Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah.
Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli.
Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu.
Aku membalikkan tubuhku, tapi tak beranjak dari tempatku berdiri, dan benar saja itu Erlangga. Tatapan matanya masih dingin, entah apa yang salah. Dia menatapku seperti itu sejak aku membuka mata pagi ini.
“Kenapa kamu tak memakan makananmu?” tanyanya.
Mataku berpindah pada baki makanan yang memang masih utuh di meja yang terletak di dekatku. Dia tak mungkin membuka pintu dengan kasar seperti tadi hanya karena hal itu, kan? Lagipula, darimana ia tahu aku tak memakannya? Apa ia diam-diam juga membayar para pelayan itu untuk mengawasiku? Yang benar saja.
“Kamu memata-mataiku?” tanyaku. Aku menyipitkan mata menatapnya.
Erlangga hanya menatapku, dingin, tanpa ekspresi. Diamnya pria itu merupakan jawaban ‘iya’ untukku. Aku membalikkan tubuhku lagi, marah tentu saja. Kami bukan teman, kami hanya sekadar kenal, dan itu tidak dalam waktu yang lama. Lalu dia melakukan semua hal yang tak seharusnya ia lakukan. Aku tahu ia mengatakan jika menyukaiku, tapi, apa ini semua masuk akal?
“Kamu melakukan percobaan bunuh diri secara sadar, jika aku terlambat menolongmu, mungkin kamu benar-benar tenggelam dan kamu sadar apa yang akan terjadi. Aku tak merasa bersalah sudah melakukan hal itu, karena aku harus memastikan kamu tak melakukan hal yang sama di sini,” ucap Erlangga.
Tak ada bentakan atau amarah dalam nada suara Erlangga, hanya tanpa emosi. Dan aku membencinya. Kenapa ia harus sepeduli itu padaku?
“Kembalikan semua barang-barangku, aku ingin pulang.” Aku tak membalikkan tubuhku atau hanya sekadar menoleh.
“Kita makan malam dulu, aku akan mengantarmu setelahnya.”
Aku tak tahan lagi. Seharian ini aku benar-benar sudah mirip korban penculikan, aku tak merasakan emosi apapun, dan aku sama sekali tak memiliki gairah untuk melakukan apapun dan untuk mengkonsumsi makanan. Erlangga sama sekali tak membantuku dalam hal ini.
“Seharusnya kamu biarkan aku tenggelam di sana, kenapa harus repot-repot menolongku?!” teriakku frustrasi.
Erlangga yang sudah membalikkan tubuhnya, kini menatapku. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, lalu ia melangkah mendekatiku. Jika pagi tadi ia menyisakan jarak satu meter untuk kami, kini ia memangkas jarak itu dan berada tepat di hadapanku. Aku tak ingin menatapnya, mataku hanya tertuju pada sepatu kulit mahal yang sudah berhadapan dengan jemari kaki telanjangku.
Pria itu, Erlangga, ia memelukku. Aku hanya pasrah dalam dekapannya. Mungkin jika yang menolongku bukan Erlangga, aku juga akan pasrah seperti ini, karena aku kembali mengalami patah hati dan kebas dalam hatiku. Kenangan yang kupikir sudah tak ada lagi dalam pikiranku, ternyata masih dengan tak tahu malunya bercokol di sana. Saat ini, aku merasa duniaku kembali runtuh, aku tak memiliki pegangan lagi untuk bertahan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berpikir untuk bunuh diri. Dan pria ini menyelamatkanku.
**
Erlangga benar-benar mengantarku pulang hingga sampai tepat di depan pintu rumah sewa yang kutempati. Tak ada hal khusus yang terjadi, kami hanya makan malam di salah satu restoran dalam perjalanan menuju Ubud. Hanya itu saja, juga tak ada obrolan yang berarti. Rasanya aku sudah terlalu banyak membuka diriku pada orang asing yang bahkan belum lama kukenal dan kami tak sedekat itu untuk saling berbagi rahasia.
Ada beberapa hal yang setidaknya cukup untuk kusyukuri, aku masih sehat di sini dan seperti mendapatkan kesempatan lain untuk kembali menjalani kehidupan yang sangat menyesakkan ini.
Hal terakhir yang masuk ke dalam pikiranku adalah, besok aku harus bekerja. Aku hanya mengambil cuti selama tiga hari, dan bukan ketenangan yang kudapatkan seperti apa yang selama ini kuharapkan. Pengalaman ini tak bisa kulupakan dalam hidupku, karena untuk pertama kalinya aku melakukan percobaan bunuh diri.
“Sebaiknya kamu berpikir dengan jernih dulu sebelum memutuskan untuk melakukan bunuh diri seperti kemarin. Aku tak tahu apa masalahmu, apapun itu, jangan jadikan bunuh diri sebagai solusi terakhir,” ucap Erlangga.
Aku hanya menganggukkan kepala, jika beruntung maka kalimat itu akan kusimpan di memori terbaik kepalaku. “Terima kasih atas pertolonganmu, dan juga tumpangan malam ini.”
Erlangga menahan pergelangan tanganku ketika aku hampir keluar dari mobilnya. Aku menutup kembali pintu mobil itu, dan menatap Erlangga. Ia menyalakan lampu di dalam mobil agar ada tambahan penerangan.
“Aku serius mengatakan ini, aku sudah tak memiliki hubungan apapun dengan mantan tunanganku. Jadi, semua kalimat yang pernah kukatakan kemarin juga serius,” ucap Erlangga.
Aku melihat keseriusan itu di matanya. Untuk beberapa saat aku hanya menatap mata itu, lalu beberapa menit setelahnya, aku segera keluar dari mobil itu. Aku tak memiliki kalimat untuk menanggapi pernyataan Erlangga.
**
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk