Bab Utama : 2/3. Pemburu pertama yang menginginkan nyawa Kevin Drakenis.
Langit Nagapolis mulai merekah dengan cahaya mentari, namun di dalam ruang penyembuhan Paviliun Drakenis, suasana justru semakin berat. Udara dipenuhi aroma obat-obatan herbal, bercampur bau besi dari darah kering. Tirai tipis bergoyang pelan, seolah ikut menanggung duka yang menggantung di ruangan itu.Clara baru saja membuka mata, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Ia sempat terseret jauh dalam mimpi buruk yang nyaris merenggut nyawanya. Saat kesadarannya pulih, ia langsung merasakan kekosongan yang menusuk. Tangannya menggenggam selimut erat, suara parau keluar dengan gemetar. “...Ayah… Ibu…”Ravena yang duduk di kursi samping hanya menunduk. Bahunya tegang, seolah kata-kata itu lebih berat daripada beban dunia.Kevin melangkah mendekat. Sorot matanya dingin, tapi di baliknya ada beban yang sama. Clara menggigil, air matanya menetes ke bantal. Claudia, yang sejak tadi mengawasi dengan wajah serius, mencoba memberi kekuatan. “Mereka… tidak ada. Aku sudah kerahkan orang untuk menca
Langit Nagapolis baru saja merekah dengan sinar keemasan, tetapi Paviliun Drakenis masih diliputi hawa mencekam. Setelah pertempuran brutal di Paviliun Vasper, Kevin memutuskan membawa Clara pulang ke markasnya sendiri. Burung hitam raksasa, Kurozan, melayang di atas langit sebagai penjaga, sementara mobil Maybach hitam yang dikendarai Lyron membawa Kevin, Ravena, Valkyrie, dan Clara kembali dengan kecepatan penuh.Kevin tidak menemukan Baron Vasper dan Amanda Vasper di reruntuhan Paviliun Vasper. Claudia juga sudah mengirimkan anak buahnya mencari korban di paviliun yang sudah hampir hancur ini setelah ditelepon oleh Kevin.Clara terbaring di pangkuan Ravena. Wajahnya pucat pasi, bibirnya nyaris tak berdarah, seakan semua energi hidupnya tersedot oleh rantai hitam Morvas. Setiap tarikan napasnya terdengar berat, seolah tubuhnya menolak untuk bertahan.“Clara, bertahanlah… tolong jangan pergi,” bisik Ravena dengan mata berkaca-kaca, menggenggam erat tangan sahabatnya.Kevin duduk diam
Suasana di dalam koridor utama Paviliun Vasper sangat mencekam. Asap hitam tipis merayap dari dinding yang hancur, seakan ada sesuatu yang bersembunyi di baliknya. Kevin berjalan paling depan, setiap langkahnya menimbulkan getaran kecil. Ravena dan Valkyrie menyusul di belakang, waspada penuh.Lalu, mereka mendengar suara—serak, dingin, penuh ejekan.“Jadi ini… pewaris Paviliun Drakenis yang katanya bangkit dari kematian. Aku sudah lama menunggu kesempatan melihatmu, bocah.”Dari balik bayangan, muncul sosok tinggi berjubah hitam, wajahnya tertutup topeng dengan ukiran menyerupai tengkorak naga. Aura kegelapan yang ia pancarkan jauh lebih pekat daripada sisa-sisa prajurit tadi—berat, menyesakkan dada, bahkan membuat api spiritual di lorong meredup.Ravena langsung bergumam, wajahnya pucat. “Tidak mungkin… salah satu dari Lima Iblis Jubah Hitam…”Valkyrie meremas gagang pedangnya. “Jadi mereka benar-benar bangkit kembali.”Kevin menatap tajam, matanya menyipit. “Siapa kau?”Sosok itu t
Langkah Kevin bergema berat di atas lantai marmer yang retak. Setiap jejak kakinya disertai letupan aura hitam keemasan yang memecah udara, membuat debu dan pecahan batu bergetar di sekitarnya. Ravena berjalan di sisi kiri, wajah dingin dengan dua bilah pisau spiritual di tangan. Valkyrie di sisi kanan, pedang panjangnya memantulkan cahaya dari api yang masih menyala di sudut-sudut ruangan yang terbakar.Jeritan perempuan tadi—Clara—membimbing mereka semakin jauh ke dalam aula besar Paviliun Vasper yang porak-poranda. Bau darah, daging terbakar, dan debu bercampur menjadi atmosfer neraka yang menyesakkan dada.Tiba-tiba, dari balik bayangan pilar yang masih berdiri, delapan sosok berjubah hitam muncul serentak. Mata mereka memancarkan cahaya merah redup, wajah tersembunyi di balik topeng dengan ukiran simbol ular berbelit. Aura mereka menusuk, ganas, haus darah.Pemimpin mereka melangkah maju, suaranya serak penuh ejekan. “Pewaris Drakenis akhirnya datang… tepat waktu untuk menyaksika
Deru mesin Maybach hitam menggema di antara bukit-bukit sunyi, membelah udara dingin di dini hari. Setiap kali ban melindas retakan aspal, getarannya merambat halus, seolah-olah bumi sendiri ikut menahan napas.Di atas langit, Kurozan melayang rendah. Sayap raksasanya yang hitam kelam mengepak sekali, menimbulkan pusaran angin dingin yang membuat dedaunan berdesir tak wajar. Burung itu tak hanya sekadar penjaga—ia adalah bayangan kematian yang mengikuti Kevin ke mana pun ia melangkah.Di kursi belakang, Kevin duduk tegak, bahunya kaku bagai pilar besi. Aura spiritualnya masih bergolak. Asap rokok tipis mengepul dari jemarinya, melayang samar di udara mobil. Di sampingnya, Ravena menyelipkan jaket kulit ke tubuhnya yang mungil, matanya tak bisa diam—gelisah, penuh tanya yang tak berani ia ucapkan.Sementara itu, Valkyrie mencondongkan tubuh ke depan, jarinya berulang kali mengetuk gagang pedang yang terletak di pangkuannya. Tatapannya tajam, menyapu ke luar jendela seperti binatang buas
Langit pagi di Nagapolis masih kelabu. Kabut tipis menggantung di atas jalan raya yang sepi, namun suara mesin Maybach hitam meraung halus menembus kesunyian itu. Mobil berkilau bagai raja jalanan, meluncur mulus dengan aura mencekam, seolah siapa pun yang melihat akan tahu kendaraan itu bukan milik orang biasa.Di balik kemudi, Lyron menatap lurus ke depan dengan ekspresi dingin. Setiap detail jalan dipantau tanpa lengah, tangan kirinya menggenggam kemudi, sementara tangan kanan selalu dekat dengan pistol yang tersembunyi di samping jok.Di kursi belakang, Kevin duduk tenang, sebatang rokok menyala di jarinya. Asap putih melingkar di udara, kontras dengan tatapannya yang dingin menusuk kaca jendela. Di sampingnya, Valkyrie bersandar dengan tubuh tegak, bersenjata lengkap meski wajahnya datar. Ravena, berbeda, terlihat gelisah...jemarinya terus bermain dengan liontin kecil yang tergantung di lehernya.Dari langit, bayangan besar menyelimuti mobil. KRAAAAK! KRAAAAK! Suara kepakan sayap