Keesokan harinya Robby datang kerumah Raline dengan emosi yang sulit untuk diredam. Di teras rumah Raline yang sepi, Robby sudah meletakan tangannya di pinggang dengan wajah yang sudah mulai memerah. Robby sudah naik pitam, ini kejadian sebelum akhirnya Robby merelakan semua tugas-tugasnya demi Raline.
"Sudah berani kamu jalan sama laki-laki lain?" Robby memulai perdebatan itu
"Kapan aku jalan sama laki-laki lain? Nggak ada, sayang"
"Lalu perempuan yang memakai baju merah muda dengan celana jeans hitam itu siapa?
"Siapa? Yang orang lain lahh. By, kamu kenapa, sih, jadi gini?" Dengan memegang pundak Robby, Raline langsung mengernyitkan dahinya.
"Aku? Ya kamu itu kenapa jadi gini?"
"Kamu sudah bosan denganku?
Deg! Seketika Raline ditampar oleh kenyataan. Di dalam hatinya Raline mengatakan iya.
"By, aku nggak paham sama kelakuan mu yang tiba-tiba datang kerumah terus marah-marah kayak gini. Untung dirumah nggak ada orang"
"Kemarin kamu jalan sama siapa? Jujur aja, Line"
"Kamu melihatku?" Wajah Raline nampak mulai cemas
"Untungnya aku tidak mengejarmu lalu memukuli laki-laki itu"
"Kamu salah paham, sayang" Raline yang berusaha meraih tangan Robby, namun Robby menepisnya
"Itu kenapa kamu nggak jawab telponku? Rupanya kamu sedang bersiap-siap untuk berselingkuh!"
Sambil memejamkan matanya Raline menjawab dengan tegas dan jujur.
"Dia hanya ingin mengembalikan jaketku. Dan dia mantan pacarku”
“Bisa-bisanya kamu melakukan hal itu, dimana otak kamu?!” Robby yang sudah benar-benar tidak tahan dengan emosi terus berdecak kesal
“Aku minta maaf, sayang, aku memang salah. Jangan tinggalkan aku” suara isak tangisan Raline mulai terdengar.
Jangankan orang lain, Raline pun juga masih bingung dengan dirinya bahkan dengan perasaannya. Yang waktu itu mengatakan ia bosan dengan Robby, namun setelah melakukan hal ini Raline tidak ingin Robby meninggalkannya.
“Ini balasan kamu sama aku? Rasanya perjuangan ku nggak ada harganya sama sekali. Tiga tahun, Line, kita menjalin hubungan ini dan ini akhir dari semuanya?”
Raline hanya bisa menangis sambil memegangi tangan Robby begitu kuat, mulutnya juga tidak ada hentinya untuk berkata maaf juga dengan penyesalan.
“Kenapa ketawa kamu saat itu tidak bisa ada saat bersama ku akhir-akhir ini? Kamu terlihat begitu bahagia dengannya?”
“Saat itu perasaan aku sedang tidak penting untukmu”
“Aku tahu maaf pun nggak bisa membuat hatimu kembali utuh. Tapi, setidaknya kamu hargai maafku, By. Saat itu aku benar-benar…”
“Benar-benar bosan denganku. Kamu bosan, Line, denganku”
“Aku hanya ingin sekali saja merasakan hari-hariku tanpamu” Raline yang mulai menunduk saat menjawab itu.
“Apa bedanya dengan bosan? Kalau begitu kita sudahi saja hubungan ini”
“Tidak.. aku mohon jangan. By, sehancur-hancurnya kamu sekarang aku yakin perasaan sayang dan cintamu masih sepenuhnya untuk aku. Kalau hubungan ini berakhir kamu akan menjadi manusia yang paling menyakitkan, aku nggak mau itu terjadi denganmu”
“Kalau sudah begini kamu bisa apa untukku? Line… aku sayang sama kamu” Robby memegangi kepala Raline dan terus menatap Raline begitu dalam.
“Pun denganku, By. Aku sayang, namun aku bingung dengan perasaanku sendiri” air mata Raline tumpah di pundak Robby.
Robby langsung memeluk Raline dengan hati yang penuh dengan luka. Ia memeluk seseorang yang membuat hatinya begitu hancur kemarin sore, ia juga mencium kening seseorang yang membuat harga dirinya hilang sebagai laki-laki.
Perasaan yang nggak menentu juga tumbuh di hati Robby, perasaan yang seharusnya nggak perlu untuk di lanjutkan, namun kini malah nggak akan mungkin untuk diakhiri.
Perdebatan itu selesai setelah saat hujan turun, seketika Robby ingat jika ia tidak membawa jas hujan, lalu Raline membawa Robby masuk ke dalam rumah dan membuatkan minuman hangat.
Setelah perdebatan berlangsung sikap Raline seketika berubah, ia begitu perhatian dengan Robby ia membuatkan makanan untuk kekasihnya itu dan ia juga berbicara sangat manis kepada Robby.
Semua telah berlalu, namun hati yang sudah terlanjur patah itu nggak bisa kembali utuh dan itu yang membuat Robby makin protektif sampai rela meninggalkan tugas-tugasnya agar Raline tidak mengulanginya lagi.
Setelah beberapa hari dari perdebatan itu sikap Robby masih sedikit acuh tak acuh kepada Raline. Untuk menebus kesalahannya, Raline sering datang ke kelas Robby untuk membawakan segelas es kopi dan makanan.
Di sinilah awal mula Raline malas dengan sikap Robby dan Robby makin hari makin protektif
✨✨✨
Perasaan-perasaan kedua manusia ini begitu tak menentu saat mereka dihadapkan oleh masalah yang membawa mereka di sebuah persimpangan pilihan; bertahan atau berakhir.
Namun, itu nggak semudah membalikan telapak tangan. Menentukan pilihan itu nggak semudah kita merobek kertas. Disaat semua sudah terjalin dengan keterbiasaan mereka nggak mau kalau pilihannya harus berakhir dan kalau mereka memilih untuk bertahan bakal ada hati yang terus tersakiti seperti ini.
Robby sempat mengatakan kepada Raline, kalau bosan itu bukan sebuah alasan yang tepat untuk mengakhiri sebuah hubungan dan Raline sepemikiran dengan Robby.
Kejadian itu yang membawa perasaan Raline di kekang oleh Robby.
***
Keputusan Raline sudah begitu bulat ia memutuskan untuk ambil cuti kuliah dan meninggalkan Surabaya. Sebenarnya sayang sekali kalau Raline harus cuti karena secara nggak langsung ia akan mengulur waktu untuk menuju kelulusan. Tapi, demi kedamaian dan ketenangan hati seorang Raline dirinya harus rela menerima resiko itu. Alasan yang ia berikan kepada keluarganya adalah ia ingin mencari suasana baru sambil mendalami bakatnya itu. Ingat, kan, kalau Raline jago gambar melalui tab. Ia akan pergi ke sebuah kota yang membuatnya bisa merasakan kedamaian. Tidak bermaksud untuk meninggalkan Surabaya dan seisinya, tapi apa yang Raline butuhkan sekarang itu adalah hal yang utama. Setelah pesta ulang tahun Eni, tentunya Robby tetap mencari Raline kesana kemari dan tujuan yang selalu Robby tuju adalah Geisha. Perempuan itu sudah berjanji untuk terus bungkam keadaan Raline, ia juga tidak bisa berbuat banyak karena keputusan Raline sudah bulat. Di suatu hari, Robby dan Geisha bertemu empat mata d
Di depan meja riasnya perempuan yang dinobatkan sebagai boneka barbie ini sedang bersiap dan sekarang dirinya sedang menyemprotkan minyak wangi ke beberapa titik tertentu di tubuhnya. Malam itu Bella tidak terlihat begitu mewah dalam soal pemilihan gaunnya. Ia sudah begitu cantik karena didukung oleh wajah yang cantik. Malam itu Bella akan datang bersama Rose yang sekarang juga sedang bersiap. Kedekatan Bella dengan Robby beberapa hari ini membuat pintu hati Bella perlahan terbuka. Itu mengapa dirinya bertanya lebih detail kepada Robby di toko bahan kue tadi. Memang tidak bisa disalahkan jika pintu hati itu terbuka. Namun, apakah Bella siap jika dirinya mengetahui bahwa Robby masih memiliki status dengan seorang wanita. Mungkin Bella seharusnya tidak perlu tahu agar masalah di antara Robby dan Raline tidak semakin runyam. "Bella? Kamu sudah siap?" Teriak Rose dari luar kamar Bella. "Sudah, Ma. Sebentar lagi aku keluar" walaupun Bella sedikit terkesiap, tapi label keanggunannya t
"Ada yang kurang?" tanya Robby kepada Bella sambil mendorong troli belanjaan. "Sepertinya tidak ini hanya bahan kering saja." jawab Bella sambil mengusap dagunya. Mereka sekarang berada di sebuah toko bahan kue yang bisa dibilang terlengkap di Surabaya. Hari itu tinggal menghitung jam saja untuk menyajikan kue ulang tahun Eni, namun Bella masih saja kelupaan untuk membeli kebutuhan pelengkap kue ulang tahun. Tujuan mereka bertemu hari ini memang untuk berbelanja ke toko bahan kue dan Robby akan membawa kue ulang tahun itu ke rumahnya. Tadi, ketika Robby berada dirumah Bella ia sudah melihat kuenya yang dihias begitu indah oleh Bella. Robby juga begitu takjub karena benar-benar sesuai pesanan. "Ohya, Rob. Boleh tanya nggak? tiba-tiba saja Bella melontarkan pertanyaan yang sedikit membuat Robby mengalami serangan jantung mini. "Mau tanya apa?" Robby juga memasang muka panik, tapi berlagak biasa aja. "Perempuan yang kemarin itu pacar kamu?" tepat pada sasaran tidak pakai basa basi l
Di tengah kamar yang sunyi, Ifan sedang fokus menyantap makan malamnya. Akhir-akhir ini Ifan lebih suka membeli makanan di dekat kostnya karena disana hanya menjual masakan rumahan. Sebenarnya ia bisa memasak sendiri, tapi beberapa hari ini ia sedang lelah sekali. Dirinya disibukkan oleh pekerjaan juga tugas kuliahnya. Jangan ditanya bagaimana Ifan sekarang, dirinya sudah cukup terkenal dan punya nama dimana-mana. Untuk ukuran usia Ifan yang sudah sukses termasuk hebat apalagi kesuksesan itu di iringi dengan berjalan bersama perempuan yang ia cintai. Semenjak putus dengan Raline, Ifan memang begitu fokus dengan Defani. Ia bisa mendapatkan waktu yang utuh bersama perempuan itu. Makan siang bersama, ngecek toko juga bersama-sama apalagi jika Ifan datang ke kantor untuk memeriksa koneksi jelas saja di temani oleh Defani. Namun… ada satu yang nggak bisa Ifan lakukan bersama Defani. Malam yang hangat itu tidak bisa Ifan dapatkan dari Defani. Entah, setiap Ifan minta untuk bermalam di kost
Mendengar suara itu, Raline hanya mematung dengan mata yang melebar serta mulut yang sedikit menganga. Raline tidak menjawab sepatah kata sedikit pun ia hanya menundukkan kepalanya sambil mengatur nafas agar terlihat biasa saja. "Nggak perlu, tadi aku hanya kebetulan lewat dan sedikit kaget lihat toko mu seperti ini" dengan keberanian yang penuh akhirnya Raline mendongakkan kepalanya dan menjawab pertanyaan Ifan tanpa terbata-bata. Lelaki yang ada di hadapannya itu melirik ke arah tas yang Raline bawa di tangan kanannya, ia sedang bertanya melalui lirikannya itu. "Ini… Habis jalan-jalan beliin kado buat seseorang. Kalau gitu aku permisi dulu sudah ditunggu soalnya" dengan secepat kilat, Raline meninggalkan toko Ifan dengan kembali menundukkan kepalanya. Sepeninggalan Raline, Ifan menoleh kebelakang melihat tingkah Raline yang sedikit membuatnya terkekeh. Itu hanya kebetulan dan Ifan memang tidak benar-benar untuk kembali dengannya. "Perempuan itu tidak membeli apa-apa?" tanya Ifan
"Have a nice day, sayang" ucap Robby ketika mereka hendak berpisah di parkiran motor fakultas Robby. Hari itu mereka berangkat bersama ke kampus karena Robby ingin sekalian memberikan undangan pesta ulang tahun Eni. "Have a nice day too, sayang." jawab Raline dengan begitu manisnya. "Oh iya.. Nanti nggak bisa pulang bareng, ya. Aku ada kerja kelompok, kamu nggak papa kan pulang sendiri?" Robby memberhentikan langkahnya saat teringat hal itu. Dari kejauhan Robby bisa melihat anggukan Raline beserta senyum yang masih sama seperti tadi, ia tidak merubahnya sedikitpun. Setelah itu Robby berjalan duluan meninggalkan Raline dan senyumnya. Sedangkan Raline menundukkan kepalanya lalu berjalan begitu saja menuju ke arah kelasnya. Sungguh cerah hari itu, matahari pun bersinar begitu cerah. Omong-omong soal hubungan mereka, semua berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada pertikaian diantara mereka dan hari ini mereka berangkat bersama karena Robby sekalian ingin mengantarkan undangan ulang
Di tengah keramaian yang ada di kafe itu, Robby sedang duduk manis sambil memainkan ponselnya. Keberadaan Robby disana bukan hanya semata ia ingin numpang WiFi atau membuang waktunya. Ia berada di kafe itu untuk menunggu seseorang yang sudah membuat janji dengannya. Selama menunggu, Robby sudah memesan segelas kopi susu beserta kentang goreng yang kini berada di hadapannya. Sambil mengusap layar ponsel, tangan kanan Robby berusaha menggapai kentang goreng dan sesekali meneguk kopi susu itu. Untuk masalah yang ada semua tidak usah di ceritakan kembali. Semua sudah berjalan dengan semestinya dan sekarang Raline memang masih fokus untuk beberapa mata kuliahnya. Jadi, Robby bisa izin untuk bertemu dengan seseorang. Pertemuannya ini mempunyai maksud dan tujuan yang semoga tidak merambat kemana-mana. Suara lonceng yang ada di pintu masuk kafe itu membuat Robby harus menengok ke arahnya. Dan benar saja seseorang yang ia tunggu sudah datang. "Nunggu lama? Maaf, ya, tadi sempet lama dapat
POV : Raline Ayunda. Aku tidak pernah menyangka jika aku mampu melakukan ini. Aku bisa membuang jauh-jauh egoku untuk sebuah perasaan dan aku juga membuang jauh soal cinta untuk dua hati itu. Melupakan itu hal yang sangat mustahil jika aku melakukannya dengan cepat, melupakan itu membutuhkan waktu yang entah sampai kapan. Awalnya aku pikir aku tidak akan bisa hidup tanpa cinta, tapi ternyata aku akan lebih tenang jika aku hidup dengan cinta yang tulus. Aku melihat begitu jelas ketulusan yang ada di Robby dan seharusnya tidak perlu aku ragukan lagi. Namun, entahlah mungkin dengan adanya kejadian kemarin aku membuat sebuah pengalaman jika mencintai dua hati itu tidak benar-benar baik. Sekarang aku melepaskan seseorang dengan keikhlasan karena aku juga telah tersadarkan bahwa porsi yang aku miliki itu tidak lebih untuk bersama Ifan. Begitupun juga dengan jalan yang aku pijak sekarang bukan lagi di sebuah persimpangan pilihan melainkan aku sudah menentukan arah kemana aku akan berjalan
Bahan pertimbangan yang selama ini Raline pertahankan untuk sebagai penentu pilihannya harus berakhir begitu saja. Sebab, setelah ia sembuh dan sadar akan semuanya ia tak repot-repot melakukan itu lagi. Dengan keputusan yang tegas, Raline tidak memilih Ifan. Jika berbicara soal perasaan tentu itu tidak karuan, tapi mengingat harga dirinya juga sudah jatuh di depan Defani, Raline tidak ingin membuang waktu bersama Ifan. Maka dari itu.. Raline memutuskan setelah pulang kuliah ia bertemu dengan Ifan. Pertemuan kali itu terasa berbeda, ia harus menyiapkan sebuah perpisahan yang mungkin ia tidak akan pernah bisa ketemu lagi dengan Ifan. Lebih tepatnya Raline tidak akan pernah bisa merasakan hal yang pernah dirasakan sebelumnya. Itu sudah pasti, tapi harusnya ada sedikit kesombongan di diri Raline kalau Defani masih mau dengan lelaki yang pernah 'tidur' dengannya. Namun, kesombongan itu tidak akan bisa Raline tumbuhan karena ia sibuk dengan perasaannya. Di sore yang masih selalu cantik it