Share

Bab 30

“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa.

“Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.”

Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya.

“Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana.

“Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas.

Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunangannya, dan aku masih berharap Erlangga menghubungiku? Aku harusnya mandi air dingin sekarang untuk menyadarkan diriku.

“Kamu tetep harus bersiap dalam kondisi apapun, Van. Walaupun tamu gak komplain, kamu tetep harus ketemu Mister Benjamin,” ucap Dewa tertawa.

“Ah, aku bener-bener gak suka jadi manajer.”

Dewa kembali tertawa di seberang sana sebelum menutup telepon. Aku menghela napas lalu kembali membaringkan tubuhku di kasur. Mungkin ini adalah awal dari ujianku setelah mendapat jabatan manajer, sama sekali bukan awal yang baik dan yang ingin kulakukan sekarang adalah tidur dan kembali bangun berharap aku tak pernah memiliki masalah ini.

Tiga puluh menit kemudian aku sudah siap untuk kembali bekerja. Seharusnya ini baik-baik saja karena aku tak harus bertemu Erlangga lagi, tapi pikiranku tak bisa bekerja dengan benar. Alasan Erlangga yang melakukan early checkout, pikiran tentang tunangannya, apa jangan-jangan mereka kembali menyambung hubungan mereka? Dan kenapa aku harus peduli?

Jika ini adalah bagian rencana Erlangga untuk membuat perasaanku bingung, maka ia berhasil. Aku bahkan ragu ia benar-benar menyukaiku, dan aku di sini memikirkan semua alasan kepergiannya. Bodoh sekali aku ini, aku sepertinya sangat menyukai rasa sakit sehingga sangat mudah terpedaya oleh pria.

Harusnya aku memikirkan satu masalah besar yang akan terjadi sebentar lagi. Mister Benjamin. Percayalah walaupun Mister Benjamin sangat cerewet, aku masih bisa menoleransinya. Dia juga atasanku, aku tak bisa melakukan hal lain selain mengiyakan segala permintaannya, kan?

Aku bahkan tanpa sadar sudah sampai di kawasan Kayon, jadi aku dari tadi berjalan kemari sambil memikirkan Erlangga? Aku harus mengapresiasi kehadiran Erlangga yang mampu menginvasi pikiranku sedemikian rupa. Jika saja ia mendekatiku dengan cara yang normal, aku mungkin akan menerimanya.

Ponselku bergetar, dan ada sebuah tanda pesan masuk, dari nomor tak di kenal. Entah kenapa aku sedikit berharap kalau itu Erlangga.

Apa kabar, Vania? Apa kamu punya waktu sore ini? Ada yang harus kusampaikan padamu.

Ritchie.

Pikiranku mendadak kosong ketika membaca nama yang tertulis di bawah pesan singkat itu. Apa itu artinya Ritchie ada di Bali? Kenapa itu sangat membuatku takut? Aku segera menghapus pesan itu dan memasukkan ponselku kedalam tas. Aku langsung tergesa masuk ke dalam hotel. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Ritchie masih membuatku trauma.

**

Sepanjang hari ini pikiranku benar-benar tidak pada tempatnya. Aku bahkan tak bereaksi berlebihan ketika bertemu Mister Benjamin tadi. Tak ada masalah dengan Erlangga yang melakukan early checkout, pria itu memang sedang mengalami sedikit masalah jadi ia harus buru-buru keluar dari hotel.

Dari semua hal yang terjadi padaku hari ini, hanya pesan dari Ritchie yang masih menggangguku sejak tadi. Aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini, enam bulan yang lalu aku benar-benar melarikan diri dari semua masalahku. Tak ada salam perpisahan pada Ritchie, kami sudah terhitung tak memiliki hubungan apa-apa lagi, harusnya seperti itu jika Ritchie sudah menyetujuinya.

Aku berjalan gontai menuju parkiran, aku tak membawa kendaraan jadi aku harus berjalan kaki. Tak masalah untukku, anggap saja ini terapi agar pikiranku kembali waras.

“Vania.”

Aku berdiri di tempatku ketika melihat si pemanggil, dia berdiri di hadapanku. Aku masih belum siap jika harus bertemu Ritchie, keadaanku sedang tak memungkinkan. Harus tetap di hadapi, kan?

Aku benar-benar ingin lari saja rasanya dari sini, apapun yang kulakukan untuk menenangkan diri rasanya tak cukup. Hati kecilku kembali bertanya ‘sampai kapan aku akan lari?’ tapi otakku memintaku untuk lari dari hadapannya. Apa yang akan kami bicarakan? Apa hanya akan saling bertukar kabar? Bertanya tentang cuaca, lalu memulai kembali hubungan baik? Apa aku sudah gila?

Pada akhirnya aku hanya memberi senyum tipisku, setidaknya aku tak boleh terlihat menyedihkan di hadapannya. Vania tak boleh melakukan hal itu.

“Apa kamu punya waktu? Hanya sepuluh menit,” ucapnya terlihat ragu, tapi masih memberikan senyumnya. Senyum yang dulu menjadi favoritku.

Aku masih menampilkan senyum tipisku, lalu memberinya isyarat untuk mengikuti. Aku tak ingin kembali menjadi bahan gosip dengan berbicara di area Kayon.

“Ada apa?” tanyaku setelah kami sampai di restoran yang biasa kukunjungi. Tadinya aku ingin membawanya ke rumahku, tapi urung kulakukan. Aku tak ingin dia tahu lebih jauh tentangku.

Yah, dan aku kembali mengambil resiko berbicara di tempat umum. Aku hanya akan pasrah jika ini tak berjalan sesuai rencana, toh aku sudah biasa menjadi bahan gosip. Aku hanya perlu menjadi artis saja setelahnya, seperti kebanyakan artis sekarang yang hanya mencari sensasi.

“Aku mau minta maaf, Van. Aku belum sempat mengatakannya. Maaf sudah menyakitimu selama ini,” ucapnya.

Entah kenapa kenangan pahit itu kembali masuk ke dalam memoriku. Ketika Ritchie dengan kejamnya menuduhku selingkuh, bahkan ia merasa yang kulakukan sangat melukai harga dirinya. Aku tak tahu harus memberi respon seperti apa, kalimat yang sudah ada di ujung tenggorokan kembali tertelan.

Aku belum berdamai pada masa laluku, pada diriku sendiri. Enam bulan ini aku hanya lari dari semuanya, dan hatiku hampa.

“Apa pernah sekali saja kamu mencintaiku dulu?” tanyaku. Aku tak ingin mengungkit masa lalu, tapi aku harus tahu bahwa dua tahun itu setidaknya akupernah di cintai.

“Siapa yang tak akan mencintai wanita sebaik dirimu,”

Ritchie terlihat ragu, hal itu bahkan tak menjawab pertanyaanku. Keraguannya sama saja dengan jawaban tidak. “Lalu Tsania?”

“Hubungan kami tak seperti itu, kami hanya saling menguntungkan, dan dia juga tak mencintaiku. Aku tak pernah bermain di belakangmu.”

“Kalau kamu tulus meminta maaf, tolong beritahu alasan hubungan dua tahun kita, karena aku benar-benar tak mengerti.”

Cairan bening yang tak kuharapkan akan keluar sudah menggenang di pelupuk mata. Kenapa hanya aku yang tersakiti di sini? Ritchie terlihat baik setelah semua ini. Jadi hubungan kami tak bermakna apapun untuknya? Tapi kenapa?

Bukan berarti aku ingin kembali berhubungan baik dengannya setelah ini, aku hanya ingin mengerti semuanya, agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Lalu aku bisa menyongsong masa depan tanpa takut dengan masa lalu pahit yang terus membayangiku. Aku hanya ingin mengerti.

“Aku benar-benar tak mengerti, kenapa kita harus pacaran selama itu tapi kamu tak mencintaiku? Semua perhatian kamu, apa maksud semua itu? Tolong buat aku mengerti…,”

Aku tersedak dengan kalimatku sendiri, dan air mata itu mengalir tanpa bisa kucegah. Kalian bisa menganggap aku cengeng, tapi semua itu memang sangat menyakitkan untukku dan aku tak berpura-pura. Kalian harus mengalaminya agar mengerti apa yang aku rasakan.

“Maaf karena sudah menyakitimu sedalam itu, dan aku memang tak mencintaimu. Aku melakukan itu awalnya memang untuk membuat Tsania cemburu dan ia memilihku, lalu aku sadar kalau ia tak mencintaiku, aku saja yang terlalu bodoh karena terlalu mencintainya. Aku pernah berusaha untuk mencoba mencintaimu, tapi semuanya terasa palsu. Ada saat ketika aku merasa cemburu karena kamu dan Tio, tapi aku sadar itu bukan cinta. Aku hanya haus akan perhatian, aku hanya ingin semua orang melihatku. Maaf.”

Jadi aku tak pernah di cintai selama dua tahun itu? Harusnya aku sudah tahu, kan? Tatapan yang kuanggap sebagai tatapan penuh cinta hanyalah kepura-puraan, dan semua yang ia lakukan hanya pura-pura. Kenyataan itu membuat air mataku semakin deras membasahi pipiku, bagaimana aku bisa menahannya ketika kenyataan memukulku dengan sangat keras?

“Aku—aku lega mendengarnya. Setidaknya aku sudah tahu kebenarannya.” Bohong. Hatiku semakin sakit setelah mendengarnya. “Apa ada lagi yang ingin kamu bicarakan?”

Mungkin sudah lebih dari sepuluh menit dari yang ia janjikan, dan jika lebih lama lagi aku berada di ruangan yang sama, aka nada banyak kenyataan pahit yang akan kudengar. Aku terlalu pengecut untuk mendengar semua itu.

Ritchie hanya menggeleng, kami tak saling menatap. Aku harap ia melakukan itu karena rasa bersalahnya, dan ia tulus dengan permintaan maaf itu. “Apa aku boleh meminta satu hal padamu?”

Ritchie menatapku. Mata itu, apa dia merasa kesusahan dengan semua kepura-puraan itu? Aku pasti sudah menyusahkannya dulu dengan semua sikapku. “Jika kita bertemu lagi, atau ketika kita berpapasan, bisakah untuk tak saling mengenal? Anggap saja kita tak pernah menjalin hubungan, kita hanya orang asing yang tak sengaja bertemu. Bisakah?”

Aku menghapus jejak air mata yang tertinggal. Rasanya sangat sakit, kenapa kisah hidupku harus semenyedihkan ini?

“Aku permisi.”

Aku tak ingin berlama-lama menanti jawabannya, karena aku tak butuh persetujuannya. Beruntung jarak rumahku sangat dekat. Aku berlari seperti orang gila dengan mata yang masih memerah, air mata bahkan masih mengalir ketika aku berlari. Menyedihkan.

Aku menyandarkan diri di balik pintu, aku seperti dejavu. Aku menangis sejadi-jadinya, setelah ini semuanya benar-benar berakhir. Jadi biarkan malam ini aku menangis sepuasnya. Isakanku semakin bertambah kencang ketika memori indah dan pahit itu berlari-lari di ingatanku. Entah aku harus mensyukuri kenangan indah itu atau tidak. Nyatanya kenangan indah itu palsu, apa yang harus kukenang?

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status