"Siapa itu?" batinku merusuh karena takut. Tidak mungkin ada orang yang bisa masuk selain aku dan Laras. Apalagi orang itu sudah sampai di depan pintu.Hati sudah berdebar bukan karena mendapatkan pernyataan cinta. Tapi takut kalau malah maling datang dan ingin melenyapkan nyawaku. Mana adiknya Menul belum gajian, bagaimana kalau dia butuh dan aku sudah tiada. Oh tidak!Ketukan pintu itu tidak juga berhenti. Untung saja pintu dikunci, meski aku lupa dikunci atau tidak. Yang jelas, orang itu berusaha memainkan gagang pintu namun sepertinya sulit terbuka. Astaghfirullah! Siapa di sana?Kusempatkan untuk menghubungi Laras, tapi dia sudah tidak sedang online. Aku yakin, di luar adalah orang jahat. Keringat sudah mulai bermunculan. Aku panik sekali. Tangan juga sudah sangat dingin.Kuhubungi Bu RT, tapi beliau juga sudah tidak mengaktifkan data seluler. Ya, dan aku pun menghubungi Mbak Elis yang ada paling dekat dengan rumahku. Sayangnya, dia juga tidak mengaktifkan ponselnya. Aku kirim
"Diam, Nur, Abang tahu kamu kesepain 'kan? Makanya kamu ngebet nikah sampai kamu sekarang gagal nikah. Abang paham," sungutnya yang bau jengkol itu membuat jiwa pencak silatku meronta-ronta. Wajahnya sudah penuh keringat yang ada artian dia ada rasa takut.BKKKG!Kutendang kepunyaannya yang sebesar kuda jantan itu. Iya, dia memang punya pusaka yang lumayan besar, dan kini hasilnya setelah ditendang dia tak begitu kesakitan. Ini di luar dugaan, dia tak kalah. "Eh, jangan berontak. Jangan malu-malu. Abang paham. Abang minta ya malam ini, Nur! Sekali saja. Nanti Abang kasih uang. Biar Nur gak usah kerja lagi di tempat makan itu. Ya?" bujuk rayunya yang membuat kupingku begitu sakit. Sialan!Aku tak bisa berontak dengan mulut. Sepertinya dia sudah belajar seni membungkam mulut orang dari film aksi. Sialan! Aku berhasil semakin di dorongnya.Ya Rabb, selamatkan hamba.Aku terus mengerang dan berusaha berteriak. Dia malah cekikikan dan terus membuatku diam. Akhirnya aku pun ada ide, biar k
PoV Nur***"Nur! Kamu lari ke mana? Kamu bohongin aku, ya?"Ah, dia terus mengejarku sampai aku pun berhasil keluar dari pintu depan. Sungguh sadis sekali aku mengenal pria bajingan itu. Napasku begitu ngos-ngosan, semoga ada pertolongan."Eh, ada apa ini?"Pucuk dicinta doaku terkabul.Alhamdulillah, ada Pak RT dan Bu RT datang. Dan mereka melihat pria di belakangku hanya menggunakan kolor berlari mengejar. Ah, mati kau, Bang!"Hah?" Suara Bang Panjul terkejut bukan main melihat ada Pak RT dan Bu RT. Aku sembunyi di balik tubuh keduanya. Lantas aparatur yang melindungkiku ini pun geleng-geleng kepala melihat Bang Panjul di sana tanpa busana bawah yang komplit."Ada apa ini? Kamu sedang apa di rumah ini malam-malam? Kamu juga pakai kolor segala!" Pak RT dengan lantang memaki pria itu sembari berlari mendekat ke arahnya. Busana aparaturku itu masih mengenakan sarung dan kaos oblong. Pasti habis bertempur malam atau baru akan. Sedangkan Bu RT memakai daster berciput di kepala."Iya, ga
"Sudahlah, Pak RT. Pak RT dengar sendiri kalau suami saya ke sini karena diajak si Nur! Saya pokoknya mau laporin si Nur ke kantor polisi karena dia telah ganggu suami saya! Lihat saja sampai suami saya bersedia datang ke mari. Apa namanya kalau bukan dirayu? Padahal saya jelas-jelas lebih baik dari si Nur!" sergah Mbak Widya.Kalimatnya barusan membuat telapak tanganku menekan dada beristighfar. Sungguh bodoh sekali kakakku itu. Bukankah dia lebih pintar dariku? Kenapa dia masih percaya pada suami busuknya? Aku benar-benar tak menyangka."Gak kebalik kamu, Wid? Bukannya kamu yang merebut si Panjul? Dan mungkin saja si Panjul memang gatel. Jadi dia minta lagi sama mantan istrinya!" Bu RT dengan sinis merajuk atas yang dikatakan Mbak Widya dengan angkuh tadi."Eh, apa yang Bu RT katakan? Dengan begitu artinya Bu RT merendahkan saya kalau saya kurang oke? Servis saya untuk suami kurang menarik? Enak saja!" Sarkas Mbak Widya menyanggah tuduhan Bu RT. Dasar kakak yang tidak tahu diri. Sel
"Ya sudah, sisanya gak papa dicicil, Mbak. Tapi kurang dua bulan bisa dibayar 'kan? Atau kalau saya cicil minta, boleh?" kata Mbak Mila yang menjual kontrakannya yang lima pintu ke padaku. "Begini saja, Mbak. Sebelum Mbak mau minta uang sisanya, Mbak hubungi saya dulu dua hari atau sehari sebelumnya ya, Mbak!" saranku."Siap, Mbak siap. Sebenarnya saya gak mau jual, tapi lima saudara saya minta dibagikan. Mereke kekeh. Nanti uangnya saya akan bikin usaha. Karena dari semua saudara, saya yang paling miskin istilahnya Mbak. Semua saudara saya 'kan perempuan. Laki-laki cuma satu. Semuanya bekerja. Malah ada yang jadi PNS. Saya paling bontot ekonomi." Mbak Mila sembari menjelaskan.Aku pun tersenyum. "Gak papa, Mbak paling bontot ekonomi. Semoga kedepannya bisa lebih baik ya, Mbak. Meski sayang kalau dijual, padahal ada penghasilan. Bisa dibagi 6 setiap bulannya." Aku menyayangkan."Saya niatnya begitu. Tapi, Mbak, mereka kayaknya ketakutan deh. Ya sudah, saya gak mau cari masalah. Merek
"Jadi cicilannya perbulan segini, Ko?" tanya seorang pria. Aku masih berjalan menunduk sambil merogoh dompet dari tas."Hah, Bang Panjul? Mbak Widya?" gumamku dalam hati. Dan benar saja, suara yang tak asing menanyakan cicilan itu adalah suara Bang Panjul."Silahkan, mencari apa, Mbak?" tanya sapa seorang pelayan toko Koh Asyong padaku.Bang Panjul dan Mbak Widya masih fokus tawar menawar. Seperti ada kata cicilan, apa mereka mau kredit? Hemh, orang kaya bukannya?"Saya mau cari lemari es dua pintu, Bang. Yang merek L* ada?" sergapku langsung dengan suara yang agak lantang.Refleks dua orang yang sedang tawar menawar dengan Koh Asyong pun menoleh. Ya, mereka melihatku. "Nur? Ngapain di sini? Mau kredit barang, ya?" Sudah kuduga atas pertanyaannya barusan. Julid!Aku pun menjawab dengan tegas. "Cicil? Maaf ya, Mbak, aku mau beli." Lalu kutoleh pelayan tadi yang kini sedang jalan ke arah elektronik yang kuminta, "warnanya yang biru muda ya, Bang!" sahutku sengaja tanpa memperhatikan ked
[Assalamualaikum, Dek! Mohon maaf Mas Aryo besok lusa tidak bisa hadir ke pernikahan Dek Nur, ya. Semoga sakinah, mawadah, dan warrahmah]Pagi-pagi kubuka pesan kiriman dari Mas Aryo. Di akhirnya ia bubuhi emotikon senyum manis dengan tangan beradu meminta maaf. Kutinggikan alis keduanya setelah membaca pesan darinya. Diiringi helaan napas pasrah dan flashback ke sosok si Mas Yadi yang kurang ajar. Huwh … istighfar, Nur!Mas Aryo masih online. Apa aku jawab jujur atau bagaimana ya?Lekas kubalas saja pesannya dengan menyempatkan bokong duduk di kursi plastik depan meja kasir di kedai.[Waalaikum salam. Tidak apa-apa, Mas. Mas tidak perlu datang. Lagipula acaranya sudah selesai]TerkirimBelum ceklis dua dan kusempatkan untuk menyapa pelanggan dan yang satunya kukasih kembalian setelah membeli cemilan dengan jumlah lebih dari 50 ribu rupiah."Mbak, saya mau tanya untuk pesanan ketring. Apa di sini bisa pesan? Atau di mana ya? Ini mepet, Mbak. Mertua saya mendadak menggugurkan tanggung
"Mas Aryo turut prihatin. Mas pikir kamu hanya bercanda keterlaluan," komentarnya lagi."Masak iya, Mas. Oiya, Mas menelepon Nur hanya ingin tanya soal ini? Atau … atau Mas mau tanya soal Mbak Widya, ya?" Aku bertanya memancing. Lagipula, apa yang akan diobrolkan mantan adik ipar dengan mantan kakak ipar. Soal cinta? Haha. Bukanlah."Em, ini … iya. Bagaimana keadaan Widya? Dia masih dengan Panjul?"Mendengar jawaban yang ditekankan pada pertanyaan kehidupan Mbak Widya, sontak dadaku memburu sedikit kurang mengerti kenapa harus gelisah. Seharusnya aku bodo amat.Kupasang wajah datar secara refleks. Namun pura-pura senyum saat menjawabnya kini. Eh, padahal tidak sedang video call. Tapi ekspresi ini memaksa untuk mensupport nada supaya tidak ketahuan gelisah."Em, Mbak Widya baik-baik saja, Mas. Sepertinya mereka jadi keluarga bahagia. Cocok kali ya, Mas. Hehe. Terakhir kami bertemu di toko elektronik, Mas. Mereka berdua sedang mau beli barang. Hem." Eh, aku malah curhat sembari menatap