"Kalau begitu Mas pamit dulu ya, Dek. Jangan sebut siapa dan mau apa kalau Mas datang lagi ke mari!" ujarnya sebelum pamit malam-malam seperti ini.Aku pun agak sedikit cemas. "Iya, Mas. Mas sudah saya anggap sebagai saudara. Tapi .. apa Mas tidak kembali besok saja. Mas bisa menginap di rumah Pak RT!" saranku.Dia pun menjawab. "Oh jangan khawatir. Mas tidak akan pergi ke Jawa langsung. Mas akan ke rumah teman dulu yang ada di perbatasan kabupaten ini. Mas akan menginap di sana karena ada urusan."Aku pun paham. "Oh begituh, ya sudah, Mas hati-hati ya. Salam untuk orang di sana!" sahutku."Insyaallah Mas salamkan. Kamu gak nitip salam juga buat yang sampein salam?" ucapnya. Namun saat aku sadar karena telmi, entah kenapa dadaku memburu. "Hemh? Maksudnya, Mas?" heranku.Mas Aryo malah tertawa kecil. "Sudah, jangan bahas." Dia pun menyalakan mesin kendaraan miliknya. Eh iya, punya dia atau punya temannya? Ah masa bodo."Ya sudah, Mas, hati-hati di jalan. Salamkan buat Mas Aryo dari sa
PoV Nur***"Nur, asyik banget. Abang ada perlu sama kamu!"Degh!Di sela-sela perselorohan antara aku dan Menul, tiba-tiba muncullah seorang pria yang membuat mataku membola. Si Menul saja sampai kaget. Ada apa lagi dia datang? Apalagi ini dalam suasana ramai. Ah, mau cari mati kah?"Bang Panjul, ngapain?" protes si Menul. Aku melihat dari raut wajahnya dia sama sekali tak suka dengan kedatangan pria ini. Aku juga sama, tidak suka sama sekali."Aku mau bicara sama kamu, Nur!" ujarnya lagi dengan nada yang agak naik. Bola matanya tidak berhenti tatap sana dan tatap sini. Apa dia aneh dengan tempat kerjaku ini?"Halah, sepertinya mau minjem duit, Nur!" celetuk si Menul lagi. Aku pun hanya diam tanpa menanggapi si Bang Panjul."Diam kamu gentong minyak!" hujat si Bang Panjul pada si Menul. Dia sok iye. Ngomong-ngomong, pelangganku yang sedang duduk menikmati makan siang pun sama gendutnya. Semoga tidak tersinggung.Si Menul pun tak diam. "Enakkan aku gentong minyak. Itu tandanya aku se
PoV Nur**"Huhah, huhah, ayok bayar 128 rebu. Es teh manisnya 4 gelas. 4 kali 5 rebu. Terus kerupuknya tadi habis 10 rebu. Jadi total 158 rebu. Ayok bayar!" Aku menagih janjinya yang akan membayar si pelanggan tadi."Hah? Kira-kira dong, Nur. Kamu namanya memeras aku. Mana mungkin dia makan segitu. Dia bukan buto ijo!" Dia malah berdalih."Heh, Bang, dia itu memang segitu makannya. Saya dekat dengan rumah dia. Ayok bayar!" Pria di sana membela dan meminta si Panjul langsung bayar. Untung saja ada saksi. Haha."Eh, tapi …." Si Bang Panjul keteteran."Jangan tapi-tapian, ayok bayar!" gertakku."Nur, sini, kita bicara dulu!"Dia malah menarik tanganku sampai keluar kedai. Orang-orang di sana pun heran. Aku memaksa supaya dia lepaskan tarikan tangannya. "Lepaskan!""Eh, Nur. Jangan berontak kenapa. Kita bisa bicara baik-baik. Abang bayar 30 ribu dulu, ya. Abang gak ada uang. Abang belum gajian. Gajian baru Minggu depan!" Dia mengelak."Enak saja. Pelangganku tadi sudah lari, dan itu gara
Panjul PoV*"Bang, kata temanku, dia lihat kamu di sebuah warung di perbatasan kota dekat yang mau ke arah jalan tol. Kamu ngapain, Bang? Jam 2 siang lagi. Kamu ngapain? Proyek di sana?" Widya menyergapku yang sedang duduk santai menikmati kopi hitam buatan sendiri. Karena dia tidak pernah membikinkanku kopi kalau tidak sedang manja-manjaan. Aku sudah biasa. Aku langsung tercengang dengan pertanyaan darinya barusan. Apa yang dia duga? "Maksudnya kamu apa, Sayang?" tanyaku langsung berdiri dan memegang kedua tangannya. Tak kulupakan senyum manis terpaksa ini supaya dia suka."Maksudnya, ada temanku yang suka arisan bilang kalau lihat kamu lagi duduk-duduk santai di warung sana. Di dekat yang mau masuk gerbang tol itu. Tapi kamu ngapain, Bang? Bukannya jam segitu kamu kerja di kota ya? Atau ada proyek di sana?" Dia mengulang lagi pertanyaan. Mungkin dipikirnya aku belum jelas mendengar, padahal sudah jelas dan paham. Hanya bingung ingin menjawab apa karena itu memang benar. Aku seri
PoV Panjul**"Eh, Bang, hari ini aku mau ke arisan. Uang yang kemarin tinggal sedikit. Besok aku minta lagi. Cicilan ke si Engkoh sudah Abang yang handle ya. Kalau gitu Widya berangkat dulu!" pamitnya tanpa beban. Sedang aku di sini mikir, dari mana cari uang untuk tutupi kebutuhan. Masak iya harus gali lobang tutup lobang terus!"Eh, eh, eh, mau ke mana kamu, Wid?"Baru saja akan duduk lagi, terdengar suara ibu yang menegur istriku yang molek dan cantik itu. Tak menunggu lama aku langsung bangkit dan lari ke sumber suara."Apaan sih, Bu! Widya mau nyalon. Ibu mau ikut? Tapi maaf, gak ada jatah. Minta dulu aja uangnya sama anak Ibu!" sungut Widya menanggapi ibuku. Ternyata beda sekali dengan Nur. Harkh, apaan! Jelas Widya lebih dari segalanya. Mainnya juga dia lihai. Apalagi saat aku sogok dia dengan uang yang merah-merah. Semalaman dia sanggup di atas. Huwh …"Nyalon, nyalon! Sekali-kali pas Ibu ke sini lihat kamu itu lagi beberes atau lagi msak. Malah nyalon! Hemh!" sinis Ibu."Ah,
POV PanjulSialan! Si Bang Tompel malah datang ke rumah. Untung Widya sedang nyalon, jadi mereka tidak ketemu di sini. Aku ketar-ketir karena dia nagih, tapi alhamdulillah masih bisa diberi waktu."Baik, gue kasih waktu satu bulan sampai akhir bulan depan. Ingat, kalau gak ada bulan depan, kunci gue tarik!" ancamnya dengan wajah sangar. Dia itu makelar sewa, wajahnya seperti genderuwo dan rambutnya ikal dikuncir di belakang. Ih!"Baik, Bang, baik. Saya ini punya kerjaan tetap. Abang jangan khawatir. Saya baru beli furniture, Bang, maaf ya, Bang!" Dia langsung pergi tanpa mau tawar menawar lagi. Aku saja bicara sendiri seperti orang gila tak ia ladeni. Sudah pasti bulan depan aku digusur. Huwh, hari ini masih bisa mengelus dada. Entah kalau bulan depan. Sialan!"Eh, Abang? Tadi orang siapa? Preman, ya? Wajahnya serem. Ngapain dari sini?"Seperti dikagetkan petir di siang bolong. Sejak kapan Widya sudah berdiri di hadapanku? Wajah dan rambutnya masih sama seperti saat dia pergi. Apa ga
PoV Nur*"Apa? Mas Aryo berniat menjadi calon suami, Mbak Nur?" Laras terkejut mendengar ceritaku sekaligus curhatan barusan.Aku manggut-manggut pelan dengan ragu. "Tapi Mbak belum kasih jawaban. Hanya Mbak seperti diambang menolak. Soalnya Mbak masih trauma. Takut kalau Mas Aryo itu ingin manfaatkan Mbak saja seperti yang sebelum-sebelumnya."Laras kini tertegun menatap dasar lantai. Aku hanya diam melamun memikirkan kenapa Mas Aryo bilang begitu padaku. Kenapa tidak perempuan lain? Apa karena aku banyak harta warisan."Lalu Mas Aryo bilang apa lagi, Mbak?" tanya Laras lagi. Dia seperti penasaran dengan kelanjutannya."Kelanjutannya ya?" tanyaku.Dia manggut-manggut histeris."Bersambung dulu deh, Ras. Episode akan lanjut nanti, ya," jawabku berkelakar.Laras geleng-geleng kepala. "Astaga, Mbak. Serius dong Mbak ah!" Dia protes.Aku nyengir. "Hihi. Ya gitu, Ras. Terus katanya Mas Aryo bilang, dia memberanikan diri karena hatinya susah dipaksakan bila harus memilih yang lain. Dia se
"Pokoknya awas kalau kamu gak bayar ya, Wid. Uang kamu di aku bukan cuma ratusan ribu, tapi jutaan! 4 juta itu bukan daun singkong. Daun singkong aja gak gratis!" Terdengar suara seorang wanita mengamuk di depan rumah mewah Mbak Widya. Aku ke mari berkunjung karena katanya Mbak Widya sakit. Baik atau buruknya dia, aku harus tetap ada perhatian. Dia satu-satunya saudaraku. Kalau sakit, ya aku tengok. Dapat kabar dari tetangga Mbak Widya yang sering jajan ke tempat kerjaku."Timbang uang segitu juga ngomel! Nanti kalau investasi aku berhasil, kubayar lebih!" angkuhnya terdengar ke mari. Aku belum mau mendekat, takutnya aku iba dan malah bayarin. Ogah ah, niat aku cuma jenguk. Benar saja, wajah Mbak Widya kurang glowing. Dia teramat pucat seperti mayat dua hari tidak makan dan minum.Nur, kapan mayat makan dan minum? Sableng kamu! Batinku cekikikan."Halah, investasi, investasi. Investasi daun singkong atau daun kelor? Kamu janji-janji sudah beberapa hari sampai aku tagih kemari karena