Share

BAB 4

Auteur: tasharenjana
last update Dernière mise à jour: 2024-10-12 19:41:05

Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.

Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian dalam. Rasa sakit di hatinya kembali membara, mengingat semua kata-kata menyakitkan yang diterima dari keluarga Raka.

“Baiklah, kita lihat nanti,” Raka berkata ke dalam telepon, suaranya terdengar tegas. Ayla menangkap nada serius dalam suaranya, namun hatinya hanya bisa merasakan kehampaan. Dia ingin berbicara, ingin mengeluarkan semua isi hatinya, tetapi setiap kali berusaha, mulutnya terasa berat.

Setibanya di rumah, Raka langsung beranjak keluar dari mobil tanpa menunggu Ayla. “Aku pergi sebentar. Tunggu di dalam,” ucapnya sambil melangkah cepat ke pintu rumah. Ayla hanya bisa mengangguk, perasaannya campur aduk antara harapan dan kesedihan.

Begitu Raka pergi, kesunyian kembali menyelimuti Ayla. Ia duduk di sofa, menatap dinding-dinding kosong yang seakan menatap balik. Dering ponsel Raka yang terus bergetar membuat Ayla semakin merasakan betapa terasingnya ia. Seakan ada dunia di luar sana yang lebih penting, sedangkan dirinya hanya menjadi bayangan yang terpinggirkan.

Setelah beberapa saat, Ayla memutuskan untuk beranjak ke dapur. Ia mencoba menyiapkan segelas teh hangat, berharap bisa meredakan ketegangan di dalam hatinya. Namun, saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, air mata tak tertahan mengalir di pipinya. Rasa kesepian itu melanda lebih dalam dari sebelumnya.

“Aku butuh kamu, Raka,” bisiknya pelan, meskipun tahu bahwa suaminya mungkin tidak akan mendengarnya. Semua harapan yang ada di dalam benaknya seakan menguap bersama air mata yang jatuh. Ia merasa semakin terjebak dalam pernikahan yang dingin ini, dan semakin merasa tak berdaya.

Raka kembali ke rumah dengan ekspresi yang serius. Melihat Ayla yang duduk sendiri di dapur, hatinya terasa berat. “Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ucapnya, berusaha menjelaskan, tetapi nada suaranya tampak datar.

Ayla hanya bisa mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya. “Nggak apa-apa.”

“Kalau begitu, aku perlu istirahat sebentar,” Raka melanjutkan, seolah tak menyadari betapa Ayla membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Ia melangkah menuju kamar, meninggalkan Ayla sendirian dalam kesunyian yang menghimpit.

Ayla menatap pintu yang tertutup, merasakan getaran kesedihan yang mendalam. Ia mengangkat cangkir teh hangatnya, tetapi rasa pahit dari air mata yang mengalir lebih terasa di lidahnya. Dalam momen itu, ia menyadari bahwa hidup dalam pernikahan ini mungkin lebih sulit dari yang pernah ia bayangkan. Kemanakah cinta yang pernah mereka miliki? Di mana harapan untuk masa depan yang lebih baik?

Dengan air mata yang membasahi pipinya, Ayla memutuskan untuk tidak mengizinkan kesedihan ini mengalahkannya. Ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, meskipun harus melewati semua rasa sakit ini sendirian.

***

Ayla menyetir mobilnya menyusuri jalanan kecil yang dikelilingi pepohonan rindang. Di sepanjang perjalanan, ia melihat rumah-rumah sederhana yang berjejer rapi, mencerminkan kehidupan yang tenang dan damai. Rumah-rumah itu terbuat dari bata merah, sebagian besar dicat dengan warna cerah, seperti kuning lembut dan hijau mint, menciptakan suasana ceria meskipun tidak megah.

Halaman depan rumah dihiasi dengan tanaman hias yang dirawat dengan baik. Beberapa tetangga sedang berkumpul di depan rumah, mengobrol dengan riang, sementara anak-anak bermain bola di halaman, tertawa riang dengan kebebasan yang hanya dimiliki oleh anak-anak. Suara tawa mereka mengisi udara, mengingatkan Ayla akan masa-masa bahagianya saat kecil.

Ayla melewati sebuah taman kecil yang dikelola oleh warga setempat, di mana mereka menanam berbagai macam bunga dan sayuran. Bau harum dari bunga-bunga berwarna-warni dan aroma segar tanah yang lembab mengingatkannya pada kebahagiaan sederhana yang pernah ia alami di sini. Beberapa penduduk setempat terlihat sedang bercengkerama sambil merawat tanaman mereka, menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat.

Saat ia semakin mendekati rumah orang tuanya, Ayla melihat halaman depan yang bersih dan tertata rapi, dengan kursi kayu yang diletakkan di bawah pohon mangga besar. Suara dedaunan yang berdesir lembut dihembus angin seolah menyambutnya pulang. Rumah orang tuanya tidak besar, tetapi memiliki pesona tersendiri. Dindingnya dicat putih dengan jendela berterali, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.

Di depan rumah, Ayla melihat warung kopi sederhana yang telah diubah dari halaman rumah. Meja kayu tua dan kursi-kursi dari anyaman bambu tersusun rapi di bawah naungan pohon mangga, memberi kesan hangat dan nyaman. Di atas meja, terdapat berbagai pilihan makanan ringan yang menggugah selera, seperti gorengan, kue, dan kopi aromatik yang mengisi udara dengan wangi menggoda.

Adiknya, Mira Adira, muncul dari dapur kecil yang terletak di belakang rumah. “Kak Ayla! Kakak pulang?!” teriaknya, melambaikan tangan sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Keceriaan Mira tampak jelas, dengan senyum lebar yang tak pernah pudar. “Kebetulan, Ibu dan aku lagi masak kue kesukaanmu!”

Ayla tersenyum, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang sudah lama tidak ia rasakan.

“Gimana kabarmu, Kak?” tanya Mira, saat mereka duduk bersama di meja. “Ibu bilang pernikahanmu baik-baik saja, tapi kamu kelihatan capek. Ada apa?”

Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir menggenang di matanya. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menyendiri,” jawabnya dengan suara lembut. “Kadang, semua terasa berat.”

Ibunya—Lina Mariani—memandangi Ayla, seolah ingin menggali lebih dalam, tetapi Ayla berhasil menutup rapat pintu-pintu yang mengungkapkan luka di dalam hatinya. Ia meletakkan secangkir kopi panas di depan Ayla, senyum hangatnya selalu bisa menenangkan. “Ini kopi spesial kami. Rasanya pasti membuatmu merasa lebih baik,” katanya, penuh perhatian.

Mereka pun mulai mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, tantangan yang dihadapi, dan harapan masa depan. Suara tawa dan canda menggema di antara mereka, menghilangkan semua beban di hati Ayla, setidaknya untuk saat ini.

Saat sore mulai beranjak, Ayla melihat sekeliling warung. Warung kecil ini bukan hanya tempat berjualan, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga dan teman-teman. Kehangatan dan cinta menyelimuti setiap sudutnya, membuat Ayla merasa diterima dan dicintai. Momen ini seolah mengingatkan Ayla bahwa, meskipun ia menghadapi banyak rintangan di luar sana, ada tempat yang selalu bisa menjadi pelabuhan untuk kembali.

Ayla melihat sekeliling, merasakan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan di rumahnya bersama Raka. Di sini, bersama keluarganya, semuanya terasa lebih sederhana dan tulus. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, rumah ini adalah tempat di mana hatinya selalu kembali.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 50

    Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 49

    Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 48

    Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 47

    Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 46

    Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 45

    Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 44

    Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 43

    Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra

  • Pernikahan Tanpa Kasih   BAB 42

    Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status