Argan kembali ke rumah pada tengah malam hampir menjelang subu. Walaupun mengantuk, tapi Mentari masih terjaga, menunggui suaminya, lebih tepat motornya. Dia harus memastikan motornya dalam keadaan baik seperti ditinggalkannya kemarin.
Saat mendengar bunyi pintu depan tertutup, Mentari segera keluar dari kamar menuju ruang tamu. Argan terlonjak melihat kemunculan Mentari di tengah remang-remangnya pencahayaan di dalam rumah. Hanya tinggal cahaya dari lampu teras memancar masuk ke dalam ruang tamu.
Ingin sekali Argan membentak Mentari, sekaligus tidak ingin membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap. Dengan bisikan jengkel yang tak tertangkap telinga Mentari, Argan berlalu menuju kamarnya. Sigap, Mentari menghadang Argan sambil mengulurkan telapak tangan kanannya yang terbuka.
“Di motor,” ucap Argan mengerti, kemudian berlalu. Tak ingin meladeni ocehan Mentari seperti di telepon pagi tadi.
Perlahan Mentari membuka pintu depan dan mengh
Argan kembali ke rumah pada tengah malam hampir menjelang subu. Walaupun mengantuk, tapi Mentari masih terjaga, menunggui suaminya, lebih tepat motornya. Dia harus memastikan motornya dalam keadaan baik seperti ditinggalkannya kemarin.Saat mendengar bunyi pintu depan tertutup, Mentari segera keluar dari kamar menuju ruang tamu. Argan terlonjak melihat kemunculan Mentari di tengah remang-remangnya pencahayaan di dalam rumah. Hanya tinggal cahaya dari lampu teras memancar masuk ke dalam ruang tamu.Ingin sekali Argan membentak Mentari, sekaligus tidak ingin membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap. Dengan bisikan jengkel yang tak tertangkap telinga Mentari, Argan berlalu menuju kamarnya. Sigap, Mentari menghadang Argan sambil mengulurkan telapak tangan kanannya yang terbuka.“Di motor,” ucap Argan mengerti, kemudian berlalu. Tak ingin meladeni ocehan Mentari seperti di telepon pagi tadi.Perlahan Mentari membuka pintu depan dan mengh
Berkali-kali Mentari kembali ke pekarangan depan, berharap dapat melihat motornya telah terparkir di sana dengan bantuan keajaiban. Nyatanya tidak. Malah terakhir kali Mentari kembali yang ada adalah sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di depan gerbang masuk. Seorang wanita turun dari dalamnya. Mama.Mentari memperhatikan mama yang berusaha menganggap Mentari tidak ada di sana. Mama melewati Mentari tanpa menyapanya, masih tertinggal ekspresi marah di raut wajahnya. Setelah mama mencapai pintu, Mentari ikut masuk ke dalam.“Pa, ayo makan,” ajak mama sambil menengok ke dalam kamarnya, lalu menuju ruang makan. Kantong plastik transparan berlogo berwarna oranye yang dibawanya diletakkan di atas meja.Dari ruang tamu, Mentari dapat melihat kotak-kotak kecil dikeluarkan mama dari dalam kantong plastik. Mama keluar membeli makanan entah di mana.Papa yang keluar dari kamar berpapasan dengan Mentari yang hendak menuju kamarnya. “Ayo makan, Mentari.”“T
Alarm ponsel Mentari berbunyi nyaring di dalam kamar. Enggan dia membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Ia hendak mematikan alarm itu lalu kembali tidur, namun dia sadar benar bahwa ia tidak akan bangun kesiangan jika melakukannya. Ia menatap Feliz yang masih terlelap di sampingnya dan tersenyum.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia ke dapur dan memeriksa lemari es. Kosong, tak ada sisa bahan makanan apapun yang dapat diolahnya.Dia memeriksa lemari dan wadah tempat biasa mama menyimpan sayur, juga tidak ada apapun.“Hhh… apa yang harus kumasak?” desahnya bingung.Dia kemudian teringat minmarket tempatnya mampir bersama Feliz beberapa hari yang lalu. “Tapi, di sana tidak menjual sayur atau daging,” simpulnya kecewa.Mentari pun mencari lokasi pasar atau toko lain yang menjual bahan-bahan makanan di sekitar rumah. Dia menemukan sebuah pasar yang lokasinya berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah dan memutuskan
Diiringi tangisan Feliz, Mentari meninggalkan rumah. Tidak tega dirinya menitipkan Feliz pada mama yang dianggapnya tidak menyukai anak-anak. Dia berusaha menepiskan bayangan-banyangan buruk yang semakin gencar berkelat di benaknya, namun sulit. Akibatnya, dia tidak fokus dalam bekerja. Berkali-kali dia menelepon mama, hendak memastikan keadaan Feliz, namun mama tidak menjawab teleponnya.Perjalanan pulang terasa begitu cepat. Seperti Tuhan memihaknya menepikan halangan sepanjang jalan. Tak sekalipun dia bertemu lampu merah, tidak ada titik macet meskipun hari ini hari jumat, serta cuaca yang hanya menunjukkan gumpalan awan bertebaran di langit tanpa hujan.Bergegas Mentari masuk ke dalam rumah, mendapati tidak ada seorang pun di ruang tamu, bahkan tidak ada suara siapapun. Ketegangan menghinggapi Mentari. Dengan langkah panjang, dia menuju kamar dan membuka pintunya.Di atas ranjang, tergeletak Feliz. Berlari Mentari mendekati anaknya."TIdak bisakah kam
Tiga hari berlalu sejak peristiwa kepulangan Mentari di jam kerja. Dua hari ini dia selalu mengantar-jemput Feliz di rumah ibunya, rumahnya juga. Semakin berat tanggung jawab yang dirasakannya dan tubuhnya pun ikut merasakan kelelahan tiada henti. Dia harus bangun pagi untuk membantu pekerjaan di rumah mertuanya, mengurus Feliz dan berangkat kerja yang memerlukan waktu satu jam. Ditambah mengantarkan Feliz ke rumahnya, dia harus menambah ekstra waktu setengah jam. Begitu pun saat pulang, dia harus menjemput Feliz, pulang membantu mertuanya baru bisa beristirahat.Namun, Mentari mensyukuri satu hal. Ibu memberikannya bekal makan siang, sehingga dia tidak harus merogoh kantongnya untuk membeli makan siang lagi. Bahkan saat pulang kerja, dia menyempatkan diri makan malam bersama Feliz sebelum kembali ke rumah mertua. Ibupun dengan senang hati memberikan tambahan bekal baginya dan Feliz sebagai antisipasi jika Feliz tidak mau makan masakan mertua."Kamu patut bersyukur karena mertuamu tida
Hampir saja Mentari menabrak seorang pengendara motor lain yang hendak menepi. Ini pertama kalinya dia berkendara secepat ini. Tak henti dia menerka-nerka maksud pesan mama. Dia telah berkali-kali menelepon mama dan mengirimkan pesan, namun direspon. Ada apa?Pintu pagar berkeriut lebih keras daripada biasanya dikarenakan sentakan tangan Mentari yang kasar. Motor diparkir sekenanya, lalu dia berlari masuk ke dalam rumah. Raungan Feliz membuat kekuatirannya memuncak. Namun, dia tidak sempat menerka lagi, mama keluar dari kamarnya."Ma, ada apa?"Sebelum mama menjawab, Mentari telah menerebos masuk ke dalam kamar dan mendapati anaknya duduk di atas ranjang, meraung sekeras mungkin. Segera diraihnya dan dipeluk erat."Mama di sini, Feliz Sayang, Mama di sini. Cup... cup...""Sejak kamu berangkat kerja, dia hampir tidak berhenti menangis mencarimu, Mentari. Papa hampir tidak bisa beristirahat karena tangisannya terdengar begitu keras.Tidak mau