Share

Bab 2

Aku coba sapa tamu yang tengah berdiri itu. Mama Asri terkesiap melihat kedatanganku. 

"Kenapa kaget begitu, Mah?" Aku sudah menganggap dirinya sebagai mama sendiri, sama hal nya Arumi, ia pun sudah anggap mamaku seperti ibunya sendiri.

"Kamu udah bangun, Ay? Kayaknya tadi kamu kelelahan, jadi ketiduran."

"Kok bisa ada di kamar ya, Mah? Apa Mas Lian yang pindahin?" Matanya berkeliling ke semua sudut ruangan. 

"Tadi Lian yang pindahin," jawab Mama Asri. Aku pun menganggukkan kepala sambil melirik ke arah pintu. Mama terlihat memegang handle seraya tengah berjaga-jaga. 

Raya Emilia, nama lengkapku, memiliki panggilan kesayangan yaitu Aya. 

Aku berdecak kesal sambil menautkan kedua alis. Kemudian, mencoba masuk ke dalam kamar yang dihalangi oleh Mama Asri. 

"Jangan masuk, Ay!" 

Aku keheranan dengan menunjukkan mimik wajah yang bingung. 

"Kenapa, Mah?"

"Arumi lagi ...." Potongan kata-kata Mama Asri membuat aku tak sabaran. 

Akhirnya aku langsung menepis bahunya dengan kasar, perasaanku kini berkecamuk tak karuan. 

Mama Asri minggir, aku pun dengan segera masuk ke dalam dan sangat mengejutkan sekali melihat pemandangan yang memuakkan terlihat di depan mata ini. Seorang wanita yang kuanggap saudara tengah tertidur di atas ranjang bersama suamiku dalam kondisi tidak memakai sehelai benang pun. 

"Bangun! Bangun kalian!" Aku berteriak tidak sabaran. Saat itu, Mas Lian belum membuka matanya, sedangkan Arumi, ia langsung terduduk di atas ranjang. 

"Eh Aya!" Arumi duduk dan menutupi belahan dadanya dengan menggunakan selimut tebal berwarna putih. "Mas, bangun, istrimu datang!" seru Arumi sambil menepuk suamiku, Lian. 

Sakit rasanya melihat pemandangan yang memilukan, miris dengan kelakuan mereka berdua. Hati ini hancur bak disayat dengan pisau tajam. Luka, ini adalah kali pertamanya sahabat dan suamiku menorehkannya. 

Mas Lian tampak mengusap matanya. Ia pun terkejut melihat kedatanganku. Mas Lian bangkit dari tidurnya dan kini posisinya duduk tegak di sebelah Arumi. Tangannya membuka selimut dan matanya melihat ke arah bawah. 

"Kenapa aku tidak pakai apa-apa?" Mas Lian mulai panik. Bagaimana bisa ia bicara seperti itu? Apa Mas Lian memang pandai bersandiwara? 

Aku menghela napas kasar, mengepal telapak tangan, lalu menghentakkan kaki ke arahnya. Kubuka selimut tebal yang menutup sebagian tubuh mereka. Mataku tak berkedip saat menyaksikan sendiri keduanya polos tanpa kain. 

Kemudian, aku tutup kembali selimutnya, lalu melempar baju keduanya. Mas Lian langsung memakai celana dan baju. Sedangkan Arumi, ia masih duduk menunggu selimutnya dilepaskan Mas Lian, setelah itu wanita bermata cokelat itu turun dengan ditutup selimut, ia ke arah toilet kamar tamu mendekap bajunya. 

Tepat di hadapanku Arumi berhenti berpijak. "Maaf, aku mencintai suamimu," bisik Arumi. Jantungku seakan berhenti berdetak, dunia terasa tak lagi berputar. Tubuh ini tiba-tiba membeku setelah mendengar ucapan sahabatku itu. 

Arumi berlalu pergi sambil menyenggol bahu ini pelan. Sedangkan Mas Lian, sekarang ia yang meraih pergelangan tangan ini. 

"Tatap mataku, Aya," suruhnya. Namun, aku tidak sudi mengindahkan perintahnya. "Ay, aku tidak melakukan apa-apa, demi, demi apa pun aku akan ucapkan," lirihnya. 

Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak mungkin jika mereka tidur berdua lalu tak melakukan apa-apa di kamar ini. 

"Ada bukti nggak kalau kamu tidak melakukannya?" tanyaku dengan dagu terangkat. 

"Ay, aku tadi tidur, sungguh, aku sangat mencintaimu, tidak mungkin mengotori rumah tangga kita dengan cara kotor seperti ini, di rumah sendiri pula," sanggahnya. 

Aku mengangguk sambil menelan ludah. Aku sadar, semua orang berhak membela dirinya, tapi aku sudah memergokinya, kenapa ia tidak mengakuinya? 

"Mah, Mama Asri tadi di mana? Apa Mama melihat kami melakukan hubungan suami istri? Nggak, kan, Mah? Kami hanya ketiduran, kan?" Mas Lian mengharapkan pembelaan dari Mama Asri. 

"Hm, tadi Mama di depan, mau masuk ke dalam sepertinya kalian tengah menikmatinya," jelas sang mama memberikan kesaksiannya. 

"Apa-apaan ini, Mah? Aku tidur, dan tidak menyentuh Arumi!" tekan Mas Lian. Kali ini ia bicara dengan menaikkan nada bicaranya. 

Dari mimik wajah Mas Lian, tampaknya ia sungguh-sungguh mengatakannya. Apa ini cara Arumi? Sekelebat aku memutar memori dimana status ancaman Arumi di sosial media. 

"Ay, tolong percaya denganku, kita bisa buktikan dengan cek ke dokter, apa ada sperm4 yang keluar dalam waktu dekat ini, di ranjang juga tidak ada bekasnya, Ay, lihat sana ke sprei kita!" suruhnya. Apa yang dipaparkan Mas Lian ada benarnya, kalau memang mereka melakukan hal kotor, tentu ada sisa-sisa cairan itu. 

Aku berjalan ke sprei namun suara pintu pun berbunyi, Arumi sudah keluar dari kamar mandi, ia melangkah perlahan sambil membawa sesuatu dalam genggaman. 

"Tunggu! Nggak usah cari bukti, ini di tanganku ada bukti yang lebih menyudutkan Mas Lian telah menodaiku," tutur Arumi membuatku berhenti melangkah ke arah ranjang untuk melihat sprei. 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status