Tapi aku masih kecewa, kenapa dia bisa ubah nama kepemilikan rumah secepat itu. Entah dapat pengaruh dari mana dia, sampai-sampai aku pun kalah. Ya, itu memang hartanya yang ibu amanahkan dari bapak kandung si Nur. Tapi aku juga harus punya bagian, karena aku kakaknya dan anak dari ibu.Karena aku tak dapat rumah itu, maka aku memaksa si Panjul untuk membelikan aku rumah. Apalagi dia juga bawa maskawin berupa uang 50 juta rupiah, belum perhiasan. Yang itu artinya duitnya masih banyak.Si Nur mengusir kami setelah acara akad nikah selesai. Angkuh sekali anak itu. Andai membunuhnya tidak akan buat aku masuk penjara, pasti dia sudah kubunuh. Tapi sayang, tidak bisa. Dia bukan lagi ayam yang bisa berkokok dan bisa aku kurung, sekarang dia sudah lincah. Apa jangan-jangan karena pengaruh Mas Aryo? Karena mereka pasti sering sms-an. Ah, sialan!Meski sudah diusir, tapi aku masih di rumah ini, ya, untuk malam pengantin saja. Karena besok si Panjul, yang aku sebut Bang Panjul, akan membeli seb
PoV Widya***"Bu, sekarang kami nginap dulu di rumah Ibu, ya? Besok Panjul mau pindah ke rumah baru yang baru dibeli." Aku dan Bang Panjul sudah ada di rumah orang tuanya. Ya, yang sederhana, tidak begitu mewah. Hanya saja lebih bagus dari rumah lama yang aku jual."Kamu jadi beli rumah baru itu, Jul?" ujar mertuaku. Semoga dia tidak cerewet. Tapi, kalau dari roman-ronannya, dia itu seperti cerewet dan perhitungan. Ah iya, lihat saja waktu itu, dia membawakanku masakan gratisan, sampai aku mual dan muntah, sampai aku kapok dibawakan makanan olehnya."Jadi, Bu, jadi. Sudah Panjul selesaikan pembayarannya. Sebenarnya ini 'kan sudah rencana Panjul dari awal, kalau bisa nikah sama Widya, Bu. Eh, kesampean." Ya, memang begitu katanya ceritanya. Tadi ia bilang saat kami di motor. Dia sudah mengincar rumah itu untukku, dan bukan untuk si Nur. Sayangnya memang pakai uang mahar yang ia kasih. Ya, tak apalah. Rumah itu lebih mahal. Mataku jingkrak-jingkrak dengan benda yang lebih mewah dan m
"Nah, bagus, Sayang. Kalau sudah punya anak, aku akan kerja lebih rajin lagi. Aku juga akan berikan seluruh kepunyaanku untuk anak kita. Semoga kamu segera hamil." Si Bang Panjul histeris. Nah, ini boleh, kalau ada iming-iming harta, aku mau ini."Iya, anak itu aset. Apalagi supaya perbaiki keturunan, Jul. Lihat, wajah Widya cantik, body seksi. Pasti nanti cucu Ibu cantik dan tampan. Itu bagus. Untung saja si Nur belum hamil." Mertuaku nampak kurang suka sekali pada si Nur, beda padaku. Jelaslah, aku ini beda sekali dengannya.***Seminggu sudah aku tinggal di rumah baru yang sama bagusnya dengan rumah yang aku beli yang dirampas si Nurul. Bahkan, ini lebih bagus. Hanya saja, sertifikatnya entah di mana. Katanya, si Bang Panjul simpan dan akan jadi atas namaku. Wah, aku kaya, aku kaya. Apalagi uang yang ia kasih padaku juga banyak. Selalu lebih buat makan, belanja dan kebutuhan lain. Tapi, yang jadi masalah di rumah ini tidak ada pembantu. Sehingga aku harus mengerjakan pekerjaan rum
PoV Panjul***"Haduh, pengantin baru. Lenyap adiknya, dapet kakaknya. Semok lagi. Bagus Bang Panjul hebat!" Di tempat kerja bawahan-bawahanku bersorak. Memang kabar menikahnya aku dengan kakak ipar itu sudah menyebar. Ya, aku juga yang bicara pada mereka. Aku pamer."Ya, namanya jodoh, ya begini. Haha. Adiknya kerasain, kakaknya didapetin. Haha." Aku tergelak tawa saat sedang menikmati secangkir kopi bersama mereka.Namaku memang Panjul. Pria pekerja keras dalam bidang bangunan, sehingga setahun yang lalu aku sudah diangkat jadi mandor. Itu bahasa kerennya. Pengangkatan didasari kinerjaku yang bagus dan cekatan. Aku juga kalau kerja teliti, pantas memiliki jabatan ini. Aduh, gak sabar nanti naik jabatan lagi, biar nanti kerjaku semakin ringan. Uang gede, tapi kerja gak begitu menguras tenaga."Jul, enak adiknya, enak kakaknya. Hemh?" Si Romli memainkan alisnya digerak-gerak menggodaku. Dia itu rekanku, maka tidak harus sebut aku bos Panjul. Nama saja cukup karena sudah biasa. Paling
"Ehm, Jul, aneh deh, kok di rumah ini Ibu kayak capek sendiri, ya. Ibu sejak pagi bangun, nyapu, pel, nyuci, lah, istrimu cuma diam. Badan Ibu tinggal di sini tiga minggu mau copot ini. Beresin rumah Segede ini. Kan biasanya Ibu beresin rumah yang sederhana."Saat aku sedang menyeduh kopi, Ibu menghampiri. Ini masih pukul tujuh, jadi istriku jam segini masih joging. Pantas Ibu kerjakan semuanya sendiri."Ibu capek? Kenapa gak sisain kerjaan buat Widya, Bu. Jangan Ibu kerjain semua." Aku berkomentar sembari mengangkat gelas untuk di bawa ke meja depan. Menikmati pagi hari sambil merokok, dan sambil menyeruput kopi hitam. Itu baru rencana."Ah, si Widya kalau Ibu sisain kerjaan, malah Ibu yang repot Jul. Ibu tinggalin cuci piring dua hari, dia gak sentuh sedikit pun, Jul. Hemh, jadi Ibu deh yang repot. Biasanya dicicil nyucinya pas udah beres makan, sengaja Ibu tumpuk, malah Ibu yang repot," jawab Ibu dengan nada sedikit kesal."Ya sudah, Ibu lanjutkan saja kalau Ibu gak kerepotan. Kala
PoV Widya***"Wid, sekali-kali bantu Ibu beresin rumah kenapa sih? Kamu memang cantik, tapi juga harus bisa beresin rumah. Setelah Ibu pikir-pikir, cuma pamerin kamu itu gak ada guna ah!" Tiba-tiba mertuaku berseru lalu berdecak kesal. Tidak tahu diri, sudah tinggal di sini, masak iya dia mau gratisan?Aku yang sedang memakai cat kuku pun segera menjawab. "Bu, bukankah Ibu sendiri yang minta Widya dandan cantik supaya Ibu bangga? Nih lihat, kuku Widya begitu cantik. Tangan juga halus gak kapalan. Kalau Widya nyapu dan pel lantai terus, bisa-bisa ini tanganku kasar. Maaf ya, Bu, tapi 'kan tangan Ibu dasarnya udah kasar, jadi memang Ibu sudah biasa." Aku nyeletuk.Secepat kilat tubuhnya yang tadi begitu jauh, sekarang sudah ada saja di dekatku. Macam si Kunti, cling di sana, cling di sini."Ah, Ibu ralat omongan Ibu. Pamerin kamu ke tetangga, malah Ibu yang apes. Masak iya kerja di rumah anak dan menantu!" sahutnya lagi. Aku pun mengernyit heran."Lah, Bu, di rumah Ibu suka ngepel sam
Setelah memuji mertua sampai ia terbang ke awang-awang, aku segera pergi. Niatnya mau langsung ke mall dengan sepeda motor milik Ibu, tapi, aku penasaran. Apa kabar si Nurul saat ini? Nomornya sudah aku blokir, jadi tidak tahu lagi kabar dia. Aku harus minta lagi nomornya, biar aku bisa pamer padanya. Iya, iya bener."Lah, si Nur ngapain tuh sama laki-laki?" gerutuku heran dalam hati. Lekas saja tubuhku yang masih ada di jok roda dua ini kubawa ke halaman rumah kami. Iya, ini rumahku juga. Hanya saja sertifikatnya belum aku temukan entah di mana."Eh, Mbak Widya? Apa kabar, Mbak? Tumben ke mari?" Si Nur menyapaku lebih dulu. Memang sudah tiga Minggu lebih aku tidak ke sini. Di dekatnya ada seorang pria yang menatapku santai. Jangan-jangan mereka pacaran? Ah iya. Aku juga seperti tak asing dengan wajahnya."Kamu mau ke mana, Nur? Siapa dia?" tanyaku langsung tanpa menjawab sapaannya.Si Nur senyum simpul. Dia sepertinya akan pergi ke suatu tempat dengan pria itu. Lihat saja, pakaiannya
PoV Nur***"Terima kasih ya, Mbak. Semoga setelah Mbak pegang, kedai ini jadi ramai. Soalnya saya perlu uang, makanya saya menjual ini. Saya juga mau pindah ke luar daerah karena saya dan istri akan menetap di sana."Begitu obrolan akhir antara aku dengan Pak Malik. Dia adalah orang yang punya kedai yang saat ini aku injak, namun sekarang surat-menyurat kedai ini sudah ada di tanganku."Baik, Pak. Semoga di sana Bapak berhasil, Pak, dan saya juga bisa menghidupkan kembali tempat ini."Pak Malik telah pergi. Mulai saat ini, kedai ini resmi jadi milikku. Dia akan pergi meninggalkan daerah ini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, atau mungkin untuk selamanya. Apalagi dia bukan asli orang sini.Atas pemberitahuan Bang Ramlan aku tahu kedai ini akan dijual. Padahal kedai ini katanya ramai pengunjung, tapi si pemilik lebih menginginkan untuk menjual tempat ini. Mungkin karena untuk mengendalikan dari jarak jauh itu lumayan sulit juga. Dan kebetulan jarak dari kedai ini ke rumah tidak be