Share

Bab 28

Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya.

Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana.

Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian kalinya aku menonton para penari itu meliukkan badannya. Energi yang di keluarkan dari masing-masing penari membuat semangatku naik. Aku tak tahu, tapi itu yang kurasakan.

Semenjak tinggal di Bali, pakaianku mulai menyesuaikan dengan para turis yang berlalu lalang. Lagipula tak akan ada yang mengenaliku di sini, kecuali jika aku berpapasan dengan salah satu karyawanku, tapi hal itu belum pernah terjadi padaku.

Pertunjukan tari tradisional itu baru saja di mulai ketika aku memasuki Istana Ubud. Seperti biasa, aku sangat terpesona dengan tarian mereka, seperti mereka membagikan energinya pada setiap penonton yang datang.

Ponsel di genggaman tanganku bergetar ketika aku sedang fokus menyaksikan tarian di depanku.

Aku melihatmu.

Dari nomor tak di kenal, tapi ketika aku melihat riwayat pesan dari nomor itu, mataku membelalak. Aku memang belum menyimpannya, tapi aku yakin itu Erlangga. Dia menonton tarian ini juga?

Aku mengedarkan pandanganku, tapi terlalu ramai dan aku tak bisa menemukannya di antara keramaian ini.

Apa di rumahmu tak ada pakaian yang lebih pantas? Kenapa memakai pakaian seperti itu di keramaian?

Aku menaikkan alisku. Dia mengirimiku pesan seolah-olah kami mempunyai hubungan. Lucu sekali. Aku segera mengirim balasan atas pertanyaannya.

Bukan urusanmu. Berhenti mengintimidasiku!

Aku kembali menyaksikan tarian di hadapanku, tak mempedulikan getaran ponselku yang sudah pasti pesan dari pria itu. Satu jam kemudian, aku memutuskan untuk keluar meninggalkan tontonan epik di hadapanku. Perutku sudah berbunyi sejak tadi, aku akan mencari makanan di restoran terdekat. Ponselku kembali bergetar.

Berhenti di situ.

Aku memutar bola mataku. Apa dia pikir aku akan menurutinya? Aku melanjutkan langkahku seolah tak ada kejadian apapun. Sampai sebuah tangan mencekalku.

Sudah sangat di duga siapa pelakunya. “Kamu mengikutiku?” tanyaku tajam.

Pertanyaanku belum terjawab, sampai dua orang lelaki paruh baya dengan setelan jas lengkap menghampiri kami.

“Pak Erlangga, kami sangat merasa terhormat karena anda mau menghadiri undangan sederhana kami. Kami sangat menunggu telepon selanjutnya tentang proposal yang kami ajukan,” ucap salah satu dari mereka dengan tersenyum, lalu menjabat tangan Erlangga.

Erlangga hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum, lalu membalas jabatan itu dengan tangannya yang bebas, karena satu tangannya belum melepaskan genggaman tanganku.

“Ah, siapa gadis cantik ini?” tanya pria itu lagi.

Aku pasti sangat memalukan dengan tampilanku yang seperti ini, aku bahkan hanya mengenakan sandal jepit kesayanganku. Ikatan rambutku juga sudah mulai berantakan. Benar-benar bukan waktu yang tepat untuk menghadapi situasi ini.

Erlangga langsung memeluk pinggulku posesif. “Dia tunangan saya.”

Aku menatap Erlangga kaget. Apalagi ini? Kenapa ia selalu melibatkan aku dalam situasi seperti ini? Dan aku terpaksa menjabat tangan kedua pria di hadapanku dengan senyum yang terpaksa juga, sampai akhirnya kedua pria tersebut berlalu.

Aku langsung melepaskan lengannya yang melingkariku. “Apa-apaan tadi?!”

“Aku tak akan minta maaf, salahmu sendiri memakai pakaian kurang bahan seperti itu di tempat umum.”

Sontak aku merapatkan cardigan, walaupun itu percuma. Dia sudah melihatnya, bahkan aku sangat santai ketika berjalan keluar rumah tadi. Lalu kenapa aku melakukan hal bodoh ini?

Aku melepaskan tanganku yang menahan cardigan. “Ini Bali dan itu hal biasa, lagipula apa urusanmu padaku?”

Erlangga melepas jas yang ia kenakan, lalu menyampirkan di bahuku. “Selagi aku masih di Bali, kamu termasuk urusanku.”

Apa aku termasuk dalam perjanjian bisnisnya di sini? Aku mendengus lalu berjalan mendahuluinya. Toh, ia akan mengikuti nanti. Dan benar saja, ia sudah berada di sampingku dan memeluk pinggulku posesif.

**

“Apa aku terlihat murahan untukmu?”

Itu adalah pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan ketika pertama kali kami bertemu di pasar Ubud pagi itu. Dia begitu mudahnya memelukku, walaupun aku juga tak melarangnya. Oke, mungkin aku terpesona olehnya, tapi apa memungkinkan untuk berdebat di jalanan hanya karena pelukannya itu? Akan banyak pasang mata yang memperhatikan kami, dan aku benci itu. Lagipula pria ini pemaksa dan juga seenaknya.

“Aku tak pernah berpikiran seperti itu. Lagipula kamu juga tak menolak, jadi kenapa kamu menanyakan itu jika tahu jawabannya,” ucapnya dengan seringai.

Aku benar-benar tak percaya bisa bertemu pria seperti ini, bahkan tak pernah aku bermimpi untuk bertemu pria seperti Erlangga. “Lagipula ini Bali, itu hal biasa yang di lakukan.” Ia kembali memperlihatkan seringainya itu.

Ia bahkan membalikkan kata-kataku sehingga aku tak bisa mengatakan apapun. Beruntung sang pelayan segera datang membawa pesanan kami.

“Aku serius ingin mengenalmu lebih dekat. Ucapanku saat itu serius,” ucapnya ketika pelayan itu baru saja pergi.

Tatapan kami bertemu. Mata itu sangat serius, tak ada seringai yang tadi ia tunjukkan. “Aku tak ingin membahasnya.”

“Beritahu alasannya,” tuntutnya.

“Kita sudah pasti tidak cocok, dan sifatmu itu sangat pemaksa. Lagipula kamu baru putus dari tunanganmu. Siapa yang bisa menjamin kalau aku hanya pelarianmu. Jadi berhentilah bermain-main.”

“Begitu?”

Ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Ia hanya berdiri di hadapanku, selama satu menit pandangan kami beradu. Satu menit yang terasa seperti satu jam.

“Maaf jika aku pemaksa. Tapi, aku tak akan meminta maaf untuk ini.”

Ia mencium bibirku. Waktu seperti berhenti berputar di sekitar kami. Aku seperti terpaku di tempatku duduk, tanpa bisa melakukan apapun. Aku merasa di lecehkan, tapi aku juga tak bisa melakukan apapun.

“Kamu milikku, dan akan kubuktikan kalau semua ucapanku serius dan kamu bukan pelarianku. Aku bisa menjamin itu.”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status