Aku coba sapa tamu yang tengah berdiri itu. Mama Asri terkesiap melihat kedatanganku.
"Kenapa kaget begitu, Mah?" Aku sudah menganggap dirinya sebagai mama sendiri, sama hal nya Arumi, ia pun sudah anggap mamaku seperti ibunya sendiri.
"Kamu udah bangun, Ay? Kayaknya tadi kamu kelelahan, jadi ketiduran."
"Kok bisa ada di kamar ya, Mah? Apa Mas Lian yang pindahin?" Matanya berkeliling ke semua sudut ruangan.
"Tadi Lian yang pindahin," jawab Mama Asri. Aku pun menganggukkan kepala sambil melirik ke arah pintu. Mama terlihat memegang handle seraya tengah berjaga-jaga.
Raya Emilia, nama lengkapku, memiliki panggilan kesayangan yaitu Aya.
Aku berdecak kesal sambil menautkan kedua alis. Kemudian, mencoba masuk ke dalam kamar yang dihalangi oleh Mama Asri.
"Jangan masuk, Ay!"
Aku keheranan dengan menunjukkan mimik wajah yang bingung.
"Kenapa, Mah?"
"Arumi lagi ...." Potongan kata-kata Mama Asri membuat aku tak sabaran.
Akhirnya aku langsung menepis bahunya dengan kasar, perasaanku kini berkecamuk tak karuan.
Mama Asri minggir, aku pun dengan segera masuk ke dalam dan sangat mengejutkan sekali melihat pemandangan yang memuakkan terlihat di depan mata ini. Seorang wanita yang kuanggap saudara tengah tertidur di atas ranjang bersama suamiku dalam kondisi tidak memakai sehelai benang pun.
"Bangun! Bangun kalian!" Aku berteriak tidak sabaran. Saat itu, Mas Lian belum membuka matanya, sedangkan Arumi, ia langsung terduduk di atas ranjang.
"Eh Aya!" Arumi duduk dan menutupi belahan dadanya dengan menggunakan selimut tebal berwarna putih. "Mas, bangun, istrimu datang!" seru Arumi sambil menepuk suamiku, Lian.
Sakit rasanya melihat pemandangan yang memilukan, miris dengan kelakuan mereka berdua. Hati ini hancur bak disayat dengan pisau tajam. Luka, ini adalah kali pertamanya sahabat dan suamiku menorehkannya.
Mas Lian tampak mengusap matanya. Ia pun terkejut melihat kedatanganku. Mas Lian bangkit dari tidurnya dan kini posisinya duduk tegak di sebelah Arumi. Tangannya membuka selimut dan matanya melihat ke arah bawah.
"Kenapa aku tidak pakai apa-apa?" Mas Lian mulai panik. Bagaimana bisa ia bicara seperti itu? Apa Mas Lian memang pandai bersandiwara?
Aku menghela napas kasar, mengepal telapak tangan, lalu menghentakkan kaki ke arahnya. Kubuka selimut tebal yang menutup sebagian tubuh mereka. Mataku tak berkedip saat menyaksikan sendiri keduanya polos tanpa kain.
Kemudian, aku tutup kembali selimutnya, lalu melempar baju keduanya. Mas Lian langsung memakai celana dan baju. Sedangkan Arumi, ia masih duduk menunggu selimutnya dilepaskan Mas Lian, setelah itu wanita bermata cokelat itu turun dengan ditutup selimut, ia ke arah toilet kamar tamu mendekap bajunya.
Tepat di hadapanku Arumi berhenti berpijak. "Maaf, aku mencintai suamimu," bisik Arumi. Jantungku seakan berhenti berdetak, dunia terasa tak lagi berputar. Tubuh ini tiba-tiba membeku setelah mendengar ucapan sahabatku itu.
Arumi berlalu pergi sambil menyenggol bahu ini pelan. Sedangkan Mas Lian, sekarang ia yang meraih pergelangan tangan ini.
"Tatap mataku, Aya," suruhnya. Namun, aku tidak sudi mengindahkan perintahnya. "Ay, aku tidak melakukan apa-apa, demi, demi apa pun aku akan ucapkan," lirihnya.
Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak mungkin jika mereka tidur berdua lalu tak melakukan apa-apa di kamar ini.
"Ada bukti nggak kalau kamu tidak melakukannya?" tanyaku dengan dagu terangkat.
"Ay, aku tadi tidur, sungguh, aku sangat mencintaimu, tidak mungkin mengotori rumah tangga kita dengan cara kotor seperti ini, di rumah sendiri pula," sanggahnya.
Aku mengangguk sambil menelan ludah. Aku sadar, semua orang berhak membela dirinya, tapi aku sudah memergokinya, kenapa ia tidak mengakuinya?
"Mah, Mama Asri tadi di mana? Apa Mama melihat kami melakukan hubungan suami istri? Nggak, kan, Mah? Kami hanya ketiduran, kan?" Mas Lian mengharapkan pembelaan dari Mama Asri.
"Hm, tadi Mama di depan, mau masuk ke dalam sepertinya kalian tengah menikmatinya," jelas sang mama memberikan kesaksiannya.
"Apa-apaan ini, Mah? Aku tidur, dan tidak menyentuh Arumi!" tekan Mas Lian. Kali ini ia bicara dengan menaikkan nada bicaranya.
Dari mimik wajah Mas Lian, tampaknya ia sungguh-sungguh mengatakannya. Apa ini cara Arumi? Sekelebat aku memutar memori dimana status ancaman Arumi di sosial media.
"Ay, tolong percaya denganku, kita bisa buktikan dengan cek ke dokter, apa ada sperm4 yang keluar dalam waktu dekat ini, di ranjang juga tidak ada bekasnya, Ay, lihat sana ke sprei kita!" suruhnya. Apa yang dipaparkan Mas Lian ada benarnya, kalau memang mereka melakukan hal kotor, tentu ada sisa-sisa cairan itu.
Aku berjalan ke sprei namun suara pintu pun berbunyi, Arumi sudah keluar dari kamar mandi, ia melangkah perlahan sambil membawa sesuatu dalam genggaman.
"Tunggu! Nggak usah cari bukti, ini di tanganku ada bukti yang lebih menyudutkan Mas Lian telah menodaiku," tutur Arumi membuatku berhenti melangkah ke arah ranjang untuk melihat sprei.
Bersambung
"Ya sudah, bagaimana jika kita buktikan ke dokter saja," ajak Mas Lian. "Oke, kalau pemeriksaan terbukti bahwa kamu mendapatkan obat perangsang, aku takkan mau melanjutkan pernikahan kita Mas." Sebuah tantangan yang mengejutkan, mata Mas Lian terbuka lebar."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan semalam, Aya. Kenapa kamu tidak memahami itu? Seharusnya kamu mengerti dengan kondisi ini." Aku tahu ini bukan kehendaknya. Rasanya jijik jika harus berhubungan lagi dengan pria yang sudah menyetubuhi perempuan lain. Meskipun dalam kondisi tidak sadar.Akhirnya kami bergegas ke rumah sakit. Keaslian sudah mendapatkan izin dari atasannya. Ini semua demi menjelaskan dan membuktikan padaku."Sebenarnya tidak habis pikir, hanya nila setitik kamu harus mengorbankan rumah tangga yang telah lama kita bina." Mas Lian bicara sambil mengendalikan mobil.Sementara aku, yang duduk di sebelahnya hanya menoleh, menatap Mas Lian yang tengah mengendalikan mobilnya."Aku nggak tahu, Mas. Rasanya nggak kuat teru
"Aku nggak tahu, Ay. Tiba-tiba saja saat aku menunggumu di sini ada yang menyekap aku. Mendadak dan cepat sekali kejadiannya," terang Mas Lian.Aku sedikit kecewa. Mata ini berair ketika ia bicara seperti itu."Tiba-tiba kamu tengah tidur berdua dengan Mita, Mas? Bagaimana bisa aku percaya kalau itu bohong atau rekayasa?" Ada ditekan aku bicara kepadanya.Mas Lian memang tidak pernah berbohong, kenyataan juga telah membuktikan bahwa ia sering ditipu oleh orang. Lantas jika ia mengakui bahwa foto itu tengah melakukan hubungan suami istri aku mau bilang apa?"Aku juga nggak tahu soal itu, Ay, tolong jangan cecar aku. Bolehkah kita berpikir dulu, jujur aja aku shock," timpal Mas Lian."Tadi cukup lama Mas, tapi antara hilangnya kamu dengan foto tersebut itu hanya berbeda kisaran hitungan menit, kalau boleh tahu kamu itu berada di mana?" tanyaku padanya.Mas Lian terdiam ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Aku nggak tahu, aku pusing!" Suamiku mengeluh dan memegang kepalanya
Foto itu ternyata Mas Lian dengan Mita, mereka datang tidur berdua setengah telanjang. Aku terkesiap melihatnya, berkali-kali mata ini aku tapi tidak berubah fotonya. Ini foto asli bukan settingan. Sebab di bawahnya ada foto Mili tengah selfie diantara keduanya. Mily adalah anak yang diberitakan buah cinta dari Mas Lian dan Mita.Aku menghela napas kasar. Berusaha tenang tapi aku rasa tidak perlu. Ini kedua kalinya gosip itu merebak. Tentu bukan bohong namanya jika terjadi dua kali. Aku rasa ini pun bukan settingan, sebab anak itu tengah berfoto di antara keduanya yang berpuasa tiduran telentang dan atasnya tanpa busana.Kenapa mereka tega melakukan itu di depan Mili? Setidaknya jaga sikap di hadapan anak kecil. Anak sekarang sudah begitu pintar, meskipun usianya tergolong balita, tapi menggunakan ponsel tentu sudah sangat lihai."Di mana rumah orang itu? Wanita yang tengah tidur bersama suamiku?" Aku bicara sendirian dan bertanya pada diri sendiri.Aku beranjak dari duduk, Kemudian A
Aku jadi menyesal karena sudah merajuk darinya. Seharusnya tadi aku bicarakan ini baik-baik jangan seperti anak kecil. Sekarang aku sendiri tidak mengetahui keberadaan Mas Lian.Aku duduk sambil bersandar dan berpikir jernih. Mencari kontak yang bisa dihubungi, siapa tahu Mas Lian pergi ke rumahnya tanpa pamit.Aku tidak memiliki kontak Indri, salah satu teman kantor yang tadi sempat ada di foto. "Bagaimana caranya aku menghubungi Indri?" Aku bicara sendirian sambil mengetukkan jari ke samping sofa. Bibir ini aku gigit seraya cemas memikirkannya. Namun tiba-tiba ada suara orang memberi salam, aku segera membukakan pintu.Setelah membuka pintu lebar-lebar, ternyata Arumi yang datang. Aku mengenyitkan dahi ketika melihat wanita yang pernah mencoba memporak-porandakan rumah tanggaku datang. 'Nyalinya besar juga sampai nekat ke sini di saat aku dan Mas Lian lagi genting,' batinku menggerutu."Aya, kamu baik-baik aja, kan?" Wanita itu perhatian sekali padaku. Sampai rela datang ke rumah da
"Ulah siapa, Mas?" tanyaku mendesak. Iya terlihat santai dan membasahi bibirnya."Siapa lagi kalau bukan Arumi," jawab Mas Lian. Matanya pun menyorot ke arahku, dengan pandangan menyipit.Aku terkejut mendengarnya, bukan karena nama Arumi yang menjadi tersangka, justru aku kesal dibuatnya karena ternyata sejauh itu hubungan Mas Lian dan Arumi.Sejauh ini aku pikir kami berteman wajar-wajar saja, Mas Lian juga dengan Arumi pikirku saling komunikasi biasa dan mereka tidak terlalu intens. Namun ternyata Arumi tahu cuti suamiku segala, apakah itu tidak mengerikan?"Tadi Arumi justru meyakinkan aku katanya kamu itu nggak mungkin foto dengan wanita lain," sambungku lagi."Bisa aja Arumi pura-pura baik depan kamu, kan sering begitu," sanggah Mas Lian justru berburuk sangka. Jadi apakah kami salah paham? Atau sebenarnya Mas Lian menutupi sesuatu?Aku terdiam lagi masih memikir dua kali apa yang dikatakan Mas Lian. Teringat pengalaman temanku juga, suaminya berselingkuh, selalu saja cari alasa
Aku menelan ludah, mengatur napas yang sesak di dada supaya lancar kembali."Kamu nggak dengar apa yang tadi aku ucapkan? Pergi dari sini, atau kamu aku teriakin maling!" Mataku memerah saat mengatakan itu padanya. Wanita itu menggendong anaknya, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya."Ini foto saya dan suamimu, Aya! Permisi!" Wanita yang mengaku bernama Mita itu melempar sebuah amplop coklat ke wajah ini. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan rumahku.Aku duduk kembali di atas sofa, napas ini masih tak beraturan desahannya. Aku benar-benar shock dengan cerita wanita tadi, dan kini di tanganku ada amplop coklat yang katanya berisi foto mereka.Aku menenangkan diri dulu, setelah itu, barulah menghela nafas dalam-dalam."Aku buka atau buang aja?" Aku meragukan tindakan yang nyaris membuka amplop.Kemudian, tangan ini meletakkan kembali di atas meja, "Ah, nggak dibuka penasaran, dibuka takut sakit hati," ucapku sekali lagi.Bertahun-tahun aku berumah tangga, baru