[Sekali lagi kamu pajang foto mesra berdua pasanganmu, lihat aja statusmu akan berganti jadi janda!]
Status menohok ditulis oleh Arumi dengan disertai emoticon wajah memerah. Aku yang membacanya pun turut komentar. Sebab, barusan aku upload foto bersama suamiku, Lian.
[Arumi, serem amat ancamannya. Siapa sih? Jangan ngerebut suami orang lah!]
Ratusan teman pun turut mengomentari statusnya. Ancaman di sosial media itu dihujani like bahkan yang bagikan cukup banyak.
Berbagai argumen muncul, ada yang anggap becanda, ada pula yang menganggapnya serius. Semua komentator nyaris tak ada yang dijawab oleh Arumi, termasuk aku.
Mungkin Arumi hanya becanda, mana mungkin ia mencintai suami orang? Sepertinya itu takkan terjadi, sebab aku jauh mengenal Arumi sebelum menikah dengan Mas Lian.
"Kenapa? Kok bengong sambil lihat handphone?" tanya Mas Lian penasaran. Tangannya berada di atas pundakku sebelah kanan.
"Nggak, Mas, itu Arumi nyetatus, aku sebagai sahabat kan wajib nasihatin kalau Arumi salah," sahutku sambil meletakkan ponsel genggam di atas meja. Lalu meraih tumpukan baju yang belum dilipat.
"Biarin aja, kan jari juga jari dia ini, ngapain kamu yang pusing?"
Mas Lian bangkit, lalu mengayunkan kakinya ke arah kamar.
Aku dan Arumi berteman lama, sejak menginjak bangku sekolah menengah pertama. Ke mana-mana kami selalu berdua, tiap lebaran pun baju diusahakan kembar, orang tua kami kadang sengaja membelikan apa-apa yang sama, seperti tas, sepatu, nyaris kami tidak ada bedanya. Padahal, kedua orang tua kami berbeda.
Hingga aku menikah, semua itu masih dilakukan. Tiap kali belanja baju, aku kepikiran untuk membelikan Arumi juga.
Selepas melipat baju, aku membawanya ke kamar untuk meletakkan di lemari. Terlihat Mas Lian tengah menggulir layar ponsel dengan jari telunjuknya. Terlihat senyum indah terpancar dari wajahnya.
"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku padanya.
"Lucu aja sama statusnya Arumi, bisa gitu ya sahabat kamu itu, emang dia lagi naksir laki-laki beristri, Ay?" tanya Mas Lian.
Tadi aku disuruh biarkan saja status Arumi, tapi Mas Lian sendiri penasaran dengan statusnya.
"Aku nggak tahu, Mas. Arumi belum cerita, tapi tadi ngepasin banget dengan aku yang abis upload foto," jawabku membuat Mas Lian duduk tegak.
"Masa iya Arumi naksir aku?" Mas Lian membelah rambutnya seakan merasa dirinya paling tampan. "Tapi dari dulu kan selera kalian sama, kemungkinan juga selera suami pun sama," tambah Mas Lian membuat aku semakin geram, ia becanda tapi itu sengaja untuk menaikkan emosiku. Akhirnya aku tutup obrolan tentang Arumi dengan becanda di atas ranjang besi.
***
Weekend ini biasanya kami pergi rekreasi, menghilangkan penat dalam kerjaan keseharian. Namun, kali ini Arumi bilang ia akan main ke rumahku. Jadi, kami mengurungkan niat untuk keluar rumah.
"Arumi ke sini sama siapa?" tanya Mas Lian.
"Biasanya sama mamanya, kan?" tanyaku balik.
"Iya, kalau sama mamanya aku bisa ngobrol, kan biasanya kalian berdua sibuk membicarakan baju kembar, aku dikacangin, ngobrol sama mamanya Arumi jalan satu-satunya," ungkap Mas Lian.
Apa aku salah mengizinkan Arumi ke sini? Lalu kami berdua sibuk ngobrol, mamanya malah jadi teman bicara Mas Lian.
"Kamu bosen, Mas? Kalau nggak nanti kita ngobrol bareng ya, termasuk mamanya," usulku.
Mas Lian hanya mengusap rambutku menjadi berantakan tak beraturan.
Tiba-tiba benda pipih yang kuletakkan di atas meja berdering. Panggilan masuk dari mamaku terlihat jelas dari kejauhan. Aku segera mengangkatnya sebelum terputus.
"Halo, Mah," ucapku duluan. "Mama udah balik ke Bekasi lagi?" tanyaku, sebab kedua orang tuaku seminggu lalu pamit pulang kampung ke Wonosobo.
"Aya, iya nih Mama baru balik, tapi kok tadi denger tetangga ngomong nggak enak ya?" tanya mama membuat jantungku bergetar. Tetangga?
"Ngomong apa tetangga Mama di sana? Ngomongin Aya ya, Mah?" tanyaku penasaran. Paling mereka membicarakan aku yang belum punya anak, kebiasaan buruk orang kan menanyakan momongan setelah melihat pengantin menikah sudah hitungan tahun tapi belum punya anak.
"Bukan, Aya, katanya Arumi disuruh cari suami seperti Lian."
"Oh kirain apaan? Itu mah wajar, Mah, kan Mas Lian memang perfect, udah ganteng, baik, kantong tebel pula," candaku sambil mengangkat kedua alis ke arah Mas Lian.
"Mama khawatir, Aya. Kamu nggak takut Lian diambil Arumi?" tanya mama.
Aku terdiam sambil memandang suamiku. "Nggak, Mah. Mas Lian tidak akan berpaling dariku. Arumi bukan selera Mas Lian," jawabku.
"Intinya kamu harus hati-hati, baju boleh sama, asal jangan suami juga sama," pesan mamaku.
"Iya, Mah."
"Satu lagi. Udah kalau Arumi main nggak usah diterima ya, Ay, nggak baik nerima tamu perempuan sedangkan kamu sudah punya suami," pesan mama.
"Mah, Arumi kan ke sini sama mamanya, dan nggak pernah nginap pula," jawabku lagi.
Dikarenakan mama sudah tidak bisa menasihatiku lagi. Akhirnya ia menutup panggilan masuk dengan diakhiri salam.
***
Selang beberapa jam kemudian, Arumi dan mamanya tiba. Mereka berdua datang dengan membawakan kami oleh-oleh. Sepotong kue bolu kesukaanku.
"Kok cuma sepotong?" tanyaku padanya. Arumi menoleh ke arah mamanya sesekali, lalu fokus ke arahku lagi.
"Iya, untuk kamu aja, Mas Lian kan nggak suka bolu, ya kan?" Mata Arumi kini ke arah Mas Lian. "Tenang aja, ini puding coklat barulah buat Mas Lian," tambah Arumi.
Kue bolu hanya sepotong, puding pun sama.
Mas Lian pun melahap pudingnya. Begitu juga denganku yang sudah menghabiskan sepotong bolu.
Mereka tersenyum lebar, aku minum seteguk air putih yang ada di meja. Namun, tiba-tiba saja mata terlihat kunang-kunang. Bayangan Arumi dan mamanya seperti terpecah jadi banyak.
"Are you oke, Aya?" Aku masih mendengar suara Arumi bertanya. Namun mata ini sudah tak kuat menatap wajahnya.
***
"Aku ketiduran? Kenapa sekarang ada di kamar? Arumi dan mamanya ke mana? Mas Lian juga nggak ada di kamar." Aku turun dari ranjang. Lalu melangkah keluar sambil mencari keberadaan mereka.
Kaki ini berhenti melangkah, karena melihat mamanya Arumi tengah berdiri di depan pintu kamar tamu. Aku coba menghampirinya karena heran melihat Mama Asri tengah menempelkan telinganya di depan pintu sambil senyum sendirian.
'Ngapain Mama Asri di depan pintu dengan menempelkan telinga? Lalu, Arumi dan Mas Lian ke mana?' Pertanyaan muncul seketika di batin ini.
Bersambung
"Ya sudah, bagaimana jika kita buktikan ke dokter saja," ajak Mas Lian. "Oke, kalau pemeriksaan terbukti bahwa kamu mendapatkan obat perangsang, aku takkan mau melanjutkan pernikahan kita Mas." Sebuah tantangan yang mengejutkan, mata Mas Lian terbuka lebar."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan semalam, Aya. Kenapa kamu tidak memahami itu? Seharusnya kamu mengerti dengan kondisi ini." Aku tahu ini bukan kehendaknya. Rasanya jijik jika harus berhubungan lagi dengan pria yang sudah menyetubuhi perempuan lain. Meskipun dalam kondisi tidak sadar.Akhirnya kami bergegas ke rumah sakit. Keaslian sudah mendapatkan izin dari atasannya. Ini semua demi menjelaskan dan membuktikan padaku."Sebenarnya tidak habis pikir, hanya nila setitik kamu harus mengorbankan rumah tangga yang telah lama kita bina." Mas Lian bicara sambil mengendalikan mobil.Sementara aku, yang duduk di sebelahnya hanya menoleh, menatap Mas Lian yang tengah mengendalikan mobilnya."Aku nggak tahu, Mas. Rasanya nggak kuat teru
"Aku nggak tahu, Ay. Tiba-tiba saja saat aku menunggumu di sini ada yang menyekap aku. Mendadak dan cepat sekali kejadiannya," terang Mas Lian.Aku sedikit kecewa. Mata ini berair ketika ia bicara seperti itu."Tiba-tiba kamu tengah tidur berdua dengan Mita, Mas? Bagaimana bisa aku percaya kalau itu bohong atau rekayasa?" Ada ditekan aku bicara kepadanya.Mas Lian memang tidak pernah berbohong, kenyataan juga telah membuktikan bahwa ia sering ditipu oleh orang. Lantas jika ia mengakui bahwa foto itu tengah melakukan hubungan suami istri aku mau bilang apa?"Aku juga nggak tahu soal itu, Ay, tolong jangan cecar aku. Bolehkah kita berpikir dulu, jujur aja aku shock," timpal Mas Lian."Tadi cukup lama Mas, tapi antara hilangnya kamu dengan foto tersebut itu hanya berbeda kisaran hitungan menit, kalau boleh tahu kamu itu berada di mana?" tanyaku padanya.Mas Lian terdiam ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Aku nggak tahu, aku pusing!" Suamiku mengeluh dan memegang kepalanya
Foto itu ternyata Mas Lian dengan Mita, mereka datang tidur berdua setengah telanjang. Aku terkesiap melihatnya, berkali-kali mata ini aku tapi tidak berubah fotonya. Ini foto asli bukan settingan. Sebab di bawahnya ada foto Mili tengah selfie diantara keduanya. Mily adalah anak yang diberitakan buah cinta dari Mas Lian dan Mita.Aku menghela napas kasar. Berusaha tenang tapi aku rasa tidak perlu. Ini kedua kalinya gosip itu merebak. Tentu bukan bohong namanya jika terjadi dua kali. Aku rasa ini pun bukan settingan, sebab anak itu tengah berfoto di antara keduanya yang berpuasa tiduran telentang dan atasnya tanpa busana.Kenapa mereka tega melakukan itu di depan Mili? Setidaknya jaga sikap di hadapan anak kecil. Anak sekarang sudah begitu pintar, meskipun usianya tergolong balita, tapi menggunakan ponsel tentu sudah sangat lihai."Di mana rumah orang itu? Wanita yang tengah tidur bersama suamiku?" Aku bicara sendirian dan bertanya pada diri sendiri.Aku beranjak dari duduk, Kemudian A
Aku jadi menyesal karena sudah merajuk darinya. Seharusnya tadi aku bicarakan ini baik-baik jangan seperti anak kecil. Sekarang aku sendiri tidak mengetahui keberadaan Mas Lian.Aku duduk sambil bersandar dan berpikir jernih. Mencari kontak yang bisa dihubungi, siapa tahu Mas Lian pergi ke rumahnya tanpa pamit.Aku tidak memiliki kontak Indri, salah satu teman kantor yang tadi sempat ada di foto. "Bagaimana caranya aku menghubungi Indri?" Aku bicara sendirian sambil mengetukkan jari ke samping sofa. Bibir ini aku gigit seraya cemas memikirkannya. Namun tiba-tiba ada suara orang memberi salam, aku segera membukakan pintu.Setelah membuka pintu lebar-lebar, ternyata Arumi yang datang. Aku mengenyitkan dahi ketika melihat wanita yang pernah mencoba memporak-porandakan rumah tanggaku datang. 'Nyalinya besar juga sampai nekat ke sini di saat aku dan Mas Lian lagi genting,' batinku menggerutu."Aya, kamu baik-baik aja, kan?" Wanita itu perhatian sekali padaku. Sampai rela datang ke rumah da
"Ulah siapa, Mas?" tanyaku mendesak. Iya terlihat santai dan membasahi bibirnya."Siapa lagi kalau bukan Arumi," jawab Mas Lian. Matanya pun menyorot ke arahku, dengan pandangan menyipit.Aku terkejut mendengarnya, bukan karena nama Arumi yang menjadi tersangka, justru aku kesal dibuatnya karena ternyata sejauh itu hubungan Mas Lian dan Arumi.Sejauh ini aku pikir kami berteman wajar-wajar saja, Mas Lian juga dengan Arumi pikirku saling komunikasi biasa dan mereka tidak terlalu intens. Namun ternyata Arumi tahu cuti suamiku segala, apakah itu tidak mengerikan?"Tadi Arumi justru meyakinkan aku katanya kamu itu nggak mungkin foto dengan wanita lain," sambungku lagi."Bisa aja Arumi pura-pura baik depan kamu, kan sering begitu," sanggah Mas Lian justru berburuk sangka. Jadi apakah kami salah paham? Atau sebenarnya Mas Lian menutupi sesuatu?Aku terdiam lagi masih memikir dua kali apa yang dikatakan Mas Lian. Teringat pengalaman temanku juga, suaminya berselingkuh, selalu saja cari alasa
Aku menelan ludah, mengatur napas yang sesak di dada supaya lancar kembali."Kamu nggak dengar apa yang tadi aku ucapkan? Pergi dari sini, atau kamu aku teriakin maling!" Mataku memerah saat mengatakan itu padanya. Wanita itu menggendong anaknya, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya."Ini foto saya dan suamimu, Aya! Permisi!" Wanita yang mengaku bernama Mita itu melempar sebuah amplop coklat ke wajah ini. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan rumahku.Aku duduk kembali di atas sofa, napas ini masih tak beraturan desahannya. Aku benar-benar shock dengan cerita wanita tadi, dan kini di tanganku ada amplop coklat yang katanya berisi foto mereka.Aku menenangkan diri dulu, setelah itu, barulah menghela nafas dalam-dalam."Aku buka atau buang aja?" Aku meragukan tindakan yang nyaris membuka amplop.Kemudian, tangan ini meletakkan kembali di atas meja, "Ah, nggak dibuka penasaran, dibuka takut sakit hati," ucapku sekali lagi.Bertahun-tahun aku berumah tangga, baru