[Dek, Nur, segera lengkapi persyaratannya, ya. Nanti bisa diantar ke rumah saya. Sembari membuat surat kuasa]Sore hari Pak RT mengirimiku pesan. Ya, dan aku belum tahu dari mana harus mendapatkan identitas si pemilik sebelumnya. Butuhnya hanya fotokopinya saja. Tapi, seharusnya mereka sudah kasih sama Mbak Widya supaya balik nama tidak sulit. Beserta dokumen pendukung lainnya.Maka dari itu kucari di kamar Mbak Widya lagi. Tadi aku berikan pada Pak RT hanya identitasku dan juga sertifikat asli. Mengenai surat-surat yang lainnya, itu akan Pak RT bantu uruskan. Nah, tinggal aku kumpulkan data diri pemilik sebelumnya. Kata Mbak Widya, dibeli dari orang yang aku kenal, tapi dia sudah pindah kota. Masak iya aku harus minta identitasnya jauh-jauh?Aku yakin, pasti fotokopi identitas pemilik sebelumnya sudah diminta oleh Mbak Widya. Kalau tidak, ya mau bagaimana balik nama? Untungnya lagi dia pas balik lagi ambil barang ketinggalan tidak selidik sertifikat rumah yang sudah tidak ada. Jadiny
[Bang, video call dong, Nur kangen]Aku sengaja meminta video call dengan Bang Panjul. Dan tak lama setelah itu wajah kami pun bersitatap."Halo, Nur Sayang," sapanya manja.Aku yang sedang bersender di bahu ranjang pun melambaikan tangan. "Halo, Abang ganteng." Aku senyum manis. Di balik senyum ini tapi ada rasa muak. "Nur belum bobok ya? Udah malem ini." "Belum, Bang, rindu Abang ah." Aku menjawab sok dirujuk rasa rindu. Padahal aku cuma ingin tahu, ada apa saja di sekelilingnya sekarang. Dana bagaimana keadaannya."Ah, Nur Sayang, ah. Jadi si jagur Abang idup nih," jawabnya lagi.Aku pun cengengesan seperti orang gila. Kulihat tanpa sengaja sekelilingnya. "Bang, tidur di mana itu? Tempatnya sepertinya tidak mirip banguan belum jadi?" tanyaku. Karena biasanya memang suamiku katanya tidur di bangunan yang belum jadi separo. Sejenis bedeng begitu."Eh, ini Abang di ini … di rumah sewaan, Nur. Di sini disewakan rumah semuanya. Jadi tidak tidur di tikar dan gak kedinginan," jelasnya d
***"Eh, Mbak udah pulang?" tanyaku pada Mbak Widya. Aku menyambutnya yang baru saja pulang ternyata. Dia membawa kantong belanjaan ini dan itu. Riweuh."Huwh … tolong ambilkan minum untuk Mbak ya, Nur. Ini ada oleh-oleh buat kamu." Dia langsung menjatuhkan tubuh di kursi. Angkat kaki ke meja sembari mengelus-elusinya. Enak, seperti Nyonya. Hemh!"Ini, Mbak." Kusugi ia air putih. Bang Panjul belum pulang, katanya dua hari lagi. Dia pasti sudah dapat suntikkan, jadi tahan tidak aktivitas malam.Aku belum cerita soal surat gugatan yang diberikan Mas Aryo waktu itu pada Mbak Widya. Coba, apa dia akan memancing supaya aku bicara?"Oiya, Nur, ada Mas Aryo gak? Soalnya Mbak udah matang mau cerai sama dia. Mas Aryo soalnya kemarin ada SMS, kalau dia sudah titipkan ke kamu. Tinggal Mbak tanda tangani," katanya. Benar saja, dia bohong. Mas Aryo bilang, dia telah membuang nomor Mbak Widya dan tidak ingin menghubungi dia lagi."Memangnya Mbak udah setuju mau cerai? Mbak ini plin-plan. Bukannya r
Satu bulan kemudian.Geram aku dengan tingkah Mbak Widya dan Bang Panjul yang tak ada habisnya. Karena masih berstatus istri, ya terpaksa aku melayani si jagur milik Bang Panjul. Untungnya banyak hal yang bisa kujadikan alasan. Terhitung sampai saat ini, sejak aku tahu dia ada main dengan Mbak Widya, kami hanya berhubungan tiga kali saja. Ah, sudahlah, ya mau bagaimana lagi. "Nur, orang-orang katanya mau pada ke desa ambil sertifikat. Katanya ada pengsertifikatan gratis," tanya Mbak Widya di pagi hari."Katanya iya sih, Mbak." Aku menjawab."Lah, kamu gak ngasih tahu ke Mbak? Tahu gitu gratis, Mbak balik nama rumah ini dong. Kan lumayan." Dia berdecak. Aduh, aku yakin Mbak Widya belum melihat sertifikat yang hanya fotokopi milik rumah ini. Karena aku juga menyimpannya persis di tempat sama, dengan map yang tak mungkin ia curigai. Karena kupikir, mana ada orang tiap hari atau menyempatkan lihat sertifikat kalau bukan untuk menggunakannya. Soalnya sampai saat ini masih aman. Dia tidak
Aku cek langsung ke kamar, ternyata Bang Panjul memang tidak ada. Pasti, aku sudah yakin, dia ada di kamar Mbak Widya. Tapi, baru saja ingin naik tangga, suara desahan yang nadanya membuat bulu kudukku merinding terdengar siang ini. Arahnya dari arah belakang kedatanganku tadi. Ini suara yang begitu tengil."Ah, ah, aku benar-benar menikmati ini. Kamu mainnya lihai sekali, tidak seperti si Nur! Ah!""Ssssh, ah. Memangnya si Nurul bisa gaya apa aja?"PEG!"Si Nur cuma bisa gaya anjing nungging, Wid. Sedangkan kamu, macam gaya bisa. Sampai gaya orang luar negeri kamu bisa sehafal ini. Ah, mantap!"Si kampret saling menyahut. Sialan! Kurang ajar! Kudekatkan lebih jelas kuping ini sampai menempel di pintu ruangan yang kujadikan tempat perkara."Ah, bisa aja. Tapi jelaslah, aku lebih semok dan berpengalaman, Bang. Punyaku juga sering dirawat, jadi sempit 'kan!" Kini batinku benar-benar terpukul amat keras. Suara desahan yang jahil itu jelas suara Bang Panjul dan kakakku sendiri. Bajinga!
"Kenapa bisa itu jadi atas namamu? Berani-beraninya kamu ya, Nur!" Mbak Widya yang masih memakai pakaian seksi kurang bahan itu murka padaku. Apa mereka memang sudah merencanakan ini supaya aku tahu? Sempat-sempatnya pakai baju seperti itu!Darah ini mendidih sekali. Sekilat juga kumasukkan lagi dokumen penting ini ke tas. Nanti direbut dia, lagi!"Diam kamu, Mbak, dasar Mbak tidak tahu diri. Aku sudah tahu semuanya soal harta peninggalan bapakku. Dan aku juga sudah tahu, kita bukan satu bapak. Kita hanya saudara seibu!"Kutunjuk moncong busuknya itu. Bang Panjul saat ini malah kaget atas ketahuanku. Pasti dia juga sudah tahu sejak awal."Kurang ajar kamu, Nur!" Mbak Widya ingin coba menyentuhku, tapi tangan ini berhasil mendorongnya."Ah!" Dia meringis kesakitan. Sedang si Panjul, ternyata dia kurang berenergik ingin membela siapa di sini."Nur, jangan kasar, dia Mbakmu!" Suara si Panjul jelas terdengar. Aku pun terkekeh puas, karena meski tidak bisa merekam adegan mereka karena pani
Tiba-tiba datanglah tetanggaku. Dia tadi bareng pergi ke desa, bersama si Menul juga. Eh, tapi ditangannya seperti membawa dompetku. Ampun, aku baru ingat, dompetku pasti ketinggalan Setelah pamit pulang duluan."Loh, kok suamimu pakek kolor, Nur? Mbakmu juga pakai baju kayak gitu?" celetuk si Menul.~~"Mereka memang selingkuh, Nul. Mereka tertangkap basah olehku sedang berduaan mendesah di ruangan dekat dapur!" jelasku dengan emosi."Eh, astaghfirullahaladzim, jangan-jangan dugaan saya juga bener, ya? Kalian berdua ada hubungan? Soalnya saya waktu itu pernah lihat kalian berdua keluar dari semak-semak di kebun juragan Dartawi itu! Ah, iya. Saya sudah curiga juga! Soalanya suamimu ya, Nur, dia benerin resleting dan setelahnya mbakmu keluar juga dengan wajah cemas!" Mbak Atun ikut menguatkan dugaan."Ah, iyakah, Mbak!?" "Betul, saya gak akan salah lihat!"iniWajah Bang Panjul dengan Mbak Widya kini memar. Mereka seperti kurang kekuatan, apalagi si Menul malah mengabadikan momen ini m
Akhirnya kami disidang juga oleh Pak RT. Maksudnya bukan kami, tapi Bang Panjul dan Mbak Widya, di rumahku, beserta warga lain, yang ternyata mereka telah bersaksi, pernah melihat sepasang hewan itu berduaan. Ada yang katanya memergoki di semak-semak, ada yang katanya di kebun jagung tak terurus. Rendah sekali mereka berdua. Sadis sekali. Sudah rendah, murahan pula. Andai di hotel mereka selingkuh, atau di losmen, ya itu mungkin bisa dibilang cukup lumayan. Lah ini, di kebun, astoge, mereka benar-benar tidak tahu malu. Telah membawa kampung ini ke jebakkan aib perzinahan mereka."Pak RT, saya mau menikahi kakaknya istri saya saja. Saya tidak akan menceraikan Nurul, Pak."Si Bang Panjul lebih dulu mengutarakan maksudnya di hadapan kami semua. Sinting, siapa yang mau? Aku? Ogah."Tidak diperbolehkan. Lagipula, Dek Nurul tidak akan setuju." Pak RT dengan tegas tidak mengindahkan. Saat ini wajah Mbak Widya dengan Bang Panjul seperti gosong oleh rasa malu mereka. Pasti keduanya semalam mi