Share

Bab 32

Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah.

Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli.

Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu.

Aku membalikkan tubuhku, tapi tak beranjak dari tempatku berdiri, dan benar saja itu Erlangga. Tatapan matanya masih dingin, entah apa yang salah. Dia menatapku seperti itu sejak aku membuka mata pagi ini.

“Kenapa kamu tak memakan makananmu?” tanyanya.

Mataku berpindah pada baki makanan yang memang masih utuh di meja yang terletak di dekatku. Dia tak mungkin membuka pintu dengan kasar seperti tadi hanya karena hal itu, kan? Lagipula, darimana ia tahu aku tak memakannya? Apa ia diam-diam juga membayar para pelayan itu untuk mengawasiku? Yang benar saja.

“Kamu memata-mataiku?” tanyaku. Aku menyipitkan mata menatapnya.

Erlangga hanya menatapku, dingin, tanpa ekspresi. Diamnya pria itu merupakan jawaban ‘iya’ untukku. Aku membalikkan tubuhku lagi, marah tentu saja. Kami bukan teman, kami hanya sekadar kenal, dan itu tidak dalam waktu yang lama. Lalu dia melakukan semua hal yang tak seharusnya ia lakukan. Aku tahu ia mengatakan jika menyukaiku, tapi, apa ini semua masuk akal?

“Kamu melakukan percobaan bunuh diri secara sadar, jika aku terlambat menolongmu, mungkin kamu benar-benar tenggelam dan kamu sadar apa yang akan terjadi. Aku tak merasa bersalah sudah melakukan hal itu, karena aku harus memastikan kamu tak melakukan hal yang sama di sini,” ucap Erlangga.

Tak ada bentakan atau amarah dalam nada suara Erlangga, hanya tanpa emosi. Dan aku membencinya. Kenapa ia harus sepeduli itu padaku?

“Kembalikan semua barang-barangku, aku ingin pulang.” Aku tak membalikkan tubuhku atau hanya sekadar menoleh.

“Kita makan malam dulu, aku akan mengantarmu setelahnya.”

Aku tak tahan lagi. Seharian ini aku benar-benar sudah mirip korban penculikan, aku tak merasakan emosi apapun, dan aku sama sekali tak memiliki gairah untuk melakukan apapun dan untuk mengkonsumsi makanan. Erlangga sama sekali tak membantuku dalam hal ini.

“Seharusnya kamu biarkan aku tenggelam di sana, kenapa harus repot-repot menolongku?!” teriakku frustrasi.

Erlangga yang sudah membalikkan tubuhnya, kini menatapku. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, lalu ia melangkah mendekatiku. Jika pagi tadi ia menyisakan jarak satu meter untuk kami, kini ia memangkas jarak itu dan berada tepat di hadapanku. Aku tak ingin menatapnya, mataku hanya tertuju pada sepatu kulit mahal yang sudah berhadapan dengan jemari kaki telanjangku.

Pria itu, Erlangga, ia memelukku. Aku hanya pasrah dalam dekapannya. Mungkin jika yang menolongku bukan Erlangga, aku juga akan pasrah seperti ini, karena aku kembali mengalami patah hati dan kebas dalam hatiku. Kenangan yang kupikir sudah tak ada lagi dalam pikiranku, ternyata masih dengan tak tahu malunya bercokol di sana. Saat ini, aku merasa duniaku kembali runtuh, aku tak memiliki pegangan lagi untuk bertahan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berpikir untuk bunuh diri. Dan pria ini menyelamatkanku.

**

Erlangga benar-benar mengantarku pulang hingga sampai tepat di depan pintu rumah sewa yang kutempati. Tak ada hal khusus yang terjadi, kami hanya makan malam di salah satu restoran dalam perjalanan menuju Ubud. Hanya itu saja, juga tak ada obrolan yang berarti. Rasanya aku sudah terlalu banyak membuka diriku pada orang asing yang bahkan belum lama kukenal dan kami tak sedekat itu untuk saling berbagi rahasia.

Ada beberapa hal yang setidaknya cukup untuk kusyukuri, aku masih sehat di sini dan seperti mendapatkan kesempatan lain untuk kembali menjalani kehidupan yang sangat menyesakkan ini.

Hal terakhir yang masuk ke dalam pikiranku adalah, besok aku harus bekerja. Aku hanya mengambil cuti selama tiga hari, dan bukan ketenangan yang kudapatkan seperti apa yang selama ini kuharapkan. Pengalaman ini tak bisa kulupakan dalam hidupku, karena untuk pertama kalinya aku melakukan percobaan bunuh diri.

“Sebaiknya kamu berpikir dengan jernih dulu sebelum memutuskan untuk melakukan bunuh diri seperti kemarin. Aku tak tahu apa masalahmu, apapun itu, jangan jadikan bunuh diri sebagai solusi terakhir,” ucap Erlangga.

Aku hanya menganggukkan kepala, jika beruntung maka kalimat itu akan kusimpan di memori terbaik kepalaku. “Terima kasih atas pertolonganmu, dan juga tumpangan malam ini.”

Erlangga menahan pergelangan tanganku ketika aku hampir keluar dari mobilnya. Aku menutup kembali pintu mobil itu, dan menatap Erlangga. Ia menyalakan lampu di dalam mobil agar ada tambahan penerangan.

“Aku serius mengatakan ini, aku sudah tak memiliki hubungan apapun dengan mantan tunanganku. Jadi, semua kalimat yang pernah kukatakan kemarin juga serius,” ucap Erlangga.

Aku melihat keseriusan itu di matanya. Untuk beberapa saat aku hanya menatap mata itu, lalu beberapa menit setelahnya, aku segera keluar dari mobil itu. Aku tak memiliki kalimat untuk menanggapi pernyataan Erlangga.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status