"Pikir-pikir saja, Aditya."Dengan gusar, Aditya kembali menghampiri paman Grove. Berhenti setelah hampir tak berjarak. "Tak perlu pikir-pikir. Aku yakin Selena masih di kota ini, Paman. Maka aku akan terus mencarinya!"Paman Grove menggeleng-geleng. Susah memang menasehati orang yang sudah budak cinta."Serahkan saja ke orang-orang ku, Aditya. Kamu fokus ke perusahaan Wiguna, Tuan Collins ---""Apa aku bisa percaya orang-orang mu itu, Paman?" potong Aditya menggeram. "Waktu itu Paman meyakinkanku, kalau orang-orang mu itu segera menemukan Selena! Tapi apa?" Aditya membungkuk ke depan, menaikkan salah satu alisnya menatap paman Grove dengan tatapan mengejek. "Sampai sekarang ujung rambut Selena saja tidak mereka temukan!" Aditya mendengus kasar, wajahnya memerah meninggalkan paman Grove.Paman Grove meneguk liur. Bingung karena tidak biasa orang-orang nya kewalahan melakukan tugas darinya.Mengingat Selena hanya gadis polos. Tidak menyangka ia bisa sembunyi sehebat ini."Dasar ker
Saat-saat Selena tengah sibuk menyiapkan agenda meeting untuk besok pagi. Paman Grove yang baru mendapat kabar baik dari sang HRD, gegas menemui Aditya di rumahnya. "Aditya!" panggilnya mengetuk keras pintu kamar Aditya.Aditya yang tengah meratapi kecewanya, membuka pintu dengan malas. "Ada apa, Paman?" tanyanya tidak semangat."Ada berita baik, Aditya." Paman Grove langsung masuk mengabaikan wajah Aditya yang kusut.Aditya tidak tertarik bertanya. Baginya kabar baik itu cuma bertemu Selena.Paman Grove meneguk liur dengan menarik kedua sudut bibirnya. "Meeting perusahaan Wiguna bersama Tuan Collins sukses," ungkapnya tidak se-menggebu-gebu tadi. "Hhh, tidak saatnya bercanda, Paman," ujar Aditya kembali rebahan di sofa panjang, tangannya melipat rapi di dada. Jelas ia tidak percaya, baru tiga jam lalu Tuan Collins memarahi bahkan mengancam menarik perusahaan Wiguna darinya."Aku tidak bercanda, Aditya. HRD yang mengatakannya."Aditya langsung bangkit, menumpulkan pandangannya d
Selena coba tenangkan hatinya, berharap hanya salah mendengar nama perusahaan."Perusahaan Adiguna Jaya milik Tuan muda Aditya, kan, Tuan?" ulang sang Sopir memperjelas tujuan mereka."Eemm, ya!" Jelas Selena panik, matanya melotot ke depan. Tidak salah lagi tujuan jalan mereka memang ke perusahaan Aditya. Dadanya berdebar dengan napas memburu. Selena menggeser-geser duduknya gelisah.Apa tadi? Tuan Muda Aditya? A-apa mungkin sebutan 'tuan' umum untuk pria muda kaya? Selena tak henti-henti berperang dengan pikirannya.Sekarang, bagaimanapun Aditya tidak boleh melihatnya. Otaknya cerdasnya langsung bekerja keras, tapi ... saking takut dan gugup, ia tidak bisa berpikir apapun.Sampai mobil berhenti di depan perusahaan Adiguna Jaya, Selena belum juga menemukan alasan menolak masuk ke perusahaan.''Bagaimana ini?" gumam Selena ketakutan, sampai-sampai tubuhnya bergetar. Selena menahan pintu mobil yang dibuka sang Sopir. Sialnya, niatnya mau menunggu di dalam mobil saja, tapi Tuan Col
Tak perduli sang Sopir melihatnya mendengus kesal. Pikirnya lebih baik mencari tahu sendiri saja nanti. Namun, Selena cepat-cepat mengubah ekspresi kesalnya ketika Tuan Collins masuk ke mobil."Selena, kamu sudah izin dengan orangtuamu sebelumnya?" tanya Tuan Collins tanpa basa-basi.Selena hanya melongo, bingung maksud pertanyaan Tuan Collins. Izin untuk apa maksudnya?Mendengar tidak ada sahutan, Tuan Collins memutar badan ke belakang. Pria tua itu menaikkan kedua alisnya seolah memintanya segera menjawab.Selena menenggak liur sebelum menjawab dengan balas bertanya, "Maksudnya izin apa, Pak?" Selena langsung gugup saat bertatapan langsung dengan sang Pimpinan. Ia menundukkan kepala. "Ahh, maksud saya itu ... kebetulan Aditya tidak ada di sini, jadi rencananya besok pagi saja kita pulang. Bagaimana, Selena? Apa kamu setuju, atau mungkin bisa segera mengabari keluargamu?" Maksudnya menunggu Aditya datang ke sana? Memangnya kemana dia? Apa tadi, keluarga? 'Hahaa ... aku hidup seb
Riana menaikkan alisnya kesal. "Iya, Tuan Collins lah! Kalian meeting di perusahaan Adiguna Jaya kemarin, 'kan?" katanya sedikit ketus merasa Selena cuma berpura-pura.Berbeda dengan Selena yang makin kebingungan, entah siapa yang dimaksud orang-orang di perusahaan Wiguna. Mereka selalu membicarakan seseorang yang membuatnya bingung.Coba lagi memutar ingatannya namun benar tidak tahu siapa Tuan Collins.Mungkin Tuan Collins rekan kerjasama perusahaan Wiguna dan Adiguna Jaya, pikirnya menebak-nebak.Tapi, karena tidak jadi meeting kemarin, iapun tidak bertemu dengan rekan-rekan kerjasama perusahaan. "Meeting di perusahaan Adiguna Jaya di tunda. Jadi, aku tidak bertemu dengan Tuan Coll---""Selena!" Sang HRD memanggil, lantas obrolan mereka terhenti."Bentar aku di panggil," katanya menepuk pundak Riana. Ditanggapi Riana dengan mengedikkan bahu.Selena gegas menemui sang HRD di ruangan. "Saya, Buk.""Kamu bawa berkas meeting kemarin, Selena?" Selena mengangguk meletakkan map di pelu
Saat terbangun ia sudah berada di klinik. Sejenak mengerjapkan mata untuk menyegarkan ingatannya. Terakhir yang ia ingat menemukan buket bunga di meja kerjanya.Namun, aneh saja kalau buket bunga itu membuatnya tidak ingat apa-apa. Atau ..."Apa ada masalah dengan kehamilanku ini?" gumam Selena meneguk liur.Menoleh lemah ke samping di mana Riana berdiri. Rasa takut tiba-tiba menyerang, takut kalau sampai Riana tahu ia hamil. "Riana, apa yang terjadi padaku?" tanyanya memperhatikan wajah Riana dengan teliti.Pikiran-pikirannya tidak bisa lepas dari kehamilannya. Meski merasa perutnya baik-baik saja, tapi tetap saja gelisah."Kamu tiba-tiba pingsan di ruangan mu tadi. Untung Tuan ---" Riana menjeda ucapannya, menoleh cepat kepada dokter yang masuk. "Bagaimana keadaan teman saya, Dokter?"Mendengar itu mata Selena melebar. Itu artinya kabar kehamilannya masih aman dari Riana. Tapi ... bagaimana kalau dokter malah mau memberitahu sekarang?Ini tidak bisa, pokoknya harus bisa mengus
"Dari mana Ibu mendapatkan kertas ini?" tanyanya tegas. Tak perduli Ibu kos merasa dituduh mencuri.Namun, berbeda dengan Ibu kos menanggapinya dengan santai."Syukurlah itu milikmu, Selena. Ibu menemukannya di ruang tamu hari itu. Sudah bertanya ke semua penghuni kos, tapi tidak ada yang mengaku. Maka pas melihatmu tadi maka Ibu panggil," beber Ibu kos.Tadinya sempat gusar, sekarang malah sangat malu. Berarti semua penghuni kos akan tahu ia yang hamil?"Di ruang tamu rumah Ibu kos?" gumamnya coba mengingat-ingat kapan ia ke sana.Ahh, pasti pas ia membayar sewa kosnya hari itu. Ia tak sadar kertas itu terjatuh dari dompetnya.Sial! Lagi-lagi kamu ceroboh, Selena!"I-iya, Buk. Ini milikku," ucapnya gugup merasa sangat malu. Ibu kos menghela napas lega. "Syukurlah, sempat berpikir penghuni lain. Takut karena mereka belum bersuami, beda dengan kamu Selena yang sudah menikah."Tertampar dengan ucapan Ibu kos, Selena pura-pura senyum. Sepeninggalan Ibu kos ia tergesa masuk kamarnya.Di
Aditya mundur mengatur jarak dengan Tuan Collins. Tekadnya sudah bulat harus memecat sekretaris yang tak bisa menghargainya itu.Hukuman saja tidak bisa mengembalikan harga diri dan sakit hatinya."Sekretaris pribadiku itu, Kek. Aku tidak suka dengan kinerjanya."Tuan Collins menarik sudut bibirnya, kemudian menjentikkan jari ke Aditya mengikutinya keluar. Aditya mengikuti Tuan Collins masuk ke ruangan pribadi sang Kakek, duduk berseberangan meja."Apa tadi, Aditya Wiguna Genio?" tanya Tuan Collins melipat kedua tangannya di atas mejanya. Matanya menatap lekat wajah Aditya.Aditya tersentak, biasanya sang Kakek memanggil nama lengkapnya pas marah besar saja. Tapi ... apa alasan Kakek marah padaku? pikirnya."Sekretaris pribadiku itu, Kek. Aku tak suka dengan kinerjanya yang asal-asalan." Aditya mengulang ucapannya tadi."Kinerjanya yang mana yang tidak kamu suka, Aditya?" tanyanya. "Lagipula bukan soal suka tidak sukamu peraturan di perusahaan Wiguna ini!"Aditya tersudut, otaknya