Share

Bab 31

Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini.

Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana.

Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi sepertinya, aku selalu sial jika berurusan dengan pria, jadi aku akan menikmati kesendirianku saja.

Butuh waktu sekitar satu jam sampai aku tiba di Kuta, seperti biasa, Kuta selalu ramai. Aku mengenakan kacamata hitam untuk menutupi bengkak di mataku. Aku sangat benci menangis, tapi hal terakhir yang terjadi padaku ketika banyak pikiran seperti ini adalah menangis. Kapan hidupku akan lepas dari permasalahan seperti ini?

Tadinya aku ingin tetap di rumahku lalu menelpon Lucas atau Ina untuk menceritakan masalah yang sedang ku hadapi, tapi aku mengurungkan niat itu. Kupikir mereka sudah sangat terbebani dengan apa yang terjadi padaku, aku hanya ingin menjadi sahabat mereka tanpa membebankan masalah yang kutanggung sendiri.

Hanya pantai satu-satunya tempat yang mampu menenangkanku, mungkin aku akan berada di sini seharian. Aku bahkan sudah mengenakan pakaian renang terbaikku, berenang juga cukup untukku, atau mungkin ketika aku tenggelam nanti akan menjadi akhir dari segalanya, lalu seluruh masalahku akan menghilang begitu saja. Pikiran konyol seperti itu kadang selalu mampir di benakku, terkadang juga menghiburku.

“Aku tak tahu bagaimana untuk memulainya, aku benar-benar payah untuk hal seperti ini. Kamu tahu, kita sudah dekat selama ini, dan kupikir aku sangat nyaman bersamamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?” Ritchie mengatakan kalimat itu dengan senyum malu-malu.

Aku menatap Ritchie tak percaya, dia adalah pria tampan yang ada di hotel—salah satunya—menurutku, dan baru saja menyatakan cinta padaku. Ya, kami sudah cukup akrab, aneh saja ketika mendengar ia mengatakan semua ini. Seluruh hotel juga tahu kalau Ritchie hanya menyukai Tsania.

“Kenapa?”

Ritchie terlihat semakin gugup di hadapanku, aku sama sekali tak memiliki perasaan apapun padanya—belum. Kami juga baru saja akrab selama satu bulan, untukku yang sangat awam dengan dunia percintaan, itu adalah waktu yang sangat singkat untuk menyatakan cinta. Atau memang seperti itu?

“Apakah harus memiliki alasan untuk menyukai seseorang?”

“Tapi aku—“

“Kita bisa mencoba dahulu, tak perlu terburu-buru, cinta itu akan datang ketika sudah saling terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.”

Semua kenangan itu terputar seperti kaset rusak di kepalaku, tanpa bisa kucegah, aku bahkan tak menginginkan kenangan itu untuk muncul lagi. Aku semakin menjauh dari pinggiran pantai dan berenang hingga hampir ke tengah laut, kenangan itu membawaku sejauh ini. Aku melemaskan seluruh otot di tubuhku, dan mulai mengapung di tengah laut ini, rasanya sangat bebas seperti ini.

Aku tak tahu sudah berapa lama terapung di tengah laut seperti ini, matahari juga rasanya semakin menyengat tepat di atas kepalaku. Mendadak kakiku terasa keram, dan aku tak bisa mengendalikan tubuhku, rasanya seperti ada yang menarikku ke dalam laut. Apa ini akhir dari hidupku? Aku bahkan sama sekali tak berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Kelopak mataku tertutup dengan sendirinya, akan lebih baik jika menikmati semua ini saja, akan lebih baik jika nanti aku sudah terbangun di surga.

**

Apa surga memang rasanya senyaman ini? Aku bahkan tak ingin membuka kelopak mataku, semua ini terlalu nyaman, ingin rasanya seperti ini saja sampai nanti. Bagaimana jika aku membuka mata, lalu semua ini hanya mimpi?

Entah dari mana asalnya, tapi aku mencium aroma kopi yang sangat nikmat, ternyata aku memang berada di surga. Perlahan aku membuka mataku untuk mencari sumber aroma tersebut. Hal pertama yang aku tangkap adalah, ruangan ini sangat putih, mataku dengan perlahan mengitari ruangan yang sangat putih ini, tapi kenapa rasanya seperti kamar hotel?

“Sudah sadar?” tanya sebuah suara. Itu suara pria.

Tebak siapa yang kutemukan? Erlangga. Ia tersenyum tipis menatapku dari sofa yang ia duduki, dengan cangkir kopi di genggamannya. Kenapa aku bisa bersamanya? Terakhir kali yang kuingat, aku ada di tengah laut. Jadi, apa aku belum mati?

“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku.

“Apa hanya itu yang terlintas di pikiranmu sejak tadi? Aku sudah menolongmu, seharusnya kamu mengucapkan terima kasih.”

Perlahan aku bangkit untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. Pakaianku sudah di ganti, dan aku tak tahu ini milik siapa, kepalaku juga sangat pusing ketika aku sudah bersandar di kepala ranjang. Ternyata aku belum mati, masih hidup di sini dan bersama pria yang ingin kuhindari. Aku selalu bertemu Erlangga, secara sengaja dan tak sengaja. Entah mana yang benar-benar terjadi, bisa saja dia mengikutiku hingga saat ini. Pria ini lebih gila dari yang terlihat.

Pandangan mata Erlangga sangat menusukku, ia memperhatikanku sejak tadi. Aku menyadari hal itu, hanya tak ingin peduli. Jika hal-hal seperti ini terjadi di novel fiksi yang sering kubaca, kenapa rasanya sangat manis, sedangkan saat ini rasanya aku terintimidasi. Aura pria ini benar-benar sesuatu, dan aku ingin memberinya acungan jempol. Akan berguna karena ia seorang pemimpin, kurasa untuk hubungan romantis, itu sedikit berlebihan.

“Pukul berapa sekarang?” tanyaku.

“Hampir pukul delapan pagi. Kamu akan bekerja?”

Aku mencoba untuk turun dari ranjang. Sudah cukup drama pagi ini, aku semalaman terjebak pada pria ini, tak mengetahui apa yang sudah kulakukan atau yang ia lakukan padaku. Aku juga tak berminat untuk bertanya.

“Dimana barang-barangku?” tanyaku lagi. Tubuhku masih sedikit limbung, mungkin karena efek terlalu lama tidur dan karena aku terlalu banyak meminum air laut. Kombinasi keduanya sangat keras dan mungkin berefek seperti pada tubuhku saat ini.

Erlangga juga bangkit dari sofa yang ia duduki. Ia sudah rapi dengan kemeja putih dan celana kain yang membentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia pasti sudah bersiap-siap untuk pergi bekerja. Pria itu berjalan menghampiriku, tapi tak mendekat, ada jarak yang ia ciptakan sekitar satu meter dengan menatapku. Bukannya aku kecewa, apa mungkin dia sudah mengerti dengan semuanya dan memutuskan kembali pada tunangannya?

“Kamu bisa istirahat di sini dulu, aku juga akan pergi bekerja jadi kamu tak perlu khawatir harus melihatku,” ucapnya.

“Aku—“

“Tunanganku tak akan kemari, tak perlu khawatir dan istirahat saja. Nanti aku akan mengantarmu pulang,” potong Erlangga.

Kenapa jadi terlihat seperti aku sedang berselingkuh dengannya? Aku tak pernah mengkhawatirkan apapun, bertemu tunangannya sekalipun, karena aku tak bersalah dan aku sama sekali tak memiliki niat untuk mendekati Erlangga. Hanya pria ini yang selalu menyeretku ke dalam drama itu. Apa semua pria memang seperti itu saat ini?

“Aku bisa pulang sendiri, kamu hanya perlu memberikan barang-barangku saja.”

Erlangga yang sudah menuju pintu kamar ini, langsung membalikkan tubuhnya lagi. Hal yang paling kubenci adalah ketika menjadi lemah dan takluk di bawah intimidasi orang lain. Dalam keadaan yang masih sakit kepala seperti ini, aku tak bisa melakukan banyak hal, dan kuyakin tatapan dinginku tak memiliki pengaruh apapun pada Erlangga.

Justru pria itu yang saat ini sedang menatapku dengan dingin, kupikir, aku akan terserang demam karena dinginnya tatapan pria itu.

“Turuti perkataanku kali ini saja. Setelah ini akan kupastikan kita tak akan pernah bertemu lagi.”

Setelah mengucapkan kalimat pendek itu, Erlangga segera keluar dari kamar ini. Aku belum bisa memproses semua ini dengan baik. Benarkah kalimat Erlangga itu? Ada rasa lega dan juga kosong. Tapi, kenapa aku harus merasakan kosong? Di antara banyaknya perasaan yang bisa kutunjukkan, dan aku malah memilih kosong. Anggap saja aku sudah gila.

Berniat menenggelamkan diri ke laut saja sudah termasuk hal ekstrem yang terjadi. Jika Lucas mengetahuinya, ia akan sangat marah besar. Tapi, aku juga tak bisa mengelak jika Ritchie masih memiliki pengaruh sebesar itu terhadap diriku dan juga hatiku. Tak semudah itu untuk bisa benar-benar melupakan sakit hati itu, ini adalah yang terburuk. Andai saja Erlangga tak ada di sana, semuanya akan lebih mudah.

Ada alasan lain kenapa aku memilih Bali sebagai tempat pelarianku. Selain banyak pantai, dan juga pemandangan yang indah, di sini tak ada satupun yang mengenaliku. Aku benar-benar tak mengenal tempat ini dengan baik dan tak memiliki satupun teman yang mengenalku. Jadi, jika suatu hari aku akan memutuskan untuk bunuh diri dan semacamnya, tak akan ada yang mengenaliku. Jika hanya Lucas dan Ina yang menangisiku, itu bukan masalah besar, mereka bisa melewatinya.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status