"Eh, apaan kamu sih, Mas? Kamu maksudnya ingin memanas-manasi aku? Kamu belum move on sehingga kamu lebih memilih Nur dibanding wanita lain? Ini unsur disengaja 'kan?"Mendengar apa yang diucapkan oleh Mbak Widya tiba-tiba perasaan yang awalnya terenyuh pun kini seakan tahu diri. Iya, apa itu alasan Mas Aryo memilih wanita seperti aku? Secara logika, kenapa bisa ia tidak memilih wanita lain dan lebih memilihku?"Sama sekali apa yang kamu katakan itu tidak ada dalam kamus lamaranku terhadap adikmu, Wid," kata Mas Aryo lembut tapi masih menatap diriku. Dia tidak bicara sambil memandang Mbak Widya meski dia sedang menanggapi perempuan itu. Bagaimana bisa hati ini plin-plan dan kini tidak tahu diri lagi. Tadi aku sudah malu, namun sekarang tatapannya membuatku meleleh. Apalagi binar bola matanya seperti orang yang tidak sedang menyimpan kebohongan. Andai di sini ada pakar ekspresi, pasti aku akan meminta bantuan untuk mengartikannya."Jangan gila kamu, Mas, dia adikku! Mana bisa kamu begi
PoV WidyaDatang ke rumah aku langsung menggerutu kesal habis-habisan. Mana bisa tadi si Aryo melamar si Nur, mantan adik iparnya, di hadapanku pula. Dia sungguh keterlaluan. Aku semakin yakin, kalau Aryo susah move on sehingga dia mengambil Nur demi mendekatiku lagi. Sudah yakin 1000%. Tapi kenapa dia tidak bilang langsung saja padaku? Ya, tapi pasti akan aku tolak. Tidak mungkin aku menceraikan si Panjul, apalagi keadaanku sedang hamil. Secara sepertinya kerjaan dia sudah gak jelas.Nur benar-benar bod*h. Andai dia menerima, pasti dia akan sakit hati ke sekian kalinya. Apalagi sekarang dia sok bergaya ngartis. Baju yang ia pakai tidak kumal dan dekil seperti dulu. Ternyata dia ingin juga tampil beda. Dasar cewek dekil! Kalau dekil, ya dekil saja.Kuacak rambut kepala setelah membanting tas ke atas kasur. Lalu berjalan ke arah cermin memandangi tubuh yang sebentar lagi tak akan indah seperti ini terus. Pasti aku gendut dan bentuknya tak beraturan. Harkh, andai bukan untuk mendapatkan
"Siapa yang ngontrak?" tanyaku penasaran.Si Fitri simpan HP di meja lalu dia menjawab, "itu, si Lastri. Dia 'kan baru pindah dari rumah mertuanya. Nyari kontrakan di daerah sini, karena ada iklan kontrakan kosong. Kamu mau ikut ke sana? Kita hampiri dia!" "Oh si Lastri teman SD kamu itu, Fit?" "Iya, dia. Dia katanya mau ajakin kita ngerujak. Mau gak? Kamu 'kan lagi bunting! Enak lho ngerujak, seger!" serunya. Hinggga akhirnya kami pun pergi dengan sepeda motorku yang masih cicil ini. Si Fitri tahunya aku beli cash. Gengsi kalau bilang nyicil.~~POV Widya"Di sini kontrakannya? Bukannya ini sudah gak bisa dihuni ya? Halamannya kotor banget waktu itu. Kayak Beberapa tahun gak ditempatin!" ejekku dengan angkuh. Ini adalah kontrakannya Lastri, teman si Fitri. Sebenarnya aku juga kenal, hanya tak akrab.Kami sudah tiba 10 menit yang lalu."Heem, ini kontrakan aku. Apa kabar, Widya? Lagi hamil ya? Perut kamu buncit," tutur Lastri sembari membawa buah-buahan untuk dirujak, dan juga ule
"Dia tetangga, pasti lagi teleponan. Memang suaranya keras," kata si Lastri seakan tahu isi hatiku."Gak apa-apa, ramai banyak orang. Haha." Si Fitri berkomentar."Ah, kalau aku lebih suka yang adem-adem. Kebayang kalau aku ngontrak, apalagi di rumah susun. Malas sekali kupingku. Tercemar!" Aku dengan angkuhnya menanggapi. Ya iya, tidak level."Ah kamu, Wid. Jangan begitu. Banyak orang jadi ramai tahu." Si Fitri lagi.Dan kini terdengar lagi suara tetangga si Lastri ini. "Iya, makasih ya, Mbak Nur. Mbak Nur baik sekali. Hehe. Assalamualaikum."Deg!"Nur? Kok aku denger wanita itu sebut nama 'Nur'. Nur siapa ya? Aku malas kalau dengar nama orang itu," celetukku kesal."Ah kamu ini, Wid!" tegur Fitri."Oh, mungkin yang punya kontrakan. Namanya itu Mbak Nurul, suka dipanggil Nur!" Mana bisa aku tidak kaget dengan penjelasan dari si Lastri secara polos dan spontan barusan. Dia tidak tampak sedang bergurau karena sekarang pun lahap menyiduk kuah rujak dengan mangga muda."Eh, Nurul? Janga
PoV Nur"Nur pulang dulu ya, Budhe, Pakde!" pamitku pada orang tua Mas Aryo. Pakde dan Budhe Seperti sudah ia anggap sebagai pengganti ibu dan bapaknya yang sudah diambil Sang Pencipta."Iya, Nur. Hati-hati. Maaf jauh-jauh ke mari dijemput Aryo. Budhe cuma mau, kamu berkenalan sama keluarga di sini. Main-main sebelum hari akad. Hihi." Budhe malah nyengir. Ya, aku tadi dijemput Mas Aryo menggunakan motornya untuk ke mari. Lumayan lama jarak yang ditempuh. Dan kalau sekarang pulang, pasti akan tiba tengah malam."Mas, jangan ngebut-ngebut, ya. Dingin nanti pas kalau malam. Nur juga gak bawa jaket tebal!" pintaku pada Mas Aryo yang kini sudah siap akan mengantarku lagi."Gak bakalan dingin kok. Kita pulangnya sekarang gak pakai motor, tapi pakai angkot, ya," katanya.Aku pun heran. "Angkot? Kenapa gak naik bus aja, Mas? Memang ada angkot bisa antar ke daerah saya langsung?" "Sudah, diam saja dulu di sini. Mas mau ambil dulu angkotnya," jawabnya lagi.Dahiku mengernyit masih heran. "Ken
PoV Nur**Namun sekarang, perkebunan yang dikelola engkongnya itu sudah jadi miliknya. Karena Pakde juga memiliki perkebunan, tapi tidak sama jenisnya. Warisan juga. Intinya, Mas Aryo punya pemasukkan uang dari sana-sini. Aku masih kaget? Iya, masih kaget sekali.Pokoknya aku tidak mau bertanya banyak saat itu. Yang jelas, banyak sekali kejutan yang aku temukan pada diri Mas Aryo. Aku malah seperti menghina dia bilang sewa mobil. Ah, tapi dia duluan yang ngomong. Mas Aryo jujur karena Pernikahan kami tinggal menghitung hari.Hingga tiba hari ini, Mas Aryo mengajak aku pergi membeli kebaya untuk akad. Ia tidak pulang, karena aku juga tahu sekarang, toko bangunan yang sering aku belanjai itu adalah miliknya. Uang separuhnya ia sisihkan untuk buka usaha di sini dalam bidang yang berbeda. Astaga, aku benar-benar malu dan tidak bisa berkata apa-apa. Mas Aryo bukan orang miskin seperti yang Mbak Widya sering katakan. Aku benar-benar sangat malu selama ini. Setelah dari toko kebaya, aku l
PoV Panjul***Kepulan asap rokok dan juga asap knalpot kendaraan kini menjadi pemandangan untuk hidung dan mataku. Heurkh! Sudah parah ini"Saya bon lagi ya, Mak! Lusa saya bayar," ucapku pada tukang warung pinggir jalan. Ini sudah yang ke sekian kalinya warung tempat singgah hanya untuk ngebon pada akhirnya. Hem, proyek ngutang pindah-pindah.Wanita tua itu mencebik kesal. "Hemh, jangan lama-lama! Saya butuh buat modal lagi. 100 ribu bagi saya itu gede. Pokoknya lusa harus bayar!" pintanya dengan sangat.Aku pun bangkit setelah menghabiskan kopi hitam yang hanya diaduk sekali saja. Kalau terlalu manis, lambung suka sakit. Sayang kalau satu gelas tidak dihabiskan. Mana semuanya mahal, satu gelas 10 ribu. Apa-apa sepeuluh ribu. Yang mahal, yang murah pun 10 ribu. Emak-emak somplak! Astaga, kuwalat!"Ya sudah, saya pulang dulu, Mak! Lusa saya bayar dilebihin," ujarku lagi dengan sudah mengangkat kaki sebelah kanan untuk bangun dari tempat duduk kayu.Si Emak yang sedang mengantongi ker
PoV Panjul*"Yang, kenapa? Syok dananya besar ya?" Aku menggesekkan kedua telapak tangan mengekspresikan rasa penasaran. Widya seperti melongok. Aku yakin, uangnya sangat banyak sampai-sampai dia diam."Bang …." Dia bersuara masih terus menatap HP."Kenapa? Cair ke rekening atau ketahan?" ujarku penasaran.~Bukannya raut wajah yang membahagiakan, dia malah membuatku semakin penasaran karena mulutnya menganga kaget."Gak, gak mungkin! Aku harus telepon dia!" tuturnya sembari mengusap layar menghubungi seseorang."Ada apa, Yang?" Aku malah was-was. Widya tidak menghiraukan pertanyaanku namun dia malah bicara pada seseorang dengan nada yang emosi."Ini kenapa? Kamu jangan coba-coba menipu aku ya!" pekiknya. Lalu Widya loud speaker percakapan mereka."Sumpah, Wid, aku juga kena. Kamu lihat di televisi, beritanya viral. Kamu lihat deh! Kamu gak bisa marahin aku, lagian aku juga jadi korban!" jawab wanita itu dengan lantang juga."Sayang, ada apa ini? Apa yang terjadi?" cecarku dengan pe