalu menenangkan hatinya. "Terima kasih, Kiya. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa baik," ucap Arvin dengan lembut.

Kiya tersenyum dan melipatkan sisirnya di atas meja rias Arvin. Setelah selesai, ia menawarkan untuk menemani Arvin menonton televisi di kamarnya.

"Boleh, dan ambilkan hpku di lemari Mami Simpan," jawab Arvin dengan tersenyum.

Kiya mengambil HP Arvin dari lemari dan memberikannya kepadanya dengan lembut. Setelah itu, mereka duduk di depan televisi bersama-sama, menikmati waktu yang damai dan romantis di malam yang cerah.

***

Di meja makan, terlihat Kiya sedang duduk bersama baju basah kuyup yang baru saja dicuci. Di sampingnya, terlihat Anya dengan tatapan sinis yang ditujukan kepada Kiya.

“Ngapain kamu liat aku gitu?” tanya Kiya dengan sedikit gugup dalam nadanya.

“Pede amat,” ucap Anya dengan suara rendah.

Tatapan sinis Anya masih terhadap Kiya. Kiya mencoba untuk menghindari tatapan tersebut, menggeleng pelan, dan akhirnya menundukkan wajahnya ke arah piring kosong yang berada di depannya. Meskipun begitu, Kiya tetap bisa merasakan tatapan Anya yang mencibir di sampingnya.

“Kamu kenapa sih, Anya?” tanya Kiya dengan suara yang tetap terdengar gugup.

“Jangan dengarkan kata-kata Anya,Sus Kiya. Gantilah bajumu yang basah itu terlebih dahulu, nanti kamu sakit kalau tetap memakainya,” ucap Mbok Marini dengan suara lembut.

“Nanti aku akan memberitahu ibu besar kalau kamu sedang mengganti baju, ya,” timpal Dinda dengan senyum kecil di wajahnya.

“Iya, Mbok. Dinda benar, kamu sakit kalau tetap memakai baju basah di badanmu. Dan, cuacanya dingin sekali hari ini,” jawab Kiya seraya memandang ke luar jendela.

Tanpa menghabiskan waktu terlalu lama, Kiya bergegas untuk mengganti pakaiannya yang lembab dengan jaket dan piyama. Dia berterima kasih kepada Mbok Marini dan Dinda yang begitu perhatian terhadap dirinya.

“Saya tidak akan mempermasalahkan kesalahan yang sudah terjadi, tetapi saya ingin semua karyawan saya jujur dengan tindakan mereka. Jika ada yang tidak jujur, maka saya akan memberikan sanksi tanpa pandang bulu,” ujar Nyonya Ratih dengan tegas.

“Baik Nyonya, kami akan menerapkan prinsip kejujuran yang telah ditetapkan di sini,” ucap semua karyawan serentak, menunjukkan komitmennya terhadap kejujuran dalam bekerja.

Kiya menarik tisu dari saku jaketnya untuk menahan bersinnya.

Ketika sedang melakukan pekerjaannya, Kiya harus menahan diri untuk bersin karena dia sedang flu. Pada saat itulah, Nyonya Ratih memanggil namanya untuk menanyakan tugasnya dalam menjaga Arvin, salah satu tamu perusahaan.

"Suster saya tidak mendengar jawabanmu, Kiya. Bisa tidak kamu menjaga Arvin?" tanya Nyonya Ratih dengan nada tegas.

Kiya menatap Nyonya Ratih dengan tegar. Meskipun sedang tidak enak badan, dia masih mampu menjawab dengan sopan dan yakin. "Baik, Nyonya. Saya sudah paham tugas saya dalam menjaga Arvin," jawabnya sambil menarik tisu dari saku jaketnya untuk menahan bersinnya.

"Paling juga dia tulalit nyonya, pecat saja dia kerja saja nggak betul." Anya mengucapkan kata-kata tersebut dengan nada tinggi, seolah-olah dia paling benar tanpa melihat dari sudut pandang karyawan.

"Sudah cukup, Anya," tegas Nyonya Ratih. "Suster Kiya, kamu pergilah ke belakang dan ambil alih pekerjaan bik Siti. Dia sedang sakit dan kamu harus segera mengambil tindakan. Kain ompolnya sudah sangat banyak, dan stok yang tersedia sedang tipis," ujarnya dengan nada tegas dan jelas.

Kiya hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju dan kemudian berjalan menuju ruang belakang untuk mengambil alih pekerjaan dari Bik Siti. Sebelum masuk ke ruangan tersebut, Kiya tiba-tiba menatap Anya dengan tatapan tajam, memberikan peringatan yang jelas agar Anya tidak mengganggu para karyawan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status