Selena memberikan amplop dari HRD tadi kepada Tuan Collins. "Ini dari buk HRD, Tuan," ucapnya menarik cepat tangannya. Kemudian tertunduk dengan meremas telapak tangannya gelisah, menahan rasa gugupnya.Sejenak Tuan Collins mendesah kasar sebelum membuka amplop."Selena, aku meminta maaf kepadamu," ujar Tuan Collins merobek sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas. Kemudian menarik napasnya dalam-dalam.Selena yang gugup menenggak liurnya, mengangguk cepat. Dalam hati sangat tidak nyaman mendengar Tuan Collins sampai meminta maaf. Kini pikirannya dengan isi amplop itu surat pemecatannya seolah benar. "B-baik, Tuan," sahut Selena kini meremas ujung baju seragam kerjanya. Ia hanya pasrah segala kemungkinan di pecat. Percuma juga memohon-mohon, Aditya bahkan tidak memberi kesempatan untuknya membela diri."Tapi sebelum kamu menandatangani surat pemecatan dirimu ini, aku ingin bertanya satu hal, Selena."GLEKKMenandatangani surat pemecatan? Wajahnya langsung memutih. 'J-jadi aku
Hahk!Kenapa dia? Siapa yang membujuk? Apa dia begitu bodoh sampai tidak tahu membedakannya?Percuma juga mengomel-omel sendiri. Meski sangat kesal, tapi Selena tetap butuh tahu.'Pak Aditya terhormat, saya bertanya bukan membujuk Anda kembali menarik keputusan tepat Anda itu. Harusnya saya bersyukur, kini terbebas dari Pimpinan kejam seperti Anda. Sekretaris.'Selena tertawa senang. Bisa membayangkan wajah Aditya yang merah padam menahan amarahnya mungkin.Namun, tawanya segera terhenti melihat panggilan masuk dari Aditya.Gantian wajahnya yang merah padam sekarang."Bagaimana ini?" gumamnya tidak berani mengangkatnya.Ia juga tidak mau Aditya sampai mengenalinya dari suara. Berkali-kali panggilan dari Aditya hanya diabaikannya saja. Sesaat setelahnya denting notif pesan pun masuk menyentakkan Selena, gegas membukanya.'Wanita rendahan sepertimu memang tidak bisa menghargai orang lain! Sama seperti buket bunga pemberian ku itu! Aditya.'Selena menelan liurnya. Baru sadar dengan buket
"A-aku sudah mendengarnya, Kek."Dalam hati mengumpat Tuan Collins yang sengaja mengungkit kecerobohannya di perusahaan Collins.Aditya terlalu gugup harus mengakuinya bukan hasil kerja keras Tuan Collins. "Apalagi yang kamu pikirkan? Tidakkah itu satu ketakutan bagimu, karena secepatnya aku menarik semua perusahaan darimu, Aditya?"Aditya menenggak liur. Bukan waktu yang tepat berdebat dengan Tuan Collins. Sadar telah melakukan kesalahan besar, dia pun hanya bisa mengiyakan.Sekarang Aditya butuh tahu siapa yang membantu Tuan Collins menaikkan perusahaan dalam waktu singkat. Seenggaknya dia bisa meminta bantuannya.Tapi bertanya langsung kepada Tuan Collins hanya akan membuatnya jadi bulan-bulanan sang Kakek."Benar, Kek. Beri aku waktu untuk menunjukkannya." Giginya mengerat tidak yakin."Apa yang telah kamu lakukan, sampai dalam sebulan bisa merosot begitu, hakh?""Maafkan aku, Kek. Ini imbas dari pemutusan kerjasama beberapa mitra bisnis.""Hhh, berapa waktu yang kamu butuhkan,
"Aditya? Kenapa dia meneleponku?" Tangannya gemetaran. Membiarkan ponselnya terlepas begitu saja dari genggaman tangannya. Selang berapa detik, wajahnya ikut memutih seolah darah berhenti mengalir di sana. Mulutnya masih menganga belum terlepas dari kagetnya.Beberapa menit hanya begitu, hingga di menit kesekian ia tersentak oleh denting notif pesan masuk di ponselnya."Apa Aditya sudah tahu aku di sini?" desisnya takut-takut membuka ponselnya. Benar pesan dari Aditya. Baru hendak membukanya, tiba-tiba perutnya terasa kram hebat. Sampai-sampai Selena harus membungkuk untuk mengurangi rasa kramnya. Selena kembali meletakkan ponselnya. Fokus menenangkan rasa sakitnya.Selena coba melatih pernapasan dengan menarik napas panjang, kemudian membuangnya dari mulut. Setelah melakukan berkali-kali namun tidak makin membaik. Sekarang pergerakan janinnya makin aktif di dalam sana."Ahh, kenapa tiba-tiba begini? Perasaan tadi baik-baik saja," keluhnya melonggarkan karet pinggang celana
Tak ingin pak Anggara berlama-lama lagi di sana. Telinganya juga panas dengar omelan-omelannya, buru-buru Selena meminta maaf."Maafkan kelalaian saya, Pak.""Lupakan saja. Saya cuma mau meneruskan perintah dari Tuan Collins. Kamu dengar baik-baik kalau bisa catat biar tak lupa. Jangan pula besok-besok ditanya lagi!"Selena mencebik kesal. Benar-benar dibuat sangat dongkol. Kalau bisa mengusirnya sudah dari tadi ia lakukan.Mana pinggang dan perutnya tak mendukung situasinya yang lagi kesal. Sial! Bergeser sedikit saja pinggangnya terasa mau patah saja, perut juga makin tak bisa diajak kompromi. Selena kepayahan bergeser hanya untuk meraih kertas dari sudut mejanya."Minggu pertama bulan depan kamu ada meeting dengan mitra bisnis Collins, menggantikan Tuan Collins dan saya di hall belakang perusahaan. Minggu kedua kamu ada pertemuan makan malam di restoran Collins. Minggu ketiga ..."Apa? Aku cuma sekretaris bukan pimpinan atau wakil pimpinan! Apa dia tidak bisa melihat keadaanku ya
"Riana?" Matanya menatap bergantian layar ponsel dan kotak di hadapannya.Mana mungkin Riana yang mengirimkannya, pikirnya tertawa kecil."Halo, Riana. Bagaimana kabarmu?" tanyanya basa-basi."Baik, kabar kamu gimana, Selena?""Baik juga. Oiya, kamu tidak sedang sibuk, Riana?" tanyanya. Cukup tahu di jam seperti itu, jam-jam sibuk pegawai di perusahaan Wiguna.Sekilas terdengar Riana mendesah berat. "Aku tidak bekerja di perusahaan Wiguna lagi." Suaranya tak bersemangat seperti menyimpan rasa kecewa."Lho, kenapa?" buru Selena kaget.Meski beberapa detik berikutnya, ia merasa tidak perlu mencemaskan Riana keluar dari perusahaan Wiguna. Riana tidak perlu takut hilang pekerjaan. Dia punya keluarga yang kaya raya, bahkan kakaknya Hendra mempunyai perusahaan.Tidak seperti dirinya, yang hanya akan menjadi gembel bila sampai hilang pekerjaan."Tuan Collins mengurangi pegawai di perusahaan Wiguna. Banyak yang di rumahkan, aku salah satunya.""Kenapa? Apa yang sudah terjadi di sana? Peras
Selena menghempas napas kasar. Matanya malas melirik kotak di samping lemari, bibirnya mengerucut tanda kesal."Kenapa harus aku yang mengerjakan semua ini? Bukankah ini tugas Aditya, pria bangsawan itu? Hahk! Ini sudah jadi tanggungjawabnya!" omel Selena beranjak dari duduknya. Mulai melepas lakban penutup kotak dengan sangat kasar. Mulutnya juga tidak berhenti mengomel mengeluarkan tumpukan map dari dalamnya.Selena mendesah berat membawa map-map tersebut ke mejanya. Terpaksa harus sibuk lagi guna memeriksa satu persatu isi map-nya."Dokumen keuangan perusahaan Adiguna Jaya? Sial! Tahu begini bawa laptop tadi."Selena terpaksa mengecek manual. Entah sudah berapa jam ia berkutat dengan tumpukan map tersebut."Kenapa bisa merosot begini?" Selena tidak berhenti melotot melihat grafik perkembangan perusahaan Aditya yang menurun drastis.Hingga larut malam Selena masih saja berkutat.Pikirnya, tak mungkin mengecewakan sang HRD yang telah banyak membantunya selama ini. Sampai ..."Ak
Diusir bak hewan pengganggu saja, Aditya terbelalak kaget. Wajahnya memerah merasa tak dihargai sang Kakek.Paman Grove paham raut wajah Aditya, menepuk pundaknya pelan. Guna menenangkannya yang masih tersulut emosi, sebelum mendorongnya keluar."Tutup pintunya, lalu duduk, Grove," titah Tuan Collins menatap lekat wajahnya.Pria yang kurang akrab dengan Tuan Collins tersebut mengangguk patuh."Katakan padaku, siapa gadis yang membuat Aditya hilang waras begitu?" Baru saja menghenyakkan duduknya, paman Grove berjengit kaget sampai berdiri, di beberapa detik kemudian kembali duduk. Matanya melotot tajam ke Tuan Collins. Setahun ini dia dan Aditya sudah berusaha menutupinya, tapi kenapa Tuan Collins tahu?"Gadis? Maksudnya, Tuan?" tanya paman Grove membuang tebakan pikirannya "Jangan berlagak pikun, Grove! Kalau masih butuh bekerja untuk Aditya!" kecam Tuan Collins langsung membuatnya tak berkutik.'Sial! Apa tadi Aditya sudah mengakuinya kepada Tuan Collins?' batin paman Grove bingu