Share

Pria Incaran Sahabatku itu, Suamiku
Pria Incaran Sahabatku itu, Suamiku
Penulis: HERI_NAYALBIL

Bab 1

[Sekali lagi kamu pajang foto mesra berdua pasanganmu, lihat aja statusmu akan berganti jadi janda!]

Status menohok ditulis oleh Arumi dengan disertai emoticon wajah memerah. Aku yang membacanya pun turut komentar. Sebab, barusan aku upload foto bersama suamiku, Lian. 

[Arumi, serem amat ancamannya. Siapa sih? Jangan ngerebut suami orang lah!]

Ratusan teman pun turut mengomentari statusnya. Ancaman di sosial media itu dihujani like bahkan yang bagikan cukup banyak. 

Berbagai argumen muncul, ada yang anggap becanda, ada pula yang menganggapnya serius. Semua komentator nyaris tak ada yang dijawab oleh Arumi, termasuk aku. 

Mungkin Arumi hanya becanda, mana mungkin ia mencintai suami orang? Sepertinya itu takkan terjadi, sebab aku jauh mengenal Arumi sebelum menikah dengan Mas Lian. 

"Kenapa? Kok bengong sambil lihat handphone?" tanya Mas Lian penasaran. Tangannya berada di atas pundakku sebelah kanan. 

"Nggak, Mas, itu Arumi nyetatus, aku sebagai sahabat kan wajib nasihatin kalau Arumi salah," sahutku sambil meletakkan ponsel genggam di atas meja. Lalu meraih tumpukan baju yang belum dilipat. 

"Biarin aja, kan jari juga jari dia ini, ngapain kamu yang pusing?"

Mas Lian bangkit, lalu mengayunkan kakinya ke arah kamar. 

Aku dan Arumi berteman lama, sejak menginjak bangku sekolah menengah pertama. Ke mana-mana kami selalu berdua, tiap lebaran pun baju diusahakan kembar, orang tua kami kadang sengaja membelikan apa-apa yang sama, seperti tas, sepatu, nyaris kami tidak ada bedanya. Padahal, kedua orang tua kami berbeda. 

Hingga aku menikah, semua itu masih dilakukan. Tiap kali belanja baju, aku kepikiran untuk membelikan Arumi juga. 

Selepas melipat baju, aku membawanya ke kamar untuk meletakkan di lemari. Terlihat Mas Lian tengah menggulir layar ponsel dengan jari telunjuknya. Terlihat senyum indah terpancar dari wajahnya. 

"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku padanya. 

"Lucu aja sama statusnya Arumi, bisa gitu ya sahabat kamu itu, emang dia lagi naksir laki-laki beristri, Ay?" tanya Mas Lian. 

Tadi aku disuruh biarkan saja status Arumi, tapi Mas Lian sendiri penasaran dengan statusnya. 

"Aku nggak tahu, Mas. Arumi belum cerita, tapi tadi ngepasin banget dengan aku yang abis upload foto," jawabku membuat Mas Lian duduk tegak. 

"Masa iya Arumi naksir aku?" Mas Lian membelah rambutnya seakan merasa dirinya paling tampan. "Tapi dari dulu kan selera kalian sama, kemungkinan juga selera suami pun sama," tambah Mas Lian membuat aku semakin geram, ia becanda tapi itu sengaja untuk menaikkan emosiku. Akhirnya aku tutup obrolan tentang Arumi dengan becanda di atas ranjang besi. 

***

Weekend ini biasanya kami pergi rekreasi, menghilangkan penat dalam kerjaan keseharian. Namun, kali ini Arumi bilang ia akan main ke rumahku. Jadi, kami mengurungkan niat untuk keluar rumah. 

"Arumi ke sini sama siapa?" tanya Mas Lian. 

"Biasanya sama mamanya, kan?" tanyaku balik. 

"Iya, kalau sama mamanya aku bisa ngobrol, kan biasanya kalian berdua sibuk membicarakan baju kembar, aku dikacangin, ngobrol sama mamanya Arumi jalan satu-satunya," ungkap Mas Lian. 

Apa aku salah mengizinkan Arumi ke sini? Lalu kami berdua sibuk ngobrol, mamanya malah jadi teman bicara Mas Lian. 

"Kamu bosen, Mas? Kalau nggak nanti kita ngobrol bareng ya, termasuk mamanya," usulku. 

Mas Lian hanya mengusap rambutku menjadi berantakan tak beraturan. 

Tiba-tiba benda pipih yang kuletakkan di atas meja berdering. Panggilan masuk dari mamaku terlihat jelas dari kejauhan. Aku segera mengangkatnya sebelum terputus. 

"Halo, Mah," ucapku duluan. "Mama udah balik ke Bekasi lagi?" tanyaku, sebab kedua orang tuaku seminggu lalu pamit pulang kampung ke Wonosobo. 

"Aya, iya nih Mama baru balik, tapi kok tadi denger tetangga ngomong nggak enak ya?" tanya mama membuat jantungku bergetar. Tetangga? 

"Ngomong apa tetangga Mama di sana? Ngomongin Aya ya, Mah?" tanyaku penasaran. Paling mereka membicarakan aku yang belum punya anak, kebiasaan buruk orang kan menanyakan momongan setelah melihat pengantin menikah sudah hitungan tahun tapi belum punya anak. 

"Bukan, Aya, katanya Arumi disuruh cari suami seperti Lian."

"Oh kirain apaan? Itu mah wajar, Mah, kan Mas Lian memang perfect, udah ganteng, baik, kantong tebel pula," candaku sambil mengangkat kedua alis ke arah Mas Lian. 

"Mama khawatir, Aya. Kamu nggak takut Lian diambil Arumi?" tanya mama. 

Aku terdiam sambil memandang suamiku. "Nggak, Mah. Mas Lian tidak akan berpaling dariku. Arumi bukan selera Mas Lian," jawabku. 

"Intinya kamu harus hati-hati, baju boleh sama, asal jangan suami juga sama," pesan mamaku. 

"Iya, Mah."

"Satu lagi. Udah kalau Arumi main nggak usah diterima ya, Ay, nggak baik nerima tamu perempuan sedangkan kamu sudah punya suami," pesan mama. 

"Mah, Arumi kan ke sini sama mamanya, dan nggak pernah nginap pula," jawabku lagi. 

Dikarenakan mama sudah tidak bisa menasihatiku lagi. Akhirnya ia menutup panggilan masuk dengan diakhiri salam. 

***

Selang beberapa jam kemudian, Arumi dan mamanya tiba. Mereka berdua datang dengan membawakan kami oleh-oleh. Sepotong kue bolu kesukaanku. 

"Kok cuma sepotong?" tanyaku padanya. Arumi menoleh ke arah mamanya sesekali, lalu fokus ke arahku lagi. 

"Iya, untuk kamu aja, Mas Lian kan nggak suka bolu, ya kan?" Mata Arumi kini ke arah Mas Lian. "Tenang aja, ini puding coklat barulah buat Mas Lian," tambah Arumi. 

Kue bolu hanya sepotong, puding pun sama. 

Mas Lian pun melahap pudingnya. Begitu juga denganku yang sudah menghabiskan sepotong bolu. 

Mereka tersenyum lebar, aku minum seteguk air putih yang ada di meja. Namun, tiba-tiba saja mata terlihat kunang-kunang. Bayangan Arumi dan mamanya seperti terpecah jadi banyak. 

"Are you oke, Aya?" Aku masih mendengar suara Arumi bertanya. Namun mata ini sudah tak kuat menatap wajahnya. 

***

"Aku ketiduran? Kenapa sekarang ada di kamar? Arumi dan mamanya ke mana? Mas Lian juga nggak ada di kamar." Aku turun dari ranjang. Lalu melangkah keluar sambil mencari keberadaan mereka. 

Kaki ini berhenti melangkah, karena melihat mamanya Arumi tengah berdiri di depan pintu kamar tamu. Aku coba menghampirinya karena heran melihat Mama Asri tengah menempelkan telinganya di depan pintu sambil senyum sendirian. 

'Ngapain Mama Asri di depan pintu dengan menempelkan telinga? Lalu, Arumi dan Mas Lian ke mana?' Pertanyaan muncul seketika di batin ini. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status