Setelah beberapa menit dalam mobil yang sunyi, mereka tiba di depan restoran mewah yang berdiri anggun, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi. Ayla menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang memenuhi udara. Ia melihat orang-orang yang datang dan pergi, sebagian besar dengan senyum ceria di wajah mereka, seolah tak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini.
Saat Raka mematikan mesin mobil, Ayla merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Ia menatap pintu masuk restoran yang megah, dengan tirai merah marun yang menggantung lembut, dan pelayan berpakaian rapi siap menyambut tamu. Di dalamnya, lampu-lampu berpendar lembut menciptakan suasana yang hangat, namun Ayla tahu betul bahwa itu hanya ilusi. Di balik kemewahan itu, tersimpan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.
“Kamu sudah siap?” Raka bertanya, suaranya datar dan terkesan tidak peduli.
Ayla mengangguk, walaupun ia tahu tidak ada yang bisa mempersiapkan hatinya untuk menghadapi keluarga Raka. “Aku akan berusaha,” jawabnya pelan, berusaha menguatkan diri.
Saat mereka melangkah keluar dari mobil, Ayla merasakan angin lembut yang berhembus, membuatnya sedikit bersemangat. Namun, saat mereka berjalan bersebelahan menuju pintu masuk, tangan Raka tampak bersikap dingin dan menjauh. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap langkah menuju pintu restoran adalah langkah menuju pertempuran yang tak terhindarkan.
“Kalau mereka yang menyinggungmu, jangan ambil pusing,” Raka menambahkan tanpa melihat Ayla, suara itu seperti peringatan yang dingin dan tak berperasaan.
“Aku akan jadi diriku sendiri,” jawab Ayla, meskipun hatinya bergetar. Ketidakpastian melanda pikirannya. Mampukah ia mengatasi tekanan dari keluarga Raka yang selalu melihatnya dengan tatapan skeptis?
Ketika mereka memasuki restoran, suasana berubah. Suara riuh percakapan tamu lain dan aroma masakan yang menggugah selera menyambut mereka. Namun, dalam sekejap, pandangan Ayla tertuju pada meja besar di sudut ruangan, di mana keluarganya Raka sudah berkumpul. Senyum hangat dan tawa mereka tampak begitu kontras dengan rasa cemas yang mengisi hatinya.
Dari kejauhan, ia melihat Ibu Aditya—Ratna Kusuma Aditya, dengan penampilan anggun dan tatapan tajam, yang seolah bisa membaca setiap ketidakpastian dalam diri Ayla. Nadya, yang duduk di sebelahnya, tampak tak sabar menunggu, siap dengan sindiran yang mungkin akan ia lontarkan.
“Raka! Ayla! Senang sekali kalian bisa datang!” seru Ratna dengan suara ceria. Namun, Ayla bisa merasakan ketegangan dalam sambutannya, seolah ada yang tersembunyi di balik senyuman itu.
“Makasih, Ma,” jawab Ayla, berusaha menampilkan senyuman terbaiknya dengan perasaan bergejolak. Ia duduk di sebelah Raka.
“Makan siang ini adalah kesempatan bagus untuk merayakan pernikahan kalian yang sudah satu tahun,” kata Ayah Raka—Surya Aditya—dengan suara tegas. “Kita harus ngobrol tentang masa depan!”
Ayla tersentak mendengar kata-kata itu. Apakah ini berarti mereka akan membahas anak? pikirnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa keluarga Raka mengharapkan cucu dari mereka, tetapi ia merasa tertekan dengan harapan-harapan itu, terutama mengingat kondisi pernikahan mereka yang belum sepenuhnya baik.
Suasana makan siang berlangsung dengan pembicaraan yang hangat, namun Ayla merasakan perhatiannya lebih terfokus pada interaksi antara Raka dan keluarganya.
Ketika makanan mulai disajikan, Ayla berusaha menyesuaikan diri dengan percakapan yang berlangsung. Namun, setiap kali ia berbicara, matanya bisa merasakan tatapan tajam dari Nadya yang tampak membenci keberadaannya. “Kamu nggak tahu gimana cara berpakaian yang tepat untuk acara seperti ini, Ayla?” Nadya menyindir dengan nada mengejek.
Mendengar itu, wajah Ayla memerah. “Aku cuma berusaha terlihat nyaman,” balasnya, mencoba untuk tidak terbawa emosi. “Makasih atas perhatiannya, Nadya.”
Suasana semakin tegang, tetapi Raka, yang menyadari ketegangan antara mereka, langsung mengambil alih. “Nadya, berhenti! Ini bukan waktu untuk bersikap nggak sopan,” ujarnya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Ayla bisa merasakan bahwa Raka sedang berjuang untuk menjaga ketenangan di meja itu.
Setelah beberapa saat, pembicaraan kembali mengalir, tetapi Ayla merasa tidak nyaman. Ia menggigit bibirnya dan meraih gelas air di depannya, berusaha menenangkan diri. Bagaimana jika semua ini menjadi alasan bagi keluarga Raka untuk menyalahkan dirinya?
Sementara itu, Raka sibuk berbincang dengan para anggota keluarganya, dan Ayla merasa terpinggirkan. Dalam hatinya, ia berdoa agar pertemuan ini tidak berujung pada pertikaian yang lebih besar.
“Raka, aku dengar bisnis keluarga kita meroket! Kapan kamu mau mempekerjakan lebih banyak orang?” Ratna memulai, senyumnya lebar namun mata yang tajam mengawasi Ayla. “Pastinya kita perlu orang-orang yang lebih berpendidikan, ya kan? Nggak seperti Ayla yang hanya lulus SMA. Dia pasti nggak mengerti obrolan kita,” tambahnya, disertai tawa Nadya yang mengejek.
Ayla merasa hatinya tercekat. Ia tahu Ratna tidak benar-benar peduli pada pendidikan, melainkan hanya ingin menjatuhkan martabatnya. Dia meraih gelas airnya, berusaha menetralkan rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di dadanya. “Aku mungkin nggak berpendidikan tinggi, tapi masih mampu mencari uang sendiri,” jawab Ayla, mencoba menunjukkan ketenangan di wajahnya.
Nadya menertawakan kata-kata Ayla, seolah-olah dia sedang menonton pertunjukan komedi. “Hahaha! Lucu! Gimana rasanya bisa jadi kaya mendadak dalam semalam, Ayla? Semua itu karena Kak Raka menikahi kamu! Tanpa itu, kamu pasti nggak akan bisa mengurus adik kamu yang hamil di luar nikah!” Nadya tertawa semakin keras, membuat suasana semakin canggung.
Air mata hampir menetes dari sudut mata Ayla. “Tolong jangan membahas itu di sini,” ujarnya pelan, tetapi suaranya penuh emosi. “Aku melakukan apa yang harus dilakukan buat keluargaku.”
Ratna mengangkat alisnya, seolah tidak mendengar, dan malah melanjutkan, “Ah, Ayla, kamu seharusnya berterima kasih pada Nadya. Kalau bukan karena dia, mungkin kamu masih hidup dalam kesulitan. Sekarang, lihatlah betapa beruntungnya kamu!”
“Dan apa yang Mama harapkan dariku?” Ayla bertanya, merasa putus asa. “Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk membuat pernikahan ini berjalan meski semuanya terasa salah. Aku merasa sendirian, dan semua ini membuat aku merasa buruk.”
“Nah, sepertinya kita nggak sepakat, Ayla,” Ratna menjawab, suaranya tajam. “Kalau begitu, jangan kaget kalau ada yang lebih baik untuk Raka. Dia layak mendapatkan istri yang lebih bisa diajak bicara, yang lebih terdidik.”
Ketegangan ini benar-benar menegangkan. Ayla merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha tetap tenang.
Raka, yang sedari tadi hanya diam dan mengaduk-aduk makanannya, akhirnya mengangkat wajahnya. “Cukup, Ma. Ini bukan tempat yang tepat untuk membahas hal-hal itu.” Suaranya dingin, dan Ayla merasakan sedikit harapan.
“Ah, tenang saja, Raka. Mama cuma mengingatkan dia kenyataannya. Dia harus bersyukur!” Ratna menjawab, terlihat sama sekali tidak peduli pada perasaan Ayla.
Ayla menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya terbakar oleh kata-kata Ratna. Ia memandangi Raka, berharap suaminya akan membelanya. Namun, Raka hanya terdiam, tidak memberikan dukungan yang diharapkannya.
Saat makanan disajikan, Ayla memutuskan untuk lebih fokus pada hidangan di depannya. Namun, di dalam hatinya, rasa sakit dan ketidakadilan terus menggelayut. Kenyataan bahwa kehidupannya berubah drastis karena kejadian tragis itu terasa semakin nyata di hadapannya. Di tengah kebahagiaan yang dibangun keluarga Raka, Ayla merasakan dirinya semakin terasing.
Ketegangan dalam ruangan semakin terasa, dan Ayla tahu bahwa ia harus kuat menghadapi semua ini. Namun, benarkah ia bisa bertahan di tengah keluarga yang terus mengingatkan betapa tidak beruntungnya dirinya?
Ketika makanan hampir habis, ponsel Raka bergetar lagi. Ia melihat layar ponsel dan berubah ekspresi, wajahnya tampak serius.
“Minta maaf sebentar, aku perlu menjawab ini,” katanya, berdiri dari meja dengan tergesa-gesa.
Ayla mengamati Raka yang menjauh, merasa semakin terasing. Ia menatap piringnya yang sudah kosong, dan hatinya dipenuhi oleh keraguan. Apa yang sedang terjadi di luar sana? Kenapa Raka terlihat sangat terbebani?
Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini
Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas
Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y
Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t