LOGINSelama setahun pernikahannya, Helena tak pernah merasakan hangatnya cinta dari Rivano. Suaminya dingin, penuh luka, dan menyimpan sisi gelap yang kelam. Bagi Rivano, cinta bukan kelembutan—melainkan kontrol, obsesi, dan dominasi. Di tengah pernikahan yang penuh luka itu, hadir Baskara—pria yang berbeda. Ia lembut, hangat, dan membuat Helena merasakan kembali arti dicintai tanpa rasa takut. Namun cinta tak pernah sesederhana itu… Mampukah Helena menemukan cinta sejati di tengah pernikahan yang rapuh? Bisakah Rivano melepaskan sisi gelapnya demi mempertahankan Helena? Atau justru cinta Helena yang perlahan berubah, berbalik arah pada Baskara? Sebuah kisah tentang cinta, luka, dan pilihan hati: Cintai aku… sebelum cinta yang lain mencintaiku.
View MorePintu dibanting begitu kasar. Rivano menghempas tubuhnya ke kasur, gerakannya begitu cepat mengunci tangan Helena, menghimpit tubuhnya hingga terkurung.
Suara gesekan logam sabuk terdengar jelas, membuat jantung Helena berpacu tak menentu. "Kamu... mau apa?" suaranya bergetar saat menatap ikat pinggang sudah di tangannya. "Jangan bergerak," suaranya terdengar berat. Tubuh Helena kaku, napasnya tak stabil. Ia menatap Rivano dengan mata berkaca-kaca. Dengan cepat Rivano melilit pergelangan tangannya, lalu dikaitkan ke tiang ranjang. Kini tubuhnya terperangkap—pasrah. Tak ada lagi sehelai kain yang menutupi dirinya di hadapan lelaki itu. Kepada seperti ini ? pikirnya, bertanya - tanya. Rivano menunduk, jemarinya menyentuh dagu Helena, memaksa wajahnya mendongak. Bibirnya mendekat ke telinga, membisikkan kalimat terakhir sebelum malam itu benar-benar dimulai. "Kau ingin kusentuh, kan?" tanyanya terdengar berat, nyaris seperti ancaman. "Jawab aku!" bentaknya tiba - tiba. Mata Rivano menyala penuh curiga"Atau kamu takut? Jangan - jangan... bukan aku yang pertama." Tatapan itu menusuk, mengintimidasi seolah menuntut pengakuan dari istrinya sendiri. "Tidak.. t-tidak takut." suara Helena bergetar, tapi matanya tetap berusaha bertahan. "Buktikanlah." Ia menatap balik suaminya dengan keberanian yang entah dari mana. Senyum tipis—nyaris tak terbaca—terbentuk di sudut bibir Rivano. Suaranya mengintimidasi di telinga Helena, seakan menghipnotis. Tangan kirinya mencengkeram pinggangnya erat, sementara tubuh Helena menegang atas apa yang dilakukannya. "Kau milikku, Helena. Dan malam ini, aku akan membuktikannya." Hening. Tubuh Helana terperangkap dalam kungkungannya. Rivano merunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Helena. Ia menatap, manik mereka bertautan. Ia dengan cepat menurunkan resleting celananya, melempar kain itu tanpa ragu. Tak ada kelembutan sedikit pun. Pemandangan di hadapannya membuat darahnya bergejolak. Wanita itu terikat, tak berdaya tanpa satu benang melapisinya. Ia tak lagi menahan sisi gelapnya. Ia meraih rambut Helena dengan paksa, menariknya hingga wajahnya semakin mendekat. Tanpa memberi kesempatan helena bernapas , bibir Helena di lumat habis. Ia menekan semakin dalam. Semakin basah. Helena tak ada jeda. Tak di beri ampun. Ciuman itu tak lepas . Ia menyesapnya. Permainan Rivano terlalu jauh. Sedangkan Helena pemain baru. Ia mencumbu setiap inchi tubuh wanitanya tak ada satu pun yang terlewat. Ia melumat habis lekuk itu. meremasnya bergantian. "Nghh...." desahan itu lolos dari bibir Helena saat suaminya meninggalkan jejak kepemilikan disana. "Siapa yang mengijinkanmu mendesah?" tatap Rivano dingin. Wajah Helena memerah, ia mengigit bibir bawahnya yang sudah bengkak karena sesapan liar Rivano , Ia berusaha menekan suara. Tapi siksaan itu belum berakhir—kini giliran lekuk dadanya yang menerima gigitan, remasan dan cengkramaan dari lelaki itu. "Rivano..." bisiknya kembali lolos. "Jadi, dengan siapa kamu berciuman malam itu?" tanya Rivano penuh amarah, jemarinya masih meremas tanpa ampun. "Aku tidak berciuman!" Helena meninggikan suara, tak ingin pembahasan itu lagi. "Berani kamu membentakku?" hardik Rivano, suaranya menggelegar. "Aaaaahhhh—!" pekik Helena terperanjat saat sesuatu menghantam mencoba masuk ke dalam. "Satu..." Rivano mulai menghitung, suaranya rendah namun tajam menusuk. Di detik itu juga "Aarrrggghhh..." erang Helena dengan mata melebar, tubuhnya menegang menahan benda asing yang ingin mendesak masuk. "Dua..." Rivano kembali menghitung. makin menekan, menembus dinding pertahanan yang selama ini dijaga rapat Helena. Ia ingin membuktikan—dengan matanya sendiri—apakah benar malam ini adalah yang pertama baginya. Dan— "Tiga...." Hentakan itu semakin dalam, brutal, tak memberi ampun. "Aaarrrgghhh..." lengking Helena pecah bersamaan sesuatu yang mengalir, menandai pertahanan lolos. Keterkejutannya membuat matanya melebar. namun tubuhnya tak sanggup berbohong. Sesuatu memenuhi dirinya Rivano puas merasakan rematan di bawah sana. Ia memejam merasakan sensasi di bawah sana. Deru napasnya semakin berat saat ritmenya semakin kencang. Ia tak perduli erangan demi erangan yang lolos dari mulut Helena. Yang ia tahu Helena pun merasakan kenikmatan yang sama. Tubuh Rivano mendominasi, mengguncang Helena hingga ranjang bergetar hebat. "Rivano.. Rivano... aku mohon, hentikan! Hentikan!" teriak Helena dengan suara bergetar kesakitan. Bagaimana mungkin tidak sakit ini malam pertamanya dan tak menunggu ia siap—ia sudah di gempur habis oleh hentakkan dari Rivano. Tubuhnya tak sanggup menerima tekanan langsung. "Rivano....." kembali ia berteriak kesakitan. "Jangan berteriak! Katamu kau tak akan menyesalinya!" bentak Rivano, wajahnya keras. Bukan mereda, justru hentakannya makin dalam, hingga terdengar bunyi penyatuan yang kasar. "Hentikan, Rivano..." lirih Helena memohon. Tubuhnya menggeliat, berusaha melepaskan ikatan di tangannya. Namun teriakannya membuat Rivano murka. Dengan cepat, ia membekap mulut Helena dengan satu tangannya. Ia benci ketika submissive melanggar aturan—dan malam ini, Helena harus belajar. Hentakan demi hentakan menguncang, semakin brutal. Tubuh Helena bergetar hebat, lenguhannya tertahan di balik bekapan tangan Rivano. Matanya basah, air mata tumpah tak terbendung. Terlalu sakit. Terlalu pedih. Ia merasa dirinya terkoyak. Tangisnya pecah. Butuh beberapa waktu untuk Rivano menyadari wanitanya menangis. "Aaarrgghhh..." erang Helena lolos ketika Rivano akhirnya melepaskan bekapannya. Rivano sedikit menghentikan aksinya. Ia terusik oleh gemetar tubuh istrinya—dan oleh air mata yang kini mengalir di pipi Helena. "Aku bilang tadi apa?" suaranya terdengar lebih pelan, namun tetap menusuk. Pinggulnya tetap mendorong, kali ini dengan gerakan lebih lambat, seolah mencoba berbelas kasih. "Jangan apa? Aku tanya sekali lagi." Tatapannya lekat, tak memberi ruang untuk mengelak. "J-jangan... berteriak," jawab Helena di sela sesegukan. "Patuhi aku." Perintah itu meluncur tegas. Rivano membelai pucuk kepalanya, tapi tetap tak menghentikan sensasi yang sedang ia nikmati. Usahanya memperlambat langkah hanyalah semu—kenikmatan membuatnya tak sepenuhnya bisa berhenti. Ia menatap wajah Helena yang basah oleh keringat dan air mata. Pemandangan itu, alih-alih melembutkan, justru membuat darahnya menggelegak. Melihat wanita itu tersiksa membuat gairahnya makin menggila. Kedua tangannya beralih mencengkeram leher Helena. Tak sampai mencekik mati—hanya menyesakkan, cukup untuk menegaskan kuasanya. "Bisa patuhi aku?" bisiknya, dingin, sembari menatap tajam ke mata Helena. Air mata menetes di sudut mata Helena, nyaris tak ia sadari sendiri. Dengan bibir terkatup rapat, ia mengangguk pelan. Tatapannya lekat pada pria di atasnya—pria yang ia cintai. Tak ada lagi rintihan yang lolos dari mulutnya, Kini yang ada hanya desahan sang lelaki yang terpenuhi hasrat dan egonya. "Uuuhhhghhh." lengkuhan berat lolos dari bibir Rivano bersamaan dengan ledakkan hangat itu. Cengkeramannya perlahan melonggar, namun kendali tetap berada di tangannya. Seperti ini... seorang suami menyentuh istri? Dan bodohnya... aku tetap mencintainya. suara hati Helena Seperti itulah cara Rivano menyentuh istrinya pertama kali.Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.
Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.
Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”
Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d
Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,
Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments