Sheira memeluk hangat Smith layaknya putri sendiri. Telah cukup lama mereka tidak bertemu dan hanya berbagi kabar melalui ponsel saja.
Ada banyak hal yang ingin ditanyakan Sheira untuk meredakan segala kekhawatirannya selama ini atas kehidupan yang dijalani Smith belakangan. Tapi perempuan itu menelan kembali semuanya hingga membuat tenggorokannya terasa nyeri.
Meski sangat ingin tahu, Sheira tidak mau mengulik hal-hal yang mungkin akan membuat Smith merasa tidak nyaman. Maka, ia hanya menanyakan kabar saja sebagai pembuka percakapan.
"Aku baik, Tante. Bagaimana dengan Nenek Suri?"
"Begitulah. Keadaannya tetap saja lemah. Tante mengerti, ibu memang sudah tua. Tante bahkan sudah ikhlas kalau Tuhan memintanya kembali. Yang terpenting, dalam masa-masa tuanya, Tante selalu ada di sampingnya."
Smith mengelus pundak Sheira. Ia bisa melihat kesedihan, juga ketegaran dan kepasrahan di wajah perempuan
"Aku selalu cemas tentang dirimu jika aku sudah mati.""Tante ....""Tante mengenalmu luar dalam. Kau sungguh serius saat dulu mengatakan tidak akan pernah menikah. Katamu, kau akan hidup lajang sampai meninggal. Tante sudah melewati asam getir hidup ini lebih dulu darimu, Smith. Tante tahu benar betapa susahnya menjalani hidup setelah suami Tante meninggal. Sebelumnya, meski ada banyak rintangan, kami bisa melaluinya dengan lebih mudah saat bersama. Dan setelah dia pergi, huft ...."Sheira menghembuskan napas berat. Meski telah lama suaminya meninggal, ada sesak yang tertinggal di dalam hatinya saat mengingat masa-masa silam bersama sang suami."Kau tahu, pasangan akan membuatmu menjadi lebih kuat. Dan Tante sangat yakin, Janu bisa menjagamu dengan sangat baik. Kau akan bahagia jika memiliki suami sepertinya. Tante bisa melihat ketulusan pada pemuda itu. Tante sangat senang sekali karena pada akhirn
Kemenangan yang baru saja dinikmati Sinta telah minggat bersama hilangnya Smith dari pandangan orang-orang. Ia jelas langsung kalang kabut atas pertanyaan Smith menyoal sang pacar. Apalagi kalau sampai membayangkan Smith menikah! Batin Sinta benar-benar seperti dihantam palu besi raksasa. Tueeeng! Nyeri bukan kepalang.Hal itu akan mengancam posisi dari keturunan Sisil sebagai pewaris utama kekayaan Hendry. Angan-angan Sinta terhadap suami Sisil yang kelak akan meneruskan bisnis Hendry menjadi sedikit buyar.Sinta tidak percaya jika Smith mau menjalin hubungan dengan laki-laki. Rasanya tidak masuk akal kalau Smith memiliki pacar. Apalagi kalau sampai akan melamar Smith pula."Atau mungkin selama ini gadis itu sudah berbohong? Dia mengaku pada semua orang tidak akan pernah menikah sampai mati. Tapi sebenarnya, diam-diam dia sudah berpacaran! Kurang aj*r! Bangs*t! Ternyata dia jauh lebih licik dari yang aku kira. Bagaimana bisa aku me
Malam ini Smith tidak bisa tidur. Meski tubuhnya telah rebah di atas ranjang empuk, matanya masih terjaga mengamati sekeliling.Pikiran gadis itu melayang. Besok adalah hari baru untuknya. Janu akan datang dan melamar dirinya dengan cara yang mungkin akan penuh drama.Setelah malam ini pastilah semua akan menjadi sangat berbeda. Ia harus berbagi semuanya dengan Janu. Mulai dari kasur, lemari, dan seluruh isi kamarnya. Lalu Smith merasa ngeri hingga bulu kuduknya berdiri ketika membayangkan harus berbagi tubuhnya juga.Sementara itu, di lain tempat yang cukup jauh dari kediaman Smith, hal yang sama juga terjadi pada Janu. Pemuda itu belum juga terlelap meski hari sudah melampaui batas malamnya. Tapi berbeda dengan Smith, Janu tidak tidur bukan karena tidak mau tidur, namun karena pekerjaan yang belum selesai.Benar, Janu memang memutuskan untuk mengambil pekerjaan tambahan agar memiliki cukup uang sebelum kelah
"Janu! Janu! Bangunlah!" ujar Pak Jack masih dengan senyum, kentara sekali garis kesabaran di wajahnya.Janu menggerakkan tangannya dan mulai mengangkat kepalanya yang bertumpu di atas meja. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika ia mulai membuka matanya dan melihat sang dosen sedang berdiri di hadapannya.Wajah Janu yang menjadi pucat seperti kertas putih membuat gelak tawa menggema lebih keras di dalam ruangan itu.Dengan kepala menunduk dan wajah menyesal Janu berkata, "Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Tidak seharusnya saya tidur di dalam kelas. Silakan Bapak memberi hukuman apa saja kepada saya. Saya akan melaksanakannya dengan ikhlas. Saya memang sudah melakukan kesalahan besar."Janu yang tidak pernah tertidur di dalam kelas menjadi cemas lantaran mengira Pak Jack akan tersinggung karena ulahnya yang konyol. Ia sadar, sebuah hukuman sangat pantas untuk mengganjar tindakan kurang ajarnya itu.Menurut pandangan Janu pribadi,
Melihat wajah Janu yang melas diliputi rasa bersalah, emosi Smith melunak. Raut mukanya tidak lagi menunjukkan kekesalan. Walau bagaimanapun, Smith tahu benar bahwa Janu bukan orang yang suka bermalas-malasan hingga memilih tidur saat jam kuliah berlangsung. Janu selalu bersemangat sampai kadang-kadang membuatnya enek. Pasti ada hal tertentu yang menyebabkan pemuda itu sampai terlelap di dalam kelas."Sebaiknya kita segera kembali ke kelas. Aku yakin mereka sedang sibuk bergosip setelah aku keluar kelas. Tapi itu tidak masalah. Akan tidak enak saja jika Pak Jack menjadi terganggu karena hal itu," ucap Smith pelan saja sambil berjalan menuju kelas. Diikuti Janu yang mengekor di belakangnya seperti anak ayam mengikuti induknya.Dalam perjalanan itu, muncul sedikit rasa tak enak hati yang mendiami halaman hati Smith. Ia pun berkata, "Apa kepalamu masih sakit?""Em, tidak, tidak. Aku sudah baik sekarang," jawab Janu gugup, sekaligus senang karena Smith masih peduli pad
Angin segar yang membawa oksigen dari pohon besar yang banyak terdapat di taman kota berhembus berkali-kali. Menebarkan kesegaran tersendiri di antara teriknya matahari siang. Namun, tampaknya hal itu tidak cukup untuk mendatangkan tenang pada diri Janu.Pasalnya, sudah hampir seperempat jam Janu menunggu. Tapi Smith tidak kunjung keluar dari toilet yang letaknya sekitar 15 meter dari bangku tempat Janu duduk.Janu pun mengeluarkan ponselnya, berencana untuk menelepon Smith, memastikan apakah semua baik-baik saja, atau telah terjadi sesuatu hingga Smith begitu lama di kamar mandi.Namun, belum sampai ia melakukan panggilan atas kekhawatiran yang dirasa, Smith sudah lebih dulu mengirimkan pesan padanya. Janu tersenyum lantaran berpikir bahwa mungkin kemistri antara dirinya dan Smith sudah mulai terbangun."Pulanglah lebih dulu. Aku akan pulang sendiri." Begitu pesan dari Smith tertulis. Membuat Janu m
Kediaman Hendry Sasongko tampak sangat sibuk. Orang-orang tengah bersiap atas kedatangan tamu istimewa yang diakui Smith sebagai kekasihnya.Bibi Ipah dibantu Pak Jono tengah mengangkat segala macam jamuan spesial dari dapur ke ruang makan. Mereka terlihat sangat bersemangat melakukannya. Seolah tidak terasa lelah sama sekali.Sang kepala keluarga, Hendry Sasongko, sedang melihat bayangannya di cermin sembari mengayunkan sisir di rambutnya yang telah ditumbuhi beberapa helai uban. Lelaki itu tampak sangat sumringah, sudah tidak sabar menunggu pertemuannya dengan sang calon mantu.Bahkan, saking senangnya, Hendry menjadi sedikit gugup. Ia sungguh ingin tahu, pemuda seperti apa yang telah menakhlukkan anak gadisnya yang super ekstra galak sekali.Sementara sang istri, terlihat suram. Sinta terus saja manyun dan tidak bergairah untuk mempercantik diri. Tidak seperti biasanya yang selalu semangat dalam bersolek.&n
Sesuai informasi yang disampaikan Smith, tamu istimewa itu akan datang pukul 19.00. Maka, setelah lima belas menit berlalu dari jam tersebut, orang-orang mulai gelisah mempertanyakannya. Tentu saja yang paling lantang bertanya adalah Sinta."Apa mungkin pacarmu belum siap untuk menemui kami dan mendadak berubah pikiran?" kata Sinta dengan batin terbahak-bahak. Ia sungguh berharap pacar yang diceritakan Smith tidak akan pernah datang. Entah karena takut, lupa, atau mati sekalipun."Aku rasa itu tidak mungkin. Jika memang dia membatalkan pertemuan ini, pastilah akan mengabari Smith. Mungkin dia sedikit terlambat karena ada urusan penting lainnya yang harus diselesaikan," bantah Hendry tidak terima."Aku setuju dengan ayah. Mungkin dia memang masih repot, jadi sedikit terlambat. Tapi aku yakin, sebetar lagi dia pasti akan datang. Iya 'kan Smith?"Smith hanya melempar senyum. Dalam hatinya ia terus mengumpat karena Janu