Pernah membayangkan cermin tua di loteng nenekmu bisa jadi portal ke dunia lain? Liora, gadis biasa dengan selera humor unik, mengalaminya! Ia terlempar ke Elysia, dunia magis yang berkilauan... namun kini di ambang kehancuran. Keindahan Elysia, yang dihuni elf anggun dan berdenyut dengan sihir Aether, terancam oleh Kaum Umbra yang haus kuasa. Dipimpin Komandan Vane Morwen yang dingin dan penuh perhitungan, mereka bernafsu merebut Crysalis Aetheria, jantung magis Elysia. Liora, yang awalnya hanya gadis sinis yang tersesat, justru menemukan takdir tak terduga. Ia adalah "Penenun Takdir" yang diramalkan, dengan kekuatan sihir es yang baru bangkit! Bersama Pangeran Riel yang mulia dan Arista, prajurit elf tangguh, Liora harus menempuh perjalanan berbahaya melintasi gunung es keramat, menghadapi makhluk bayangan, dan membongkar rahasia Perang Kuno. Mampukah Liora, yang lebih akrab dengan sarkasme daripada mantra sihir, menguasai kekuatannya dan menemukan "melodi harmoni" untuk melawan kegelapan Vane Morwen? Ini bukan hanya pertarungan demi nasib sebuah dunia, tapi juga pencarian jati diri Liora di tengah pusaran takdir yang mengancam menelannya. Antara harapan yang membeku dan bayangan yang tak pernah tidur, setiap pilihan bisa mengubah segalanya
Lihat lebih banyak"Nenek! Beneran, deh! Di loteng itu ada cermin gede banget! Bingkainya dari perak murni, kelihatan kuno dan… agak seram!"
Liora berseru, napasnya memburu saat menuruni anak tangga kayu yang berderit, meninggalkan jejak debu di setiap pijakannya.
Rambut cokelatnya yang biasa rapi kini acak-acakan. Sweater biru kesayangannya dipenuhi jelaga dan sarang laba-laba.
Jelas sekali, ia baru saja melakukan ekspedisi ilegal ke wilayah terlarang Nenek: Loteng.
Nenek Sara, yang sedang asyik merajut syal di kursi goyang kesayangannya, hanya mengangkat sebelah alis. Senyum tipis yang penuh teka-teki tersungging di bibirnya yang keriput.
"Oh..." Nenek Sara menghela napas pelan, suara rajutannya berhenti sejenak. "Cermin itu. Ya, memang sudah sangat lama bersemayam di sana."
"Pusaka keluarga kita, Liora."
"Tapi, kok, Nenek nggak pernah cerita apa-apa sebelumnya ke aku? Sama sekali!" Liora menjatuhkan diri di sofa empuk di seberang Nenek, mengibaskan debu dari jemarinya dengan gusar.
"Bentuknya juga aneh banget, Nek. Ada ukiran-ukiran yang aku nggak ngerti sama sekali artinya! Kayak bahasa alien atau mantra penyihir."
"Mungkin memang belum saatnya kamu tahu, Sayang," jawab Nenek Sara, nadanya kini terdengar penuh misteri. Matanya yang jernih menerawang jauh, seolah memutar rol film kenangan dari masa lampau.
Liora mengerutkan kening dalam-dalam. "Maksud Nenek apaan, sih?"
"Sudahlah… tidak usah terlalu dipikirkan." Nenek Sara tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, berusaha mengalihkan topik. "Sekarang, bagaimana kalau kamu bantu Nenek membuat teh jahe hangat? Tenggorokan Nenek sedikit gatal."
Namun, rasa penasaran Liora sudah terlanjur membara.
Mengabaikannya? Tidak mungkin!
Selesai membantu sang nenek—dengan pikiran yang masih tertuju pada cermin misterius itu—ia menyelinap kembali ke loteng. Langkahnya sepelan mungkin, mengendap-endap seperti agen rahasia dalam misi penting.
Udara di loteng terasa pengap, beraroma debu berabad-abad. Cahaya remang dari satu-satunya jendela kecil yang kotor hanya mampu menerangi sebagian ruangan.
Dan di sana, di sudut paling gelap, cermin itu berdiri dengan angkuh.
Megah, namun juga memancarkan aura yang sedikit… menakutkan. Terselubung debu tebal seperti jubah beludru yang usang.
Dengan hati-hati, Liora mengusap permukaan cermin yang luas itu dengan ujung sweternya. Perlahan, ukiran rumit di bingkai peraknya mulai menampakkan diri.
Bukan sekadar ukiran biasa. Ini adalah karya seni yang luar biasa detail.
Ada sulur dedaunan perak yang meliuk anggun, kuntum bunga dari dunia lain, dan simbol-simbol misterius yang saling terkait seolah menyimpan rahasia alam semesta. Belum pernah ia melihat yang seperti ini, bahkan di museum paling keren sekalipun.
"Aneh sekali…" gumam Liora takjub, jemarinya menelusuri setiap lekuk ukiran yang terasa dingin dan halus itu.
Ia memberanikan diri menyentuh permukaan cermin yang licin. Dinginnya merayap, menembus kulit hingga ke tulang.
Seketika!
Getaran aneh menjalar dari ujung jarinya, menyebar ke seluruh lengan seperti sengatan listrik ringan. Cermin itu mulai bergetar, awalnya pelan, lalu semakin kuat. Bingkai peraknya berderit, dan seberkas cahaya perak yang menyilaukan memancar deras dari permukaannya.
"A-apa-apaan ini?!" Liora terperanjat, mundur selangkah dengan panik. Jantungnya serasa mau melompat keluar dari dada.
Namun, semuanya terlambat.
Cermin itu seolah hidup, berdenyut dengan kekuatan aneh, dan kini menariknya dengan daya isap dahsyat yang tak mungkin dilawan. Ia menjerit, tangannya menggapai-gapai udara—kaki meja tua, tumpukan koran usang—tetapi sia-sia.
Kekuatan itu terlalu besar.
BRUKK!
Liora terhempas keras ke permukaan yang tak dikenal.
"Aduh… sakitnya bukan main!" Ia mengerang, seluruh sendinya terasa remuk, kepalanya pening luar biasa.
Ketika kelopak matanya yang berat berhasil terbuka, pemandangan pertama yang menyambutnya bukanlah langit-langit loteng yang penuh sarang laba-laba.
Ia terbaring di atas hamparan lumut hijau yang lembut.
Di tengah hutan.
"Ini… ini di mana, sih?"
Liora bangkit dengan susah payah, pandangannya berkeliling dengan bingung. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, batangnya seolah terbuat dari perak cair, dan dedaunannya berwarna perak kebiruan yang berkilauan memesona.
Udara terasa sejuk dan segar, membawa aroma khas hutan pinus bercampur wangi bunga eksotis yang belum pernah ia cium seumur hidupnya.
"Oke, oke… tenang, Liora. Ini pasti mimpi, kan?" gumamnya pada diri sendiri. Ini pasti efek kebanyakan nonton film fantasi.
Ia mencubit lengannya sendiri. Keras.
"ADUH! Sakit! Sialan, ini… ini bukan mimpi!"
Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak belukar di dekatnya membuatnya tersentak. Jantungnya yang baru sedikit tenang kini kembali berdegup kencang. Ia menoleh cepat ke arah suara itu, matanya membelalak ngeri.
Seekor… serigala?
Bukan! Makhluk di depannya ini jauh lebih besar dari serigala mana pun. Bulunya sehitam arang, dan matanya… matanya merah menyala seperti bara api, menyorotkan kebencian murni dan rasa lapar yang buas.
Makhluk raksasa itu menggeram rendah, suara yang bergetar di dada Liora, memamerkan gigi-gigi runcing setajam belati. Air liur menetes dari moncongnya.
Liora mundur perlahan, kakinya gemetar hebat, matanya liar mencari celah untuk melarikan diri. Namun, serigala hitam itu bergerak lincah, memotong setiap jalur pelariannya dan mengurungnya dengan tatapan predator.
"Tamat riwayatku di dunia antah berantah ini…" bisik Liora putus asa, air mata panas mulai menggenang. Ia memejamkan mata erat-erat, pasrah.
Tiba-tiba…
TRANG!
Suara dentingan logam yang nyaring memecah keheningan. Liora membuka matanya, kaget.
Seorang pria kini berdiri tegap di hadapannya, membelakanginya. Bahunya yang lebar menjadi perisai antara dirinya dan serigala buas itu.
Pria itu tinggi dan gagah. Rambut perak panjangnya yang lurus berkilauan seolah terbuat dari benang rembulan. Ia mengenakan setelan kulit hijau tua yang pas di badan, menonjolkan postur atletisnya. Sebilah pedang panjang yang indah terhunus di genggamannya yang kokoh.
"Pergi kau, makhluk terkutuk!" desis pria itu, suaranya dingin dan tegas, penuh perintah yang tak terbantahkan.
Tatapan matanya, yang sekilas Liora lihat dari samping, setajam bilah pedangnya.
"Grrr… Rrrgghh…" Serigala itu menggeram frustrasi, namun akhirnya mundur, berbalik, dan menghilang ke dalam lebatnya hutan perak.
Liora masih terdiam, antara syok, terima kasih, dan kekaguman. Jantungnya masih berdebar, tapi kali ini bukan hanya karena takut.
Pria itu berbalik menghadapnya.
Dan Liora menahan napas.
Matanya berwarna biru kehijauan, jernih dan menawan, setajam tatapan elang. Wajahnya terpahat sempurna, tegas namun ada kelembutan tersembunyi di sana.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya kini sedikit lebih lembut.
Liora hanya mampu menggeleng, masih terlalu terguncang untuk bicara.
"Kau tersesat?" tanyanya lagi, sebelah alis peraknya terangkat sedikit.
Liora mengangguk lemah. "A-aku… aku tidak tahu ada di mana sekarang," jawabnya akhirnya, suaranya bergetar.
Pria itu mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau… bukan dari dunia ini," ujarnya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Liora menelan ludah. Bagaimana dia bisa tahu?
"Bagaimana kau tahu?"
"Namaku Riellan. Tapi kau bisa memanggilku Riel," katanya, mengabaikan pertanyaan Liora. "Siapa namamu?"
"Liora," jawab Liora pelan.
"Liora..." Riel mengulang namanya perlahan, seolah sedang meresapi setiap katanya. "Ikutlah denganku. Hutan ini bukan tempat yang aman untukmu."
Riel mengulurkan tangannya yang terbalut sarung tangan kulit.
Liora ragu sejenak. Haruskah ia percaya pada orang asing di dunia asing ini? Tapi melihat tatapan mata biru kehijauan itu lagi, ada sesuatu yang meyakinkan. Sesuatu yang membuatnya merasa… aman.
Ia akhirnya menerima uluran tangan itu. Genggamannya kuat dan mantap.
"Terima kasih," ucap Liora tulus.
Riel hanya tersenyum tipis—senyum pertama yang Liora lihat, dan itu membuat wajahnya yang tegas terlihat sedikit lebih hangat. "Sama-sama. Sekarang, ayo pergi dari sini sebelum teman-teman serigala tadi memutuskan untuk kembali."
Riel mulai melangkah dengan pasti.
Liora, dengan sedikit keraguan yang masih tersisa namun juga rasa penasaran yang mulai tumbuh, mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan dalam diam, menyusuri hutan perak yang memesona sekaligus mencekam.
Sebuah petualangan baru saja dimulai, suka atau tidak suka.
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen