Sudah beberapa hari Tiara hanya mengurung diri di rumah, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya bernyanyi.
Dikepalanya terus terngiang ucapan bukde Mayang, "kalau menjadi biduan itu repot, apalagi omongan-omongan orang terhadapnya."
Dewi entah sudah beberapa hari ini datang berkunjung, sekedar ngobrol bersama dan menghiburnya, Dewi dan Tiara sudah merasa semakin akrab sejak kejadian malam itu, Dewi sangat tahu bagaimana yang dirasakan Tiara sekarang.
"Tiara kamu yang sabar ya sayang, mereka itu hanya merasa iri sama kamu, apa kamu 'gak pernah kepikiran untuk kembali bernyanyi?"
"Saya masih mau bernyanyi sih, tapi bagaimana saya harus kembali ketempat yang seperti itu mba?, aku merasa tidak cocok di sana, dengan suasana yang seperti itu," ungkap Tiara.
"Iya sih, kamu masih muda Tiara perjalanan kamu masih panjang kalau aku sih bisanya hanya bernyanyi saja."
"Iya mba, terima kasih sudah begitu perhatian dengan saya."
Tiara senang dengan pekerjaannya sebagai biduan tapi ia tidak menyukai tempatnya yang sekarang dengan beberapa biduan yang menyimpan sifat iri kepadanya, belum lagi dengan bosnya yang genitnya minta ampun.
Beberapa hari Tiara hanya di rumahnya sejak kejadian itu, Dewi menelpon Tiara dan memanggilnya untuk ikut ke sebuah job manggung, "Halo Tiara!, aku ada panggilan nyanyi besok, kamu mau ikut 'gak?, kita berdua aja."
"Itu job dari mas Erwin ya Mba?" Tiara mencari tahu.
"Bukan kok, aku mendapat job pribadi sendiri bukan dari Erwin, gimana?, kamu mau gak?"
"Oh kalau gitu aku mau kalau yang ajak mba."
"Nanti sore aku jemput kamu ya," ucap Dewi kemudian menutup percakapannya dengan Tiara.
Malam itu Dewi menjemput Tiara, mereka bersama ke lokasi job pribadi Dewi itu, acaranya diadakan di dalam sebuah gedung.
Tiara tampil dengan cantik sekali malam itu, dengan balutan lipstik minimalis di bibir tipisnya memberikan kesan yang semakin anggun.
Alangkah bahagianya kelak pria yang bisa mendapatkan hati seorang Tiara kecantikan dan pesonanya sungguh sangat memikat hati, tubuhnya yang molek ditambah kulitnya yang begitu mulus membuat siapapun pria yang melihatnya meleleh dibuatnya.
Sudah hampir tiga puluh menit mereka menghibur para tamu undangan, di tengah asyiknya Tiara dan Dewi silih berganti memberi penampilan terbaiknya, namun sepasang mata begitu tajam, serius memperhatikan mereka.
Pemilik sepasang mata itu, sesekali menelan liurnya melihat penampilan dua biduan yang seksi itu.
"Mba, tolong antarkan minuman ini, berikan kepada kedua biduan disana," ucap pria itu kepada pelayan yang tengah sibuk menjamu para tamu undangan.
Tak lama pelayan itu kemudian membawa nampan yang berisi minuman, ia berjalan ke arah Dewi dan Tiara.
"Maaf mba, ini minuman untuk mba," Kata pelayan itu menyerahkan nampan berisi minuman warna seperti sirup.
"Iya mas terima kasih ya."
Tiara dan Dewi menenggak sedikit demi sedikit minuman itu sampai akhirnya habis, mereka sama sekali tidak menyangka kalau minuman itu adalah pemberian seorang pria yang tidak mereka kenal, Tiara dan Dewi menyangka minuman itu dari tuan rumah yang memang disediakan untuk mereka.
"Mba perasaanku kok 'gak enak ya, agak pusing," kata Tiara tak lama setelah menenggak habis minumannya.
"Iya Ra, sama mbak juga seperti itu, abis minum tadi."
"Kita di sini sampai jam berapa mba?"
"Sebentar lagi kok, sekitar lima belas menit lagi," Tiara sepertinya sudah sedikit mulai merasakan pengaruh minuman itu, minuman dari seorang pria yang sudah di campur sesuatu.
Lima belas menit itu pun tiba, dan akhirnya mereka sudah selesai dengan penampilan mereka, Tiara dan Dewi sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Mba saya ke toilet ya sebentar," ucap Tiara yang sudah merasa mual dan ingin segera ke toilet.
"Iya jangan lama-lama, mba tunggu di sini saja, kamu sendiri gak apa-apa 'kan?"
Tiara mengiyakan dan segera berjalan ke arah belakang gedung.
Di dalam gedung, letak toilet berada jauh ke belakang, sambil berjalan sempoyongan Tiara merapatkan sedikit tubuhnya ke sisi tembok, perasaan pusing di kepalanya semakin tak bisa lagi ditahannya.
Langkahnya sudah terasa berat, sementara toilet masih beberapa meter lagi ke depan.
Pandangannya tidak jelas lagi, samar-samar terlihat olehnya seorang pria yang berjalan searah dengannya, "mungkin ia juga ingin ke toilet," Pikir Tiara dalam hati.
Semakin lama pria itu semakin dekat dengannya bahkan mendahului Tiara yang berjalan lambat, tak nampak jelas olehnya wajah pria itu.
Tiara kini sudah berada di depan toilet, ia melihat-lihat di mana letak toilet wanita, tapi sepertinya toilet itu umum digunakan, untuk pria dan wanita sama saja, ia melangkah masuk.
Tiba-tiba pria itu muncul dari sisi kamar yang lain dan menarik lengan Tiara dalam keadaannya yang sempoyongan dan penat di kepalanya.
"Hei brengsek mau apa kamu!?, jangan macam-macam atau saya akan teriak?" ucap Tiara ketakutan dan mengancam.
"Teriak saja, siapa yang akan mendengarmu di sini, sekarang ikut saja denganku, " kata pria balik mengancam sambil menariknya dengan paksa.
Pria itu hendak memperkosanya, Tiara berontak, ia meronta-ronta dan mencoba melawan namun pria itu lebih sigap dan membungkam mulutnya, terus menarik paksa Tiara ke dalam kamar toilet.
Di dalam toilet pria itu mulai melancarkan aksi bejatnya, birahinya semakin tak terkendali ia mendorong tubuh Tiara dan merapatkannya ke dinding toilet sambil memegangi kedua tangannya.
Lalu mendekatkan wajahnya hendak mengecup bibir tipis itu, dengan sisa-sisa tenaga Tiara masih menghindarinya, tidak habis akal pria itu semakin bernafsu kali ini berpindah ingin mencumbu bagian tubuh Tiara yang lain.
Berpindah ke bagian pahanya, pria itu mulai membuka ikat pinggang yang melingkar pada rok yang dikenakan Tiara dan mengelusnya perlahan, pria itu membabi-buta dengan birahi yang semakin memuncak.
Tiara terus berteriak histeris berupaya melepaskan diri namun toilet itu terlalu jauh dari orang-orang untuk mereka dengar termasuk Dewi, bahkan beberapakali ponselnya berdering, panggilan dari Dewi yang sejak tadi menunggunya di depan.
Masih dalam pergumulannya, pria itu terus mencoba membuka rok yang di kenakanTiara, dan tangannya yang lain mengangkat panggilan di poselnya, "Halo Tiara!, Kamu kok lama ... halo!" Suara Dewi di balik telpon.
"Heehh, ... lebih baik kamu pulang saja jangan mengganggu, saya akan bersenang-senang dulu dengannya," Jawab pria itu.
"Halo siapa kamu!?, Tiara dimana!? halo ... siapa ini!?, brengsek!" Dewi sadar bahwa Tiara sepertinya sedang dalam masalah ia butuh bantuannya, cepat-cepat ia memanggil beberapa orang untuk menemaninya segera ke toilet, menyusul Tiara.
sampai ke toilet, mereka langsung melabrak masuk ke dalam kamar toilet yang digunakan pria itu untuk menyekap Tiara.
Masih terisak Tiara memperbaiki pakaiannya di bantu Dewi, bawahannya yang sudah acak-acakan dan sobek di bagian pahanya karna ulah pria itu, Dewi berusaha membuatnya tenang di pelukannya.
"Kita harus ke kantor polisi sekarang, kita harus laporkan masalah ini pria itu mencoba memperkosa kamu," ucap Dewi merasa sangat khawatir dan bersalah dengan apa yang di alami Tiara.
Mereka pun segera melaporkan kejadian itu ke kantor polisi.
Begitu banyak cobaan hidup untuk Tiara, belum hilang dari ingatannya bagaimana Erwin memperlakukannya, kini muncul lagi perlakuan yang tidak senonoh pada dirinya. Percobaan pemerkosaan yang masih menyisakan trauma besar dalam dirinya. Dewi yang bersamanya saat itu merasa sangat bersalah atas kejadian yang terjadi pada tiara, bagaimanapun ia yang mengajak Tiara ketempat itu, sahabat-sahabatnya pun demikian, menaruh prihatin yang sangat besar kepadanya. "Tiara kamu sudah mengalami banyak kejadian yang seperti itu, kamu berhenti saja cari pekerjaan yang lain," ucap Frida menasehatinya. "Gak apa-apa Ra, aku akan coba mencari pekerjaan untukmu," Sambung Frida lagi. "Sepertinya kamu butuh hiburan Tiara, gimana kalau Minggu depan kita ke puncak bareng anak-anak gimana?" "Maaf ya Frida, Melisa dan Jenny, aku sudah banyak merepotkan kalian semua." "Tiara, jangan berkata seperti itu kita sahabat kamu dan akan selalu begitu, selalu ada dan mendukungmu." Aku ada rencana akhir pekan ini, b
Awan mendung bergelayut menyelimuti kota Lubrica, pertanda sebentar lagi akan turun hujan, pantas saja udara malam tadi begitu panas. Tiara bergegas mengambil beberapa potong pakaian yang sudah dijemurnya tapi hanya separuh kering saja, semua pakaian sudah dirapikan, saatnya Tiara untuk mengerjakan sebagian pekerjaan ibunya, berbelanja bahan kue. Sebelum hujan turun ia pun bergegas ke warung Bukde Mayang, hanya warung itu saja yang terdekat yang menjual bahan kue lebih lengkap dibandingkan warung lain, karna jika harus membeli ke supermarket jaraknya lumayan jauh dan itu mengeluarkan ongkos yang lebih banyak. "Bukde, ini bahan pesanan ibu," ucap Tiara sambil memberikan secarik kertas berisi daftar belanjaan bahan kue. "Tiara kamu dari mana saja kok Bukde baru liat kamu?" "Saya baru dari puncak liburan sama teman-temanku." "Bukan itu maksud Bukde, kamu berhenti nyanyi sudah lama?" tanya bukde Mayang penasaran. "Oh ... Itu Bukde, 'gak juga sih baru aja," jawab Tiara datar, tidak
Tiara resah dengan sisa utang yang harus mereka bayarkan, "Ibu, dari mana ibu mendapatkan uang untuk membayar utang itu?""Sabar nak, ibu akan berusaha mencari pinjaman dulu.""Apa!, ... ibu mau mencari pinjaman lagi untuk membayar utang itu?, bagaimana kita bisa terbebas dari utang bu kalau seperti itu terus.""Jadi, Ibu harus bagaimana Tiara?, sedangkan kamu belum bekerja."Tiara hanya terdiam, hari perjanjian pembayarannya dengan Rustam tersisa tiga hari lagi sedangkan mereka belum mendapatkan uang sedikitpun."Ya tuhan, aku memang tidak berguna, hal seperti ini saja aku tidak bisa membantu ibu," gumam Tiara dalam hati.Ditengah kegalauannya Tiara berniat untuk meminjam uang kepada Erwin mantan bosnya, tapi sebelum ia melaksanakan niatnya Tiara ingin meminta pendapat ibunya terlebih dulu. "Bu, bagaiamana kalau aku minta pinjaman ke Bang Erwin saja?""Jangan Tiara, kamu gak usah berhubungan dengan dia lagi, Ibu tidak mau terjadi hal-hal yang seperti kemarin.""Sudahlah, Ibu yang aka
Malam itu Tiara menyampaikan kepada ibunya bahwa pertemuan tadi sore di cafe adalah pertemuannya dengan pemilik cafe dan mulai besok ia sudah bisa bekerja.Yang membuatnya dirinya sekarang risau adalah bagaimana dengan pinjaman yang harus dibayarkan besok, "Bu bagaimana dengan pinjaman kita sama si Rustam yang harus dibayar besok?""Sudah, kamu tidak perlu risau masalah itu, ibu sudah siapkan uangnya.""Ibu sudah siapkan?, Ibu dapat pinjaman dari mana?" tanya Tiara."Ibu dapat pinjaman dari Bos Ibu di tempat Laundry.""Syukurlah kalau begitu, nanti kalau aku udah gajian, biar aku yang bayar.""Ya sudah kamu kerja aja yang baik, tabung uangmu Ibu masih bisa membayarnya sedikit-sedikit hasil dari ibu jualan kue."Seorang Ibu walaupun itu berat baginya, ia akan selalu berusaha kuat di depan anaknya seakan semua bisa diatasinya dan semua baik-baik saja.Masih pagi buta, Tiara terlihat sudah beres-beres rumah setelah itu membantu membuat adonan kue untuk ibunya. "Tiara sudah, biar ibu yan
Dengan wajah yang tampak tidak bersemangat Tiara duduk di teras rumahnya, ia sedang menunggu ibunya pulang dari pekerjaannya seperti biasa menjajakan kuenya. Tiara kesal dihari pertama bekerja yang ia seharusnya bersemangat namun malah harus mengalami situasi yang kurang mengenakkan. Lagi-lagi semua tidak berjalan mulus seperti apa yang ia harapkan, dalam keadaan hatinya yang berbalut jengkel, di tengah perasaan dongkolnya ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Frida sahabatnya,."Halo cantik kamu lagi dimana sekarang?" "Aku di rumah aja nih, kenapa Frid?" jawab Tiara. "Loh kok di rumah? Kamu sudah mulai kerja di cafe kan hari ini?" ujar Frida merasa heran dengan keberadaan Tiara. "Iya seharusnya begitu tapi aku kesal sama bos pemilik cafe itu aku disuruh pulang katanya, nanti jam tujuh malam baru job aku mulai." Tiara mendengus. "Oh hampir lupa. Iya, Tiara kamu disana 'kan nyanyi mana ada live musik di cafe siang-siang begini."
Di cafe, Tiara tampil dan bernyanyi layaknya sang primadona yang telah ditunggu-tunggu penggemar beratnya. Raut berseri-seri tampak puas terlihat di wajah para tamu cafe yang datang Bukan hanya karna kepiawaiannya dalam bernyanyi, tapi wajah cantik, bentuk tubuh yang indah, serta balutan gaun ketat yang dipakai membuatnya lebih memikat di mata pemandangnya, termasuk Erick si pemilik cafe. Namun, ketertarikannya sepertinya masih disembunyikan. Dia berusaha mengalihkan rasa tertariknya pada gadis itu dan berpura-pura tidak peduli ketika Tiara diberikan pujian oleh beberapa tamu cafe. "Keren 'deh pokoknya kamu malam ini tampil luar biasa sayang," ucap Frida begitu mereka bersiap-siap untuk pulang bersama setelah selesai bernyanyi. "Terima kasih, ya. Kalian semua sudah datang. Semuanya, terima kasih! Sahabat-sahabatku, kalau bukan karena kalian, aku tidak akan tampil dengan baik dan sesemangat ini." Mereka berjalan menuju parkiran cafe tempat mobil Frida berada. "Hebat ... hebat! K
Perlahan, Bu Ratri berjalan menuju kamar Tiara dan membuka pintu kamar anaknya itu. Dia tau kalau Tiara sangat lelah, namun ia harus membangunkannya agar ia bisa menjajakan kuenya. Meskipun hanya berjualan kue, namun itulah pekerjaan yang ia lakukan beberapa tahun terakhir untuk bisa bertahan hidup bersama Tiara. "Tiara bangun, Nak. Ibu mau berangkat. Hei ... ayo bangun," bisik bu Ratri membangunkan Tiara yang masih tengah tertidur pulas. "Hmmm ... Ibu. Aku masih ngantuk karena semalam pulang larut." "Iya. Ibu tau, tapi kamu harus bangun dulu. Ibu mau berjualan." "Sekarang jam berapa Bu?" tanya Tiara sambil mengusap matanya yang sulit untuk terbuka. "Jam delapan. Ayo bangun dan cuci muka kamu dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kamu di atas meja." "Hahh ... Oh, Tuhan! Tiara liat muka kamu ... kamu belum membersihkan wajahmu dari semalam. Lihat sisa dandananmu sudah menor seperti itu!" seru Bu Ratri sambil mengusap wajah Tiara
Tiara baru saja menanggalkan baju saat ponselnyatiba-tibaberdering. "Halo, Tiara!" sapa Pak Erick, bosnya segera setelah perempuan itu mengangkat teleponnya. "Iya Pak! Maaf, Pak soal kemarin saya ... " Belum selesai Tiara bicara, Erik menyela, "Besok sore, saya tunggu kamu di lobi hotel merkuri. Kemarin, saya ada urusan yang lain. Jangan lupa dan jangan sampai telat lagi!" imbuhnya singkat lalu menutup panggilan. "Tidak sopan! Haruskah seperti itu jika menjadi orang kaya? Hanya ia yang ingin didengarkan!" Tiara mendengus karena kesal. "Bang, cepat sedikit, dong! Saya buru-buru, 'nih! Abang sekarang kok lelet banget? Biasanya cepat." Tiara terus menyerocos. "Ke hotel Merkuri 'kan mba Tiara?" tanya abang ojek tersebut."Iya, ba