PoV Nur***"Terima kasih ya, Mbak. Semoga setelah Mbak pegang, kedai ini jadi ramai. Soalnya saya perlu uang, makanya saya menjual ini. Saya juga mau pindah ke luar daerah karena saya dan istri akan menetap di sana."Begitu obrolan akhir antara aku dengan Pak Malik. Dia adalah orang yang punya kedai yang saat ini aku injak, namun sekarang surat-menyurat kedai ini sudah ada di tanganku."Baik, Pak. Semoga di sana Bapak berhasil, Pak, dan saya juga bisa menghidupkan kembali tempat ini."Pak Malik telah pergi. Mulai saat ini, kedai ini resmi jadi milikku. Dia akan pergi meninggalkan daerah ini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, atau mungkin untuk selamanya. Apalagi dia bukan asli orang sini.Atas pemberitahuan Bang Ramlan aku tahu kedai ini akan dijual. Padahal kedai ini katanya ramai pengunjung, tapi si pemilik lebih menginginkan untuk menjual tempat ini. Mungkin karena untuk mengendalikan dari jarak jauh itu lumayan sulit juga. Dan kebetulan jarak dari kedai ini ke rumah tidak be
Setelah kulirik, ternyata pelanggan ini adalah mantan mertua. "Eh, Ibu?" Kusapa dia.Dia kaget. "Eh, Nur? Kamu Nur? Eh, kerja di sini, Nur? Hihi." Eh, dia malah cekikikan. Somplak sekali.Aku tak memperdulikan isi hati, dan lebih baik membungkus pesanannya. Meski aku tidak cerdas di sekolah, tapi sekali ucap saja, aku sudah hafal apa pesanannya tadi."Ini, Bu, semuanya 65 ribu." Aku menyodorkan pesanan tadi yang telah dibungkus.Ia malah heran. "Eh, memang masih ingat saya pesan apa? Awas kalau salah, saya adukan ke bosmu!" celetuknya."Coba cek aja, Bu, itu ayam lima, tempe orek, sama capcay. Ikan mujairnya dua 'kan?"Ibu mencebik mendengar jawabanku sembari ia cek. Memang dia pikir aku budeg?"Hemh, baguslah. Ini uangnya 70 ribu." Ia memberikan selembar kertas berwarna biru dan yang satunya berwarna hijau. Benar, 70 ribu.Di saat aku ambil kembalian, ia menolak. "Eh, buat kamu aja. Anggap aja itu tips kayak ojol. Hihi. Kasihan Ibu lihat kamu menderita begini. Rumah aja gede, tapi ke
PoV Nur***[Nur, kata bumer, kamu kerja di warteg, ya? Hahaha. Awas ya, Nur, kalau kita ketemu nanti, kamu jangan bilang adik Mbak, kalau orang lain tanya atau ada yang belum tahu. Mbak gengsi. Kata ibu, penampilan kamu lusuh sekali. Wkwkwk]Itu isi pesan dari Mbak Widya tadi. Setelah beres bersih-bersih dan menunaikan ibadah shalat isya, aku segera berbaring di ranjang.Melihat sekeliling, rumah ini begitu sepi. Rumah gede, tapi hanya aku seorang. Padahal kamar ada beberapa. Kalau ada saudara menginap, pasti tertampung.Kubalas pesan dari Mbak Widya ini untuk menetralisir kesunyian.[Ya ampun, Mbak, Mbak baik hati sekali begitu perhatian sama aku. Sampai-sampai Mbak gunjingin aku dan sekarang kirim pesan ke aku. Oiya, kalau Mbak gak mau diakui oleh aku, jangan cemas, Mba, aku juga gak akan akui Mbak kok. Lagian, kan orang-orang juga sudah dengar gosip Mbak bagaimana orangnya. Udah ya, Mbak, aku mau tidur dulu. Selamat malam Mbakku tercinta]TerkirimTak lupa kububuhi emotikon love y
Pagi hari seperti biasa aku berkutat di kedai. Semua masakan sudah siap, dan pelanggan semoga semakin banyak. Biasanya, kalau makan siang nanti, mereka suka membludak.Oya, tadi aku mendapat pesan balasan dari Mas Aryo yang semalam itu. Ternyata mbahnya memang telah berpulang kepada Sang Agung. Aku pun turut berbela sungkawa. Mau ke sana tapi jauh, cukup doa saja. Kasihan sekali Mas Aryo. Dia sudah yatim piatu, Mbahnya juga sekarang sudah berpulang. Padahal aku tahu, Mbahnya itu masih sehat sekali, meski sudah renta. Alhamdulillah hubungan aku dan Mas Aryo sampai saat ini masih baik-baik saja. Silaturahmi kami masih terjalin."Mbak, saya mau ayamnya empat ya, sama tumis dua bungkus." Seorang pelanggan tiba."Baik, Mbak, saya bungkuskan, ya." "Iya, Mbak. Oiya, Mbak, apa di daerah sini ada kost-kostan murah, ya? Soalnya saya punya saudara perempuan mau kuliah di daerah sini, Mbak. Sebenarnya saya juga tawarin di rumah saya, tapi mungkin sungkan, karena di rumah saya banyakan. Rumah se
PoV Nur***"Eh, Nur, kontrakan di jalan Kelelawar mau dijual katanya. Itu yang punya udah meninggal, anaknya mau jual. Kan ada lima pintu, anaknya ada 6. Katanya mau dijual, uangnya mau dibagikan."Menul yang saat ini berkunjung ke kedai makananku bercerita. Dia masih melahap kacang kupas sudah habis lima bungkus. 5 × 2000 sudah 10 ribu. Memang bagus punya teman seperti dia. Kecuali kalau ngutang, aku bisa bangkrut. Tapi dia bukan tipikal penghutang. Haha."Memang kenapa kamu cerita ke aku, Nul?" tanyaku. Tangan masih menulis barang belanjaan yang akan dibeli. "Bukan kenapa, Nur. Beli sana, punya uang gak? Harganya di sana memang agak mahal, tapi kamu bisa jadi juragan kontrakan Nur!" jawab Menul lagi dengan wajah serius terus mengupas kulit kacang."Ah, aku mana ada uang. Pasti ber M M, kan. Aku gak ada uang sebanyak itu." "Yaelah, kayaknya gak sampai milyaran. Paling ratusan juta aja. Ya, dekat-dekat ke 1 M." Aku menarik kedua ujung bibir. "Sama aja, Nul, aku ada uang dari mana.
"Bukan iri, tapi sayang. Mbak kebayang kalau wajah Mbak yang mulus kena jerawat atau beruntusan? Kecantikan bisa lenyap seketika!" komentarku lagi.Dia malah tertawa. "Hahaha. Skincare aku bagus. Mahal. Terjamin. Terdaftar BPOM. Semua yang aku pakai itu mahal. Ya, seperti yang artis-artis pakai lah!" jelasnya angkuh. Aku tersenyum sinis."Lah, dia gak tahu apa ya, Nur? Artis juga banyak wajahnya yang rusak. Katanya ke dokter termahal, operasi juga gagal. Pengen cantik, jadi kayak botol kecap. Hahaha." Si Menul menertawakan. Aku juga ingin, tapi takut dosa. Wkwkwk."Eh enak saja kau gentong minyak! Perlu kamu tahu, aku mau suntik putih terus operasi pipi biar agak tirus. Bukan bulet kayak serabi mirip pipimu!"Mendengar pernyataan Mbak Widya barusan aku malah cemas. "Ngapain sih Mbak harus operasi segala? Mbak itu sudah cantik dan seharusnya memang disyukuri dan dirawat saja!" Tapi dia malah tertawa mendengar nasehatku. "Hahaha, sudahlah kamu jangan iri. Kamu juga jangan banyak ngomon
PoV Panjul**"Jul, sini! Sini Ibu mau ngomong!"Malam hari setelah Widya tertidur pulas aku pergi ke dapur. Tapi Ibu malah meminta mendekat dengan wajahnya yang bikin penasaran."Ada apa, Bu?" tanyaku sembari mendekat."Sini! Ayok kita bicara!" sahut Ibu dengan nada tipis dan pelan. Sepertinya ia tak mau menantunya terbangun."Apa sih, Bu?" Wajah Ibu sudah horor. "Kamu ini, Panjul! Keterlaluan uang kamu semua kamu berikan sama si Widya. Jatah Ibu mana? Kamu tahu, Widya ngatur uang Ibu!" celetuknya kesal. Oh, jadi karena itu?"Aduh, Bu, ya mau bagaimana lagi. Widya beda sama Nur yang pintar dibohongi. Dia geledah semua isi sakuku, bahkan gajiku saja semuanya di transfer ke rekening milik dia. Kapan aku bisa bawa uang ke Ibu?" jelasku memang benar begitu kenyataannya.Ibu malah menjewer kupingku. "Aduh, aduduh, sakit, Bu, sakit!" Aku meringis.Gigi putih Ibu mengerat. "Kamu keterlaluan, Panjul! Setelah ibu rasa-rasa kamu menikah dengan Si Widya itu jadi pemborosan dan pengiritan sama
PoV Panjul*Entah kenapa ada niat untuk cek kamar Ibu yang pintunya masih menutup. Biasanya jam segini Ibu sudah bangun untuk membuatkanku sarapan nasi goreng. Tapi sekarang tidak, di meja makan belum ada apa-apa."Bu!" teriakku dengan nada yang tak begitu tinggi.Cklek!Langsung kubuka pintu, ternyata Ibu tidak ada di kamar. Aku cek lemari, semua pakaian Ibu sudah tak ada satu pun. Bahkan tas hitam besar yang waktu itu membawa pakaian Ibu pun tidak ada. Aku yakin, Ibu pasti pergi.Lalu segera kuambil HP untuk menghubungi Ibu. "Ada apa, Bang?" tanya Widya yang terbangun dan masih menguap."Ibu gak ada.""Paling di belakang, Bang," jawabnya santai dengan tumpukkan kantuk."Maksudnya Ibu tidak ada, itu Ibu minggat. Pasti Ibu pulang lagi ke rumahnya."Mendengar informasi dariku Widya terperanjat kaget. Ia terbangun dan langsung loncat. "Apa? Pergi? Pergi ke rumahnya lagi? Aduh, ayok cepat kita jemput Ibu, Bang, ayok! Jangan biarkan Ibu sendiri di rumahnya!" cutusnya Seperti kebakaran j