"Apakah pangeran akan masuk lebih dulu? Bagaimana jika ada sesuatu yang berbahaya, dan mengancam keselamatan dibalik portal itu? Lebih baik saya yang terlebih dulu masuk ke dalam sana.""Tidak apa-apa, aku sudah siap menghadapi apapun yang ada dibalik sana. Kamu ikuti aku di belakang.""Baik, Pangeran."Kenzo langsung masuk ke dalam portal, tanpa ada rasa gentar. Diikuti Phineas yang masuk kemudian, diiringi sorakan dari seluruh penduduk Dimensi Ignis.Di dalam lorong dimensi, dua sosok itu tampak terombang ambing. Namun mereka berdua terlihat tetap tegak, dengan posisi bertahan tanpa ada rasa takut sedikitpun. Hingga tiba di ujung lorong, mereka melihat cahaya terang yang membuat mata mereka buta sementara.***(Dimensi Bumi)Disaat bersamaan, ketika Deffa dan Ara sedang makan di ruang makan. Dari kotak yang sudah disimpan kembali oleh Deffa dengan baik di kamar nenek, terbuka dengan sendiri secara tiba-tiba. Cahaya terang kembali keluar dari dalam kotak itu, tanpa ada seseorang yang
Pagi ini entah kenapa, aku lebih bersemangat saat bangun tidur. Rasa lelah yang setiap pagi aku rasakan, tidak terasa saat ini. Padahal jika hari-hari biasanya, aku lebih sering mematikan alarmku dan kembali menarik selimut untuk tidur lagi. Namun saat ini aku malah memasang alarm lebih pagi dari biasanya, dan tanganku tidak berusaha menarik selimut kembali.Begitu mendengar alarm, aku langsung bangun tanpa menunda sama sekali. Ini salah satu rekorku bangun pagi, setelah kepergian nenek. Dulu neneklah yang selalu membangunkan aku, jika alarm sudah tidak berfungsi. Tapi kini sepertinya sosok nenek yang membangunkanku dulu, sudah sedikit tergantikan dengan kehadiran Ara.Mungkin memang Ara salah satu penyemangatku saat ini, selain itu aku juga masih merasa cemas jika ternyata Ara sudah kembali ke tempat asalnya tanpa ada ucapan perpisahan. Bisa saja kotak itu mengembalikan Ara ketempat asalnya secara otomatis, karena kerusakan lorong dimensi itu. Namun Jika benar itu terjadi pasti aku
Aku mengatakannya saat sudah puas melihat Ara, dan kembali menemukan suaraku yang tadi sempat tercekat saat melihatnya. Ara yang mendengar ucapanku, terlihat mulai sedikit paham dengan apa yang aku lakukan tadi dan apa yang kuucapkan barusan. Mungkin dia sudah tahu dengan membaca pikiranku saat ini, tapi aku tidak peduli dengan itu. Aku memang ingin agar dia tahu apa yang aku pikirkan saat ini, dan mengerti akan perasaanku. Walaupun aku juga tidak terlalu berharap, kalau dia memiliki perasaan yang sama denganku. "Maaf jika membuatmu khawatir, Deffa. Aku hanya pergi melihat-lihat isi rumah ini, aku sangat tertarik dengan banyak hal di rumah ini.""Apa kamu tidak bisa tidur nyenyak, karena berada di tempat baru? Apalagi perbedaan waktu antara dimensi kita?""Tidak, Deffa. Aku tidur sangat nyenyak semalam, entah kenapa aku seperti bisa menyesuaikan waktu di tempat ini.""Apakah kamu yakin? Bukan hanya karena kamu ingin menyenangkanku bukan?""Aku serius, Deffa. Aku bahkan merasa badank
"Apakah terlalu pedas? Kalau kamu tidak suka tidak perlu dipaksakan.""Bukan seperti itu, Deffa. Memang ini pertama kalinya aku merasakan rasa yang seperti ini, tapi rasa yang menggelitik lidah ini aku sangat suka""Syukurlah kalau kamu suka. Aku kira kamu tidak akan cocok dengan rasa itu, sebenarnya rasa pedas yang asli seperti membakar lidah. Tapi rasa itu membuat kita semakin nikmat untuk makan, dan membuat ingin terus makan.""Jadi ada rasa yang lebih pedas dari ini? Ini benar-benar sangat enak Deffa, aku mau mencoba yang lebih pedas lagi!"Begitulah Ara kalau sudah bersemangat, padahal dipertemuan pertama kami dia terlihat sedikit menakutkan dengan suaranya yang mengancam. Siapa mengira kalau ternyata sifatnya seperti sekarang ini, bahkan dia terlihat sangat imut dengan sifatnya itu. Sikap garang yang dia perlihatkan waktu itu benar-benar sudah hilang, mungkin karena kini dia mulai nyaman denganku. Bolehkan jika aku sedikit percaya diri tentang ini, aku hanya ingin mempercayai kal
"Iya bro, kamu bercanda kan? Apa karena kepergian Nenek yang membuatmu sangat kesepian? Sampai-sampai kamu mengarang cerita seperti ini, atau kamu berhalusinasi?""Benar kata Bima, Def. Mungkin kamu jadi berhalusinasi karena kepergian Nenek, mau aku antarkan ke psikiater kenalanku?"Aku tidak suka dengan ekspresi wajah mereka saat ini, yang terlihat sedih dan kasihan. Walaupun aku sudah menduga sebelumnya, tapi nyatanya merasakan secara langsung lebih menyakitkan. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan mereka, karena siapapun orangnya akan berpikiran sama dan menganggap aku gila saat bercerita seperti ini."Aku sehat, aku juga tidak berhalusinasi. Awalnya akupun juga tidak mempercayai apa yang terjadi, tapi aku sudah berinteraksi dengannya sejak kemarin. Bahkan kami baru saja kami selesai sarapan bersama, aku belum sempat menyingkirkan piringnya.""Lalu kenapa kamu tidak menceritakannya sejak awal Def? Mungkin aku dan Eli bisa melihatnya sejak awal, dan tidak akan berpikir kalau kamu ha
Aku tidak menyangka apa yang aku lihat, ternyata hanya udara kosong. Di belakangku memang tidak ada siapapun, lalu dimana Ara tadi? Bukankah tadi jelas dia mengikutiku di belakang?Tapi mengapa dia tidak terlihat saat ini?Akupun langsung berlari kembali ke kamar Nenek, aku hanya takut dia benar-benar menghilang sat ini. Sesampainya di kamar, perasaan lega membuat perasaanku tidak menentu. Ternyata Ara masih duduk di atas kasur, hari ini aku merasa senam jantung berkali-kali karena takut dia menghilang. Tapi aku juga diselimuti rasa lega dan bahagia berkali-kali pula saat melihat dia tetap bersamaku."Ara, kenapa kamu tidak ikut keluar? Aku kira tadi kamu mengikutiku dari belakang.""Maaf, Deffa. Aku masih takut menemui mereka.""Bukannya biasanya kamu bisa bersikap garang? Waktu pertama kali kita bertemu, aku sampai merasa takut dengan ancamanmu.""Kamu benar, Deffa. Biasanya aku tidak penakut seperti ini, entah kenapa aku bisa sekhawatir dan setakut ini."Mungkin kekhawatirannya itu,
"Kalian nanti akan tahu sendiri.""Sok misterius kamu, Def!""Apa dia bisa di pegang, Def?"Pertanyaan konyol dari Eli, membuatku sangat kaget. Ternyata dari tadi dia diam, karena memikirkan hal itu. Ara memang sangat berbeda dari kami, jadi wajar jika dia sampai sekaget ini. Padahal dia selalu berpikiran logis, dan menentang jika ada yang bercerita tentang hal mistis atau dongeng. Dan sekarang pemikiran itu terbantahkan, saat melihat keberadaan Ara ternyata benar-benar nyata. Mungkin Ara saat ini juga bisa membaca pemikiran mereka, melihat kini dia sudah lebih percaya diri dibanding sebelumnya. Ya, inilah Ara saat kami pertama kali bertemu, tatapannya yang tajam cukup mengintimidasiku waktu itu."Silahkan, kalau kamu berani. Tapi aku tidak bisa jamin, kalau setelahnya badanmu masih utuh."Aku memasang wajah netral saat mengatakannya, padahal aku sangat bersusah payah menahan tawaku. Kapan lagi aku bisa mengerjai Eli seperti ini, biarlah nanti pawangnya yang akan menenangkan kalau di
Tentu mereka berdua akan berpikir begitu, karena fisik Ara memang terlihat sangat mencolok. Apalagi di dunia teknologi yang serba canggih ini, bisa-bisa Ara di culik untuk di teliti. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik, namun tetap saja aku sangat ingin mengajak Ara melihat dunia luar."Aku mengira kalau hanya aku yang bisa melihatnya, maka dari itu aku meminta kalian untuk membantuku.""Jadi apa yang bisa kami bantu?""Ya awalnya aku hanya ingin memastikan, apakah orang lain bisa melihatnya atau tidak. Tapi setelah tahu kalian juga bisa melihatnya, aku juga bingung harus bagaimana. Tidak mungkin Ara bisa keluar dengan kondisi seperti ini, bisa-bisa dia menjadi viral kemudian akan ada yang menculiknya dan menjadikannya bahan penelitian nantinya.""Walaupun bayanganmu sangat mengerikan, tapi Itu juga yang aku pikirkan, Def. Bukan hanya rambut, tapi juga kulit dan pakaiannya sangat mencolok. Iya kan, Sayang?"Benar kata Bima, kulit Ara juga sangat halus dan putih. Tanpa rambut