Tubuh Tiara bergidik mengingat kejadian di panggung malam itu, hampir saja kokohnya bukit kembar miliknya ternodai pria mesum.
Tak bisa dibantah dua buah bukit kembar miliknya memang sangat menarik di mata lelaki manapun termasuk pria yang mabuk malam itu.
Obrolannya kemarin dengan Mba Dewi akhirnya terjadi padanya, persepsi orang-orang tentang biduan memang tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak salah bahwa mereka menjadi objek mesum pria pencari hiburan dan kenikmatan sesaat.
Ditengah rasa jenuh dirumah, panggung biduan menjadi pelampiasan mata yang haus dengan tubuh molek mereka.
Tiara yang tengah memikirkan kejadian itu dikejutkan ibunya, "Tiara, dengan kejadian yang kau alami kemarin, apakah tidak sebaiknya kamu berhenti dan mencari pekerjaan lain saja?"
"Aku harus bekerja apa Bu, mencari pekerjaan situasi sekarang ini susah."
"Malah banyak orang orang yang bekerja di PHK dan tidak dipekerjakan lagi."
"Bukankah almarhum Ayah pernah bilang, 'kendatipun terjal kita harus melewati rintangan sulit dan menerima dengan lapang karna semua butuh proses' ibu masih ingatkan?"
"Aku hanya ingin membahagiakan ibu, melihat ibu dimasa tua tidak lagi sibuk bekerja banting-tulang seperti ini."
"Tiara melihatmu bahagia, itu juga berarti kebahagiaan ibu Nak."
Wanita paruh baya itu membelai lembut kepala putrinya, setelah kehilangan suami dan dua orang kakak Tiara, ia satu-satunya yang menemaninya melewati derap hidup yang begitu berat.
Sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu, Tiara tidak lagi mendapatkan panggilan job dari Erwin bosnya.
Sebenarnya ia tidak begitu menghiraukan hal itu seandainya saja ia tidak berjanji dalam dirinya untuk membantu meringankan beban ibunya.
Tapi dengan tidak bernyanyi, darimana ia bisa mendapatkan uang.
"Apakah aku harus menghubungi bang Erwin?" Tiara mencoba berpikir .
Ia segera meraih ponselnya dan menelpon Erwin pimpinan organ tunggal tempatnya bekerja.
"Halo Bang, ini Tiara!"
"Hai Tiara cantik, kenapa? kamu kangen ya sama bang Erwin?"
"Aku cuma mau tanya bang, Job untuk aku ada 'gak?"
"Oh perihal itu nanti kita bicarakan di rumahku, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta kecil-kecilan, aku tunggu ya!"
"Iya bang," Tiara menutup teleponnya dengan mendengus.
Kalau bukan karna desakan keuangan dan impiannya, Tiara tidak mungkin menghubungi Erwin pria itu meskipun sudah memiliki istri tetap saja ia masih ganjen, sedikit saja melihat wanita cantik sorot matanya liar tak beraturan.
Melihat mukanya saja Tiara merasa malas.
Bahkan menurut kabar dari mba Dewi ia sudah banyak meniduri biduannya bahkan ada yang sampai hamil.
"Bu aku keluar sebentar ya!"
"Kamu mau kemana malam-malam begini?" tanya Bu Ratri.
"Aku mau kerumah bang Erwin."
"Hati-hati ya, Jangan lama pulangnya."
Tiara meraih switer yang tergeletak diatas kursi, ia kemudian menuju rumah Erwin pimpinan organ tunggalnya, udara dingin malam terasa menusuk.
Remang-remang cahaya lampu jalan yang memantul, meneranginya menyusuri gang.
Sengaja ia memilih jalan yang berbeda dari biasanya untuk menghindari kumpulan ojek pangkalan yang selalu saja mengganggu dengan gombalan mereka.
Jarak rumah Erwin tidak begitu jauh dari rumahnya hanya terpisah oleh sebuah jalan raya yang terdapat diujung gang.
Tiara melintasi jalan raya yang masih sangat ramai, rinai hujan sesekali terlihat dari cahaya lampu kendaraan.
Beberapa langkah lagi ia sudah sampai di depan rumah yang luas itu, dari luar sudah bisa terlihat olehnya beberapa rekannya sudah sampai lebih dulu.
"Hai semua!"
"Hai Tiara, ... !!" Serentak mereka menyapa Tiara.
Disitu sudah ada mba Dewi dan beberapa rekan biduannya. Tiara memilih duduk disamping mba Dewi, hanya dia diantara mereka yang sudah ia kenal.
Beberapa yang lain memandang sinis kearahnya, seperti tidak suka dengan kehadirannya.
Barusaja beberapa menit ia disana, Yanti tiba tiba saja melemparkan ucapan yang tidak mengenakkan di telinganya, "Ohh kukira kamu tidak mau lagi bernyanyi setelah kejadian kemarin, enak ya diperebutkan seperti itu?"
"Kalau mau jadi biduan tidak usah munafik seperti itu Tiara, ganjen ya ganjen aja," Tambah Yanti lagi membuat Tiara yang mendengarnya geram tidak dapat menyembunyikan kemarahannya.
"Maksud mba apa ya?, menganggap saya seperti itu!" seru Tiara pipinya memerah menahan amarahnya yang membuncah.
"Sabar Tiara kamu tidak usah meladeni ucapan seperti itu," Dewi mencoba menenangkan Tiara.
Sindiran Yanti beralasan, bahwa selama ini ia merasa iri kepada Tiara, merasa memiliki saingan setelah kehadirannya yang sekarang lebih banyak digemari, belum lagi jobnya yang semakin berkurang karna harus berbagi lagi dengan Tiara sebagai biduan baru.
Beberapa biduan yang merasakan hal yang sama dengan Yanti dihasutnya menjadi tidak menyukai Tiara.
Hanya Dewi saja yang tidak demikian dan menganggap Tiara seperti adiknya sendiri.
Ditengah kisruh mereka, Erwin muncul dari dalam rumah dengan seorang wanita yang kira-kira seumuran dengan Tiara, sepertinya mereka baru saja selesai bercumbu, itu terlihat dari pakaian wanita itu yang belum sepenuhnya ia kenakan, dan bekas ciuman yang memerah begitu jelas di lehernya.
Erwin melewatkan ketegangan yang barusaja terjadi antara Tiara dan Yanti, "Haii ternyata semua sudah hadir disini."
"Yuk kita mulai saja pestanya."
Sound sistem disetel, beberapa minuman keras disediakan di tengah-tengah pesta biduan malam itu.
Erwin menghampiri Tiara yang masih duduk disamping Tiara, pandangannya memberi kesan birahi.
"Tiara, kamu mau 'kan job yang banyak?" Tiara memperhatikan arah pembicaraan Erwin yang mulutnya sudah berbau minuman.
Tiara diam saja menunggu Erwin melanjutkan bicaranya, Erwin kemudian merapatkan wajahnya ke telinga Tiara.
Seperti seseorang yang ingin membisikkan sesuatu, tapi tangannya menggerayangi paha putih yang mulus Tiara yang malam itu hanya mengenakan daster tipis.
" Tiara kamu mau kan tidur denganku?, kalau kau mau mendapat job yang banyak, bagaimana Tiara kamu mau?"
Plaaakkk ... ! sebuah tamparan mendarat tepat di wajah bos biduan itu, ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu dari Tiara, baru kali ini ada biduan yang menolak tidur dengannya.
Erwin bangkit dengan wajah memerah bekas tamparan, ia mengangkat tangannya berniat membalas Tiara, tapi seketika dengan sigap Tiara menepisnya.
"Kamu pikir aku sama dengan wanita-wanitamu itu, biarpun aku miskin tapi aku masih menjaga harga diriku," ucap Tiara dengan airmata yang mulai jatuh dipipinya.
Dewi yang ada disampingnya terkejut melihat kejadian itu, ia segera menarik Tiara menjauh.
"Dasar munafik perempuan, tidak tahu diri kamu Tiara sudah diberi pekerjaan malah bertingkah!" Seru Yanti dengan pandangan tajam kearah Tiara.
"Maaf mba kalau aku salah, aku hanya tidak terima diperlakukan seperti itu, aku harus pulang aku rasa disini bukan tempatku," ia melangkah keluar meninggalkan rumah Erwin, isak tangisnya semakin dalam.
"Tunggu Tiara!, biar aku mengantarmu pulang," Dewi mengantarkan Tiara pulang meninggalkan Erwin dan biduan lain yang masih tengah berpesta.
Sudah beberapa hari Tiara hanya mengurung diri di rumah, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya bernyanyi. Dikepalanya terus terngiang ucapan bukde Mayang, "kalau menjadi biduan itu repot, apalagi omongan-omongan orang terhadapnya." Dewi entah sudah beberapa hari ini datang berkunjung, sekedar ngobrol bersama dan menghiburnya, Dewi dan Tiara sudah merasa semakin akrab sejak kejadian malam itu, Dewi sangat tahu bagaimana yang dirasakan Tiara sekarang. "Tiara kamu yang sabar ya sayang, mereka itu hanya merasa iri sama kamu, apa kamu 'gak pernah kepikiran untuk kembali bernyanyi?" "Saya masih mau bernyanyi sih, tapi bagaimana saya harus kembali ketempat yang seperti itu mba?, aku merasa tidak cocok di sana, dengan suasana yang seperti itu," ungkap Tiara. "Iya sih, kamu masih muda Tiara perjalanan kamu masih panjang kalau aku sih bisanya hanya bernyanyi saja." "Iya mba, terima kasih sudah begitu perhatian dengan saya." Tiara senang dengan pekerjaannya sebagai biduan tapi ia
Begitu banyak cobaan hidup untuk Tiara, belum hilang dari ingatannya bagaimana Erwin memperlakukannya, kini muncul lagi perlakuan yang tidak senonoh pada dirinya. Percobaan pemerkosaan yang masih menyisakan trauma besar dalam dirinya. Dewi yang bersamanya saat itu merasa sangat bersalah atas kejadian yang terjadi pada tiara, bagaimanapun ia yang mengajak Tiara ketempat itu, sahabat-sahabatnya pun demikian, menaruh prihatin yang sangat besar kepadanya. "Tiara kamu sudah mengalami banyak kejadian yang seperti itu, kamu berhenti saja cari pekerjaan yang lain," ucap Frida menasehatinya. "Gak apa-apa Ra, aku akan coba mencari pekerjaan untukmu," Sambung Frida lagi. "Sepertinya kamu butuh hiburan Tiara, gimana kalau Minggu depan kita ke puncak bareng anak-anak gimana?" "Maaf ya Frida, Melisa dan Jenny, aku sudah banyak merepotkan kalian semua." "Tiara, jangan berkata seperti itu kita sahabat kamu dan akan selalu begitu, selalu ada dan mendukungmu." Aku ada rencana akhir pekan ini, b
Awan mendung bergelayut menyelimuti kota Lubrica, pertanda sebentar lagi akan turun hujan, pantas saja udara malam tadi begitu panas. Tiara bergegas mengambil beberapa potong pakaian yang sudah dijemurnya tapi hanya separuh kering saja, semua pakaian sudah dirapikan, saatnya Tiara untuk mengerjakan sebagian pekerjaan ibunya, berbelanja bahan kue. Sebelum hujan turun ia pun bergegas ke warung Bukde Mayang, hanya warung itu saja yang terdekat yang menjual bahan kue lebih lengkap dibandingkan warung lain, karna jika harus membeli ke supermarket jaraknya lumayan jauh dan itu mengeluarkan ongkos yang lebih banyak. "Bukde, ini bahan pesanan ibu," ucap Tiara sambil memberikan secarik kertas berisi daftar belanjaan bahan kue. "Tiara kamu dari mana saja kok Bukde baru liat kamu?" "Saya baru dari puncak liburan sama teman-temanku." "Bukan itu maksud Bukde, kamu berhenti nyanyi sudah lama?" tanya bukde Mayang penasaran. "Oh ... Itu Bukde, 'gak juga sih baru aja," jawab Tiara datar, tidak
Tiara resah dengan sisa utang yang harus mereka bayarkan, "Ibu, dari mana ibu mendapatkan uang untuk membayar utang itu?""Sabar nak, ibu akan berusaha mencari pinjaman dulu.""Apa!, ... ibu mau mencari pinjaman lagi untuk membayar utang itu?, bagaimana kita bisa terbebas dari utang bu kalau seperti itu terus.""Jadi, Ibu harus bagaimana Tiara?, sedangkan kamu belum bekerja."Tiara hanya terdiam, hari perjanjian pembayarannya dengan Rustam tersisa tiga hari lagi sedangkan mereka belum mendapatkan uang sedikitpun."Ya tuhan, aku memang tidak berguna, hal seperti ini saja aku tidak bisa membantu ibu," gumam Tiara dalam hati.Ditengah kegalauannya Tiara berniat untuk meminjam uang kepada Erwin mantan bosnya, tapi sebelum ia melaksanakan niatnya Tiara ingin meminta pendapat ibunya terlebih dulu. "Bu, bagaiamana kalau aku minta pinjaman ke Bang Erwin saja?""Jangan Tiara, kamu gak usah berhubungan dengan dia lagi, Ibu tidak mau terjadi hal-hal yang seperti kemarin.""Sudahlah, Ibu yang aka
Malam itu Tiara menyampaikan kepada ibunya bahwa pertemuan tadi sore di cafe adalah pertemuannya dengan pemilik cafe dan mulai besok ia sudah bisa bekerja.Yang membuatnya dirinya sekarang risau adalah bagaimana dengan pinjaman yang harus dibayarkan besok, "Bu bagaimana dengan pinjaman kita sama si Rustam yang harus dibayar besok?""Sudah, kamu tidak perlu risau masalah itu, ibu sudah siapkan uangnya.""Ibu sudah siapkan?, Ibu dapat pinjaman dari mana?" tanya Tiara."Ibu dapat pinjaman dari Bos Ibu di tempat Laundry.""Syukurlah kalau begitu, nanti kalau aku udah gajian, biar aku yang bayar.""Ya sudah kamu kerja aja yang baik, tabung uangmu Ibu masih bisa membayarnya sedikit-sedikit hasil dari ibu jualan kue."Seorang Ibu walaupun itu berat baginya, ia akan selalu berusaha kuat di depan anaknya seakan semua bisa diatasinya dan semua baik-baik saja.Masih pagi buta, Tiara terlihat sudah beres-beres rumah setelah itu membantu membuat adonan kue untuk ibunya. "Tiara sudah, biar ibu yan
Dengan wajah yang tampak tidak bersemangat Tiara duduk di teras rumahnya, ia sedang menunggu ibunya pulang dari pekerjaannya seperti biasa menjajakan kuenya. Tiara kesal dihari pertama bekerja yang ia seharusnya bersemangat namun malah harus mengalami situasi yang kurang mengenakkan. Lagi-lagi semua tidak berjalan mulus seperti apa yang ia harapkan, dalam keadaan hatinya yang berbalut jengkel, di tengah perasaan dongkolnya ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Frida sahabatnya,."Halo cantik kamu lagi dimana sekarang?" "Aku di rumah aja nih, kenapa Frid?" jawab Tiara. "Loh kok di rumah? Kamu sudah mulai kerja di cafe kan hari ini?" ujar Frida merasa heran dengan keberadaan Tiara. "Iya seharusnya begitu tapi aku kesal sama bos pemilik cafe itu aku disuruh pulang katanya, nanti jam tujuh malam baru job aku mulai." Tiara mendengus. "Oh hampir lupa. Iya, Tiara kamu disana 'kan nyanyi mana ada live musik di cafe siang-siang begini."
Di cafe, Tiara tampil dan bernyanyi layaknya sang primadona yang telah ditunggu-tunggu penggemar beratnya. Raut berseri-seri tampak puas terlihat di wajah para tamu cafe yang datang Bukan hanya karna kepiawaiannya dalam bernyanyi, tapi wajah cantik, bentuk tubuh yang indah, serta balutan gaun ketat yang dipakai membuatnya lebih memikat di mata pemandangnya, termasuk Erick si pemilik cafe. Namun, ketertarikannya sepertinya masih disembunyikan. Dia berusaha mengalihkan rasa tertariknya pada gadis itu dan berpura-pura tidak peduli ketika Tiara diberikan pujian oleh beberapa tamu cafe. "Keren 'deh pokoknya kamu malam ini tampil luar biasa sayang," ucap Frida begitu mereka bersiap-siap untuk pulang bersama setelah selesai bernyanyi. "Terima kasih, ya. Kalian semua sudah datang. Semuanya, terima kasih! Sahabat-sahabatku, kalau bukan karena kalian, aku tidak akan tampil dengan baik dan sesemangat ini." Mereka berjalan menuju parkiran cafe tempat mobil Frida berada. "Hebat ... hebat! K
Perlahan, Bu Ratri berjalan menuju kamar Tiara dan membuka pintu kamar anaknya itu. Dia tau kalau Tiara sangat lelah, namun ia harus membangunkannya agar ia bisa menjajakan kuenya. Meskipun hanya berjualan kue, namun itulah pekerjaan yang ia lakukan beberapa tahun terakhir untuk bisa bertahan hidup bersama Tiara. "Tiara bangun, Nak. Ibu mau berangkat. Hei ... ayo bangun," bisik bu Ratri membangunkan Tiara yang masih tengah tertidur pulas. "Hmmm ... Ibu. Aku masih ngantuk karena semalam pulang larut." "Iya. Ibu tau, tapi kamu harus bangun dulu. Ibu mau berjualan." "Sekarang jam berapa Bu?" tanya Tiara sambil mengusap matanya yang sulit untuk terbuka. "Jam delapan. Ayo bangun dan cuci muka kamu dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kamu di atas meja." "Hahh ... Oh, Tuhan! Tiara liat muka kamu ... kamu belum membersihkan wajahmu dari semalam. Lihat sisa dandananmu sudah menor seperti itu!" seru Bu Ratri sambil mengusap wajah Tiara