Bab Bonus Gems pertama yang sangat panjang sebagai bonus buat sobat readers ... Bab Bonus Gems : 1/3.
Langit di atas Paviliun Drakenis memerah, bergetar oleh benturan energi dua wanita yang berdiri berhadapan di tengah halaman utama. Semua pasukan berhenti sejenak, menyadari bahwa apa yang akan terjadi bukan sekadar duel—tetapi tabrakan dua kekuatan yang bisa mengubah jalannya pertempuran.Cindy Aleta berdiri tegak, cambuk apinya berputar cepat, meninggalkan lingkaran bara yang menjalar ke tanah. Pistol spiritual hitamnya berkilat, siap menembakkan peluru racun yang bisa menghancurkan jiwa dalam sekali tembus. Senyumnya dingin, penuh keyakinan.“Valkyrie, kau hanya bayangan dari kejayaan Celestial Myrad. Hari ini, aku akan membuktikan bahwa darah rendah tidak pantas melawan darah pilihan.”Valkyrie menunduk sejenak, tangannya meraih pedang panjang dengan bilah merah-biru yang bergetar seperti api dan petir yang bersatu. Pedang itu berdesis, seperti naga yang lapar, haus darah, seolah menginginkan mangsa baru.Arashi-no-Hime.Begitu pedang itu dihunus, hawa panas dan kilat menyambar, m
~ Claudia vs Vesta ~Langit bergemuruh, awan hitam terbelah oleh cahaya menyilaukan yang memancar dari tubuh Claudia. Api putih keemasan yang menyelimutinya menjulang, berputar bagai pusaran matahari kedua yang turun ke bumi. Suhu melonjak, setiap tetes racun yang masih melayang di udara mendesis, menguap, lalu musnah dilahap bara abadi itu. Tanah retak, udara bergetar, dan bahkan sorak-sorai pasukan Paviliun Drakenis dan Dracarys sempat tenggelam oleh raungan api yang mendominasi segalanya.“Nona Claudia! Hidupkan apimu! Paviliun bersamamu!”Pekik para prajurit menggema, mengalirkan semangat, meski sebagian dari mereka masih terhuyung menahan racun yang sempat menyerang paru-paru.Namun kegembiraan itu sekejap buyar. Dari kabut yang tersisa, sosok Vesta melangkah keluar. Tidak terbakar, tidak roboh—justru berdiri tegak dengan senyum getir menghiasi wajah pucatnya. Urat-urat hitam menjalar di lehernya, tapi matanya berkilat tajam, menatap Claudia dengan sorot seorang pemangsa yang bel
~ Kevin vs Venus ~Medan perang mendadak tenggelam dalam keheningan. Suara dentuman, teriakan prajurit, bahkan desir angin seolah tercekik, lenyap ditelan ketegangan yang menggantung di udara.Jeritan Venus masih bergema, meluncur bersama kobaran apinya yang menggila. Tubuhnya mulai tercabik, bukan oleh pedang biasa, melainkan cahaya petir yang merobek daging sekaligus jiwa. Api yang menyelimuti dirinya berusaha menutup retakan luka, menyatu lagi—namun setiap usaha hanya berakhir dengan letupan energi yang meledak dari dalam tubuhnya sendiri.“GHHHRAAAHHH—!” Venus meraung, matanya merah menyala menembus kobaran api, penuh kebencian yang membakar hingga ke sumsum tulang. Nafasnya terengah, tetapi auranya masih mengancam, bagai gunung berapi yang enggan mati.Sorot itu tertuju hanya pada satu orang. “KEVIN…!” suaranya mengguncang langit, menebar gelombang api ke segala arah. “Aku adalah abadi! Kau tidak bisa… membunuhku!”Kevin berdiri di hadapannya, tubuhnya berlumur debu, peluh, dan n
~ Ezio dan Aurora vs Vega ~Langit menderu kencang. Awan hitam berputar, pecah oleh kilatan petir yang seolah lahir dari neraka. Udara tersedot kuat, seakan paru-paru dunia dicekik. Dari pusat pusaran itu, Vega berdiri tegak, tubuh tingginya diselubungi aura lima elemen—api membakar liar, racun hijau menyebar dalam kabut mencekik, es runcing berjatuhan dari udara, angin berputar tajam bagai ribuan bilah pisau, dan petir menggelegar memekakkan telinga.Aurora berlutut, tubuhnya gemetar. Darah menetes dari pelipis, menodai pipinya yang pucat. Nafasnya terputus-putus, setiap tarikan terasa bagai bara menyalakan paru-parunya. Namun sorot matanya tetap menantang, tak goyah meski tubuhnya nyaris roboh. “Ezio…” suaranya serak, hampir tak terdengar di tengah deru badai. “Kalau pusaran itu meledak keluar… semua orang di sini akan mati.”Ezio berdiri beberapa langkah di depannya. Pedang di tangannya bergetar, bukan hanya karena luka di tubuh, tapi juga karena beban keputusan yang baru saja dipa
~ Ravena vs Vania ~Suara gemuruh ledakan masih bergema, namun Ravena tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Ia berdiri di atas pilar es hitam yang terus bertumbuh, menembus tanah yang retak-retak. Sayap gelapnya membentang lebar, memantulkan cahaya redup dari api neraka Vania. Matanya dingin, namun menyala dengan aura hitam kebiruan, penuh ancaman.Vania menggeram, wajahnya terdistorsi oleh panas amarah. Api di pedang kembarnya makin liar, menyulut udara hingga berdesis seperti besi dipanaskan. “Kau akan hancur, Ravena! Dunia ini tidak menyisakan tempat untuk monster sepertimu!” teriaknya, lalu ia menebas liar, memekikkan bara merah yang membentuk naga api raksasa.Ravena hanya mengangkat tangannya perlahan. Ujung jarinya bergetar, dan dari tanah yang retak, menjulang pilar-pilar es hitam yang tajam bagai tombak. Pilar itu menghantam naga api, suara letusan terdengar, KRAAAAK! — es hitam dan api neraka saling menghancurkan, menghasilkan gumpalan kabut yang menutup pandangan pasuka
~ Celestine vs Vera ~Petir biru mengelagar di langit Nagapolis, menari liar di antara menara batu seperti ular kawat. Api oranye dari cambuk Vera mengelilingi dirinya, melingkar dan menyambar, memecah udara dengan suara mendesis yang tajam—seperti ribuan rantai terbakar. Di bawahnya, tanah ikut berdenyut setiap kali cambuk itu menghantam; debu dan batu beterbangan, bau logam hangus menggantung pekat.Celestine Aschene berdiri tegap di tengah lingkaran chaos itu, pedang Petir Langit di tangan kanan menyala seperti tongkat badai. Kilatan kecil memercik dari bilahnya setiap kali ia menggerakkan pergelangan tangannya. Mata Celestine tenang — bukan ketenangan takut, tapi konsentrasi yang sudah diasah bertahun-tahun.TRAAANG!Benturan pertama mengguncang medan. Ujung cambuk Vera melesat seperti komet, meninggalkan jejak api yang melengkung, tapi celah sekecil rambut untuk menebas—celah yang Celestine buru-buru cari. Mereka bertukar serangan dengan tempo kencang: cambuk berputar, pedang memo