Terus suaraku semakin keras. Dan benar saja, si pria semprul itu muncul. Pasti dia sangat kaget dan kesal."Sayang, Nur, kenapa?" Bang Panjul menyergapku yang kini terduduk di lantai dengan wajah cemas. Wajah dia nampak begitu berkeringat. Dasar semprul!"Kenapa, Yang?" Dia terus bertanya sembari kini membenarkan resleting. Pasti mereka akan … ah, sakit, sakit sekali hati ini. Tusukannya tidak terasa tapi aku sudah lemas seakan mati.Mbak Widya tidak berani keluar, sepertinya karena dia hanya pakai lingerie saja. Mungkin mereka tidak tahu aku mengetahui ini."Bang, Bang! Di dalam ada itu … tadi … tadi kayak ada bayangan hitam, Bang. Aduh, jangan-jangan hantu, Bang!" Aku mengerang ketakutan. Sumpah, sebenarnya ini hanya sandiwara saja untuk mengurangi perzinahan mereka lebih lanjut. Hanya ini yang bisa aku lakukan."Hah, bayangan?" Dia kaget, dan itu yang aku harapkan. Bang Panjul benarkan sarung sembari dikibas-kibas. Pasti gegara hasrat yang tertunda."Iya, Bang, jangan-jangan rumah
Tok tok tok!Tok tok tok!"Nur!"Siang hari tepat pukul sepuluh siang pintu rumah diketuk seseorang. Apa Bank Emok? Ah, aku tak punya tunggakkan. Atau Bu RT? Ah, ini bukan jadwal tagihan bulanan. Siapa ya?Daripada batin yang rusuh menduga-duga, lebih baik kubuka saja pintunya. Tak berselang lama, tamu pun kini menampakkan wajahnya.Eh, aku kaget. Di balik pintu ada sosok wanita yang tidak asing bagi bola mataku."Ibu?"Yang datang adalah ibunya Bang Panjul, Bu Romlah yang profesinya tukang dagang nasi uduk di tempat tinggalnya."Eh, Ibu?" sapaku langsung lalu menyalami beliau pun mengecup punggung tangannya."Nur, sehat, Nur? Ibu ke mari dapat alamat rumah ini dari Panjul." Ibu mertua menjawab manis. Lekas kusuruh Ibu untuk masuk dan duduk. Lalu kubawakan segelas air putih tapi bersama pocinya. Supaya kalau mau lagi tidak jauh."Silahkan diminum, Bu," tawarku lalu duduk setelah menyibak rok supaya rapi saat ditindih bokong.Seperti biasa basa-basi bertanya kabar dan sejenisnya. Hingg
"Eh, kalau dikasih tahu orang tua itu ya jangan jawab terus, Nur. Kamu ini." Ibu mertua nampak semakin kesal. Dia pasti kaget kenapa aku bisa menjawab demikian.Sebenarnya memang kami sudah tak begitu asing. Dengan jarak rumah memang kadang terlewat, jadi bagiku keluarga Bang Panjul tidak seasing itu. Tapi, gara-gara ini, Ibu mertua jadi berani nyerocos seenak jidatnya."Nur, jangan lupa sisihin untuk beli sawah dan tanah, untuk bekal hari tua, biar nanti setelah tua gak kuli." Ibu mulai lagi. Karena tadi bilang kalau dia bicara aku jangan jawab terus, makanya tidak kujawab. Aku anteng saja menyidik kuku-kuku jari tangan dengan santai."Ibu ingetin juga, kalau jajan jangan yang aneh-aneh dan gak ada vitaminnya. Jangan jajan cuma seblak, bakso, itu gak boleh. Kalau mau ngemil, kamu itu lebih baik yang alami, kayak ubi, singkong direbus. Begitu."Aku tidak ingin menjawab karena katanya juga kalau Ibu bicara, aku jangan jawab. Lihat saja, bagaimana Ibu saat ini."Nur," heran Ibu.Aku asy
"Nur Sayang, besok Abang kerja agak jauh. Proyek bangunan yang kemarin sudah selesai. Sekarang baru lagi, tapi tempatnya agak jauh. Abang akan pulang Minggu depan. Bagaimana, apa boleh? Kamu tidak keberatan 'kan?" Sebelum tidur Bang Panjul bicara masalah pekerjaan. Katanya dia akan pindah proyek ikut atasan."Seminggu? Jauh sekali ya, Bang memang?" heranku."Iya, jauh, makanya kalau bolak-balik, sayang uangnya. Mending buat kamu beli lipstik." Dia merayu dan menggoda. Sedangkan uang ongkosnya tidak dia berikan. Parah sekali dia."Oh, gitu. Ya sudah, Nur sih gak apa-apa, Bang, asal Abang selamet. Nur jadi harus siapin baju Abang yang banyak, ya?" ucapku lagi."Ah, jangan banyak-banyak, nanti juga dicuci. Tiga setel aja cukup. Baju ganti yang bagusnya bawa aja dua," sarannya."Iya, Bang." Aku langsung mengambil tas dan segera menumpuk pakaian bekal ke dalamnya. Entahlah dia benar atau tidak, yang jelas, aku hanya tahu suamiku ini adalah seorang pembohong."Tapi kamu gak keberatan 'kan
"Oh bukan, bukan. Jadi begini, Pak RT kemari karena ingin memberitahukan informasi. Sekarang sedang ada pembuatan sertifikat bangunan dan bumi yang diselenggarakan secara gratis dari pemerintah. Mungkin Dek Nur ada niat untuk menyertifikatkan benda atau barang yang belum ada dokumen sertifikatnya. Program pembuatan sertifikat gratis ini untuk seluruh warga kecamatan kita. Bila memang berminat, bisa langsung datang ke balai desa, atau bisa juga lewat Pak RT untuk menyampaikan syarat dokumennya. Nanti Pak RT yang sampaikan."Begitu terenyuhnya batinku mendengar informasi ini. Memang seliweran dengar di TV kalau akan ada pembuatan sertifikat serentak se-provinsi. Oh, dan itu benar?"Wah, benar itu Pak RT?" kejutku di depan Pak RT baru. Karena sekarang kami sudah pindah domisili. Masih satu kecamatan, namun beda desa."Benar, benar ada. Waktu pengumpulan syaratnya akhir bulan ini. Lebih cepat lebih baik. Bagaimana, apa Dek Nur memang ada benda yang belum disertifikatkan?" tanya Pak RT mem
[Dek, Nur, segera lengkapi persyaratannya, ya. Nanti bisa diantar ke rumah saya. Sembari membuat surat kuasa]Sore hari Pak RT mengirimiku pesan. Ya, dan aku belum tahu dari mana harus mendapatkan identitas si pemilik sebelumnya. Butuhnya hanya fotokopinya saja. Tapi, seharusnya mereka sudah kasih sama Mbak Widya supaya balik nama tidak sulit. Beserta dokumen pendukung lainnya.Maka dari itu kucari di kamar Mbak Widya lagi. Tadi aku berikan pada Pak RT hanya identitasku dan juga sertifikat asli. Mengenai surat-surat yang lainnya, itu akan Pak RT bantu uruskan. Nah, tinggal aku kumpulkan data diri pemilik sebelumnya. Kata Mbak Widya, dibeli dari orang yang aku kenal, tapi dia sudah pindah kota. Masak iya aku harus minta identitasnya jauh-jauh?Aku yakin, pasti fotokopi identitas pemilik sebelumnya sudah diminta oleh Mbak Widya. Kalau tidak, ya mau bagaimana balik nama? Untungnya lagi dia pas balik lagi ambil barang ketinggalan tidak selidik sertifikat rumah yang sudah tidak ada. Jadiny
[Bang, video call dong, Nur kangen]Aku sengaja meminta video call dengan Bang Panjul. Dan tak lama setelah itu wajah kami pun bersitatap."Halo, Nur Sayang," sapanya manja.Aku yang sedang bersender di bahu ranjang pun melambaikan tangan. "Halo, Abang ganteng." Aku senyum manis. Di balik senyum ini tapi ada rasa muak. "Nur belum bobok ya? Udah malem ini." "Belum, Bang, rindu Abang ah." Aku menjawab sok dirujuk rasa rindu. Padahal aku cuma ingin tahu, ada apa saja di sekelilingnya sekarang. Dana bagaimana keadaannya."Ah, Nur Sayang, ah. Jadi si jagur Abang idup nih," jawabnya lagi.Aku pun cengengesan seperti orang gila. Kulihat tanpa sengaja sekelilingnya. "Bang, tidur di mana itu? Tempatnya sepertinya tidak mirip banguan belum jadi?" tanyaku. Karena biasanya memang suamiku katanya tidur di bangunan yang belum jadi separo. Sejenis bedeng begitu."Eh, ini Abang di ini … di rumah sewaan, Nur. Di sini disewakan rumah semuanya. Jadi tidak tidur di tikar dan gak kedinginan," jelasnya d
***"Eh, Mbak udah pulang?" tanyaku pada Mbak Widya. Aku menyambutnya yang baru saja pulang ternyata. Dia membawa kantong belanjaan ini dan itu. Riweuh."Huwh … tolong ambilkan minum untuk Mbak ya, Nur. Ini ada oleh-oleh buat kamu." Dia langsung menjatuhkan tubuh di kursi. Angkat kaki ke meja sembari mengelus-elusinya. Enak, seperti Nyonya. Hemh!"Ini, Mbak." Kusugi ia air putih. Bang Panjul belum pulang, katanya dua hari lagi. Dia pasti sudah dapat suntikkan, jadi tahan tidak aktivitas malam.Aku belum cerita soal surat gugatan yang diberikan Mas Aryo waktu itu pada Mbak Widya. Coba, apa dia akan memancing supaya aku bicara?"Oiya, Nur, ada Mas Aryo gak? Soalnya Mbak udah matang mau cerai sama dia. Mas Aryo soalnya kemarin ada SMS, kalau dia sudah titipkan ke kamu. Tinggal Mbak tanda tangani," katanya. Benar saja, dia bohong. Mas Aryo bilang, dia telah membuang nomor Mbak Widya dan tidak ingin menghubungi dia lagi."Memangnya Mbak udah setuju mau cerai? Mbak ini plin-plan. Bukannya r