Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”
Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.
“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.
Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.
“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.
Mendengar ucapannya justru mendatangkan gelak tawa dari Azura, “bukankah seharusnya aku yang mengatakan hal itu pada kalian? Kenapa kalian semua datang ke sini? Menjemput tamu kehormatan kami?”
Salah satu dari mereka melangkah mendekat, “kami tidak memiliki urusan denganmu. Menyingkirlah.” Tangannya terulur berniat menjauhkan Azura dari pintu masuk.
Seringai lebar ditunjukkan di wajah muda Azura, tidak ada ketakutan sedikitpun. Seakan dia menikmati semua ini. Satu kedipan mata, kepala orang yang berdiri di depannya seketika terpenggal dan jatuh begitu saja ke lantai. Satu orang tewas. Azura bahkan tidak menggerakkan tubuhnya seinci pun.
Mereka yang berdiri melihat temannya tewas, bergidik ngeri sekaligus tidak percaya. Namun mereka tetap tidak gentar dan justru menyiapkan senjata masing-masing, bersiap menyerang Azura secara bersamaan.
“Hebat sekali. Kalian tidak mundur sama sekali. Kalau begitu, sepertinya kalian siap mati malam ini,” Azura pun mengeluarkan belatinya membuat atmosfer di sekitarnya mulai berubah.
Secara bersamaan, mereka mulai menyerang Azura yang sendirian. Dengan kesenangan yang dirasakannya, Azura dengan kelincahannya menggunakan belatinya untuk memenggal kepala orang-orang yang mendekat padanya. Tidak ada keraguan dalam dirinya. Bahkan hanya dengan belati pendek, dia bisa menghabisi semua orang yang ada di hadapannya. Darah mulai berceceran di mana-mana, bahkan pakaian yang dikenakan Azura juga terdapat bercak darah.
“Kalian benar-benar bodoh, ya. Membuang nyawa kalian sendiri,” Azura terkekeh pelan sembari memainkan belati di tangannya. Pandangannya beralih menatap dua laki-laki tinggi yang berdiri di seberangnya.
“Kalian tidak menyerah? Kalian seumuran denganku, kan? Kenapa kalian tidak menyerah dan menikmati kehidupan damai kalian di desa?” Azura tersenyum ke arah mereka, menunggu mereka menjawab pertanyaan darinya.
Keduanya sama-sama menyiapkan pedang masing-masing. Tanpa berniat menjawab ataupun berucap, mereka bergerak dengan cepat ke arah Azura. Kecepatan dan kelincahan mereka bahkan sebanding dengan Azura.
“Bawa Putri keluar dari sini, Sad. Aku akan menahannya,” pekik laki-laki dengan rambut diikat di belakang kepalanya.
Azura menatap ke arah laki-laki bernama Sad yang mulai berlari menuju pintu kamar Putri Olivia. Azura masih menahan satu laki-laki lainnya, namun dia harus melakukan sesuatu sebelum Sad masuk ke dalam kamar. Dengan gerakan lincah, Azura mengambil belati dari balik jaketnya kemudian melemparnya ke arah Sad. Belati tersebut tepat mengenai leher kanannya dan menancap dalam di sana.
Sad pun tersungkur ke lantai sembari meringis kesakitan. Azura kembali fokus pada laki-laki di depannya, “kenapa kalian begitu bersikeras? Apa yang pangeran bodoh itu berikan pada kalian?”
Laki-laki di depannya menatapnya tidak suka, “orang luar jangan ikut campur.”
“Hm, begitu ya. Kalau begitu, kenapa kalian ingin membawa Putri dari sini? Kalian hanyalah orang luar, jadi jangan ikut campur,” Azura menyeringai sembari terus menghindari tebasan pedang dari laki-laki di depannya.
“Berisik! Kami lebih baik mati dibanding harus menyerah! Kami tidak sudi menjadi tawanan pangeran angkuhmu!” laki-laki itu menggerakkan pedangnya secara luas berusaha menjangkau Azura. Namun tidak ada satu tebasan pun yang mengenai Azura.
Azura menghentikan gerakannya. Dia tidak terima dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh laki-laki itu. Kalimat penghinaan yang ditujukan pada Pangeran Gavin membuat api tersulut di dalam hati Azura. Siapapun boleh menghinanya, namun tidak dengan Pangeran Gavin.
Di sisi lain, Sad tertatih-tatih berusaha mencapai pintu kamar Putri Olivia. Dia berhasil mencabut belati dari lehernya, namun darahnya masih mengalir. Dia dan rekan-rekanya mendapatkan misi untuk membawa kembali Putri Olivia sesuai dengan perintah Pangeran Louis. Namun siapa sangka, akan sesulit ini. Rekan-rekannya sudah tewas terpenggal. Kini tersisa dia dan satu rekannya yang sebentar lagi akan mengalami hal yang sama seperti yang lainnya.
“Argh!!!!” sebuah benang setajam pedang memotong kepala bahkan tangannya yang berusaha membuka pintu kamar. Tanpa bisa berbicara sepatah katapun, Sad tewas dengan kepala terpenggal seperti rekan-rekannya.
“Aku paling tidak suka ada yang menghina Pangeran Gavin. Kematian memang pantas untuk kalian semua,” Azura menggerakkan benang transparan miliknya dan dengan cepat memenggal laki-laki terakhir yang berdiri mematung di depannya.
20 orang tewas di tangan Azura. Darah mereka memenuhi koridor kerajaan. Bahkan mayat mereka tergeletak dimana-mana. Melihat mereka semua sudah tidak bernyawa, Azura tersenyum puas. Dengan langkah santai, dia kembali ke depan pintu kamar.
“Tidak bisakah kau menjaga lantainya tetap bersih?” Pangeran Gavin muncul dari balik bayangan dengan Maya dan Lucy yang berdiri di belakangnya.
Azura menoleh kemudian tersenyum riang, “pelayan akan membersihkan semuanya. Lagipula aku juga tidak bisa bersih-bersih.”
Pangeran Gavin berdecak kesal lantas mengalihkan pandangan menatap Lucy, “panggil beberapa prajurit dan juga bawakan gerobak ke sini.”
Lucy membungkuk, “baik, Pangeran.” Dengan langkah cepat, Lucy segera melakukan apa yang diperintahkan.
Pangeran Gavin mengalihkan pandangan menatap Azura, “terima kasih atas kerja kerasmu, Azura. Kau bisa istirahat.”
Azura bersorak senang kemudian menghilang begitu saja.
Pangeran Gavin menatap sekilas mayat-mayat yang tergeletak di hadapannya kemudian dia melangkah masuk ke dalam kamar diikuti oleh Maya. Putri Olivia masih tertidur di atas kasur. Apa yang dilakukan oleh Azura sama sekali tidak membangunkannya.
“Bawa makanan itu keluar dan buang. Jangan sampai ada yang memakannya. Saat kembali ke sini, bawakan air hangat dan kain,” titah Pangeran Gavin pada Maya.
Maya mengangguk dan segera membawa nampan keluar dari kamar.
Pangeran Gavin duduk di kursi menatap Putri Olivia yang terlelap. Tangannya menyentuh dahi Putri Olivia yang sangat panas. Apa yang dikatakan dokter itu memang benar. Malam ini, demam Putri Olivia akan memuncak.
“Andaikan aku dapat memilih, biar aku saja yang menderita. Jangan dirimu,” batin Pangeran Gavin.
Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka dengan Maya yang kembali membawa wadah berisikan air hangat dan tak lupa kain untuk mengompres. Pangeran Gavin menyerahkan tugas mengompres Putri Olivia pada Maya. Sedangkan Pangeran Gavin beranjak dari duduknya kemudian berdiri di ambang pintu. Dia tidak ingin menutup pintunya karena kejadian penikaman tadi membuatnya tidak akan mengalihkan pandangan sedikitpun pada Putri Olivia.
Lucy kembali dengan membawa dua prajurit dan sebuah gerobak. Dua prajurit yang melihat mayat-mayat tergeletak, bergidik ngeri. Bahkan tidak ada mayat yang masih utuh.
“Masukkan semua kepala mereka ke dalam gerobak. Untuk tubuhnya kalian bisa menguburnya di tengah hutan,” perintah Pangeran Gavin.
“Baik, Pangeran,” sekalipun dua prajurit itu merasa mual karena banyaknya darah, namun mereka tetap melakukan apa yang diperintahkan.
Di tempat lain, di luar gerbang Kerajaan Wisteria. Seorang laki-laki berjalan santai membawa dua tumpuk buku di tangan kanannya. Dia berniat masuk ke dalam gerbang namun terhenti karena seseorang yang tidak dikenalnya berjongkok menatap ke arah kerajaan.
Dua prajurit yang berjaga pun tidak terlihat. Laki-laki itu memutuskan untuk mendekat. Semakin dia mendekat, semakin terdengar gumaman dari orang tidak dikenalnya.
“Sial. Mereka semua berhasil dikalahkan. Aku harus segera melapor ke Pangeran Louis,” gumam orang itu.
Laki-laki yang membawa buku mengalihkan pandangan menatap ke dalam area kerajaan di mana dia melihat Pangeran Gavin yang memerintah dan melihat banyaknya mayat di depannya. Dia menyimpulkan bahwa ada penyusup namun berhasil ditangani. Dan alasan kenapa tidak ada penjaga gerbang karena kemungkinan penyusup itu sudah menghabisi para penjaga.
Ditambah lagi, orang yang tidak dikenalnya menyebutkan nama Pangeran Louis. Dengan kata lain, penyusup itu diperintah oleh Pangeran Louis.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
.
.
“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya. Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh. Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri. “Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan. Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?” Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.” “Hm? Mata-mata? D
Dengan langkah senyap, Astra keluar dari kamar Putri Olivia meninggalkan Pangeran Gavin. Dia berjalan santai menyusuri koridor, memasuki sebuah lorong yang gelap kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan.“Tidak biasanya kau datang terlambat, Astra,” seseorang yang duduk santai di kursi di paling ujung meja, menatap Astra yang berjalan ke tempat duduknya.Astra menarik kursi kemudian duduk. “Jangan samakan tugasku denganmu, Gabriel.”Laki-laki yang dipanggil Gabriel itu, tertawa kemudian menopang dagunya menatap Astra yang berseberangan dengannya, “aku dengar ada keributan tadi. Ditambah lagi, Azura menikmati semuanya sendirian.”Azura sudah duduk di kursinya dengan pakaian yang lebih bersih dibanding sebelumnya. “Pangeran yang memintanya. Jangan salahkan aku.”Gabriel beralih menatap Azura yang duduk di sampingnya. “Tapi, kau menikmatinya, kan?”Azura tersenyum lebar, “tentu saj
Jam 2 malam. Di dalam kamar Putri Olivia. Pangeran Gavin tidak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Setelah dokter datang mengantarkan obat untuk Putri Olivia, dia senantiasa berjaga. Setiap satu jam sekali, dia akan mengganti kain kompres di dahi Putri Olivia. Dia selalu menjaga tubuh Putri Olivia untuk tetap hangat, sekalipun suhu tubuh Putri Olivia masih tinggi. Pangeran Gavin kembali duduk setelah mengganti kain kompres. Dia tidak kenal lelah untuk menjaga Putri Olivia. Pangeran Gavin menopang dagu, menatap lekat Putri Olivia. Tanpa sadar, matanya perlahan tertutup namun detik berikutnya dia tersadar dan kembali membuka matanya. Posisi duduk membuatnya sangat ngantuk. Pangeran Gavin berdiri sembari merenggangkan tubuhnya. Dia berjalan-jalan mengelilingi kamar, mencegahnya agar tidak tidur. Bahkan dia menyempatkan diri untuk melakukan push-up. Hingga pukul 4 pagi, Pangeran Gavin tertidur dengan posisi duduk. “Gavin... Pangeran Gavin.” Mendengar namanya disebut, Pangeran Gavin
Tok! Tok! Tok!Astra menoleh ke arah pintu, “masuk.”Pintu terbuka dengan Cora yang melangkah masuk, “permisi.”Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan Pangeran Gavin menghentikan tangannya. Tidak ada yang memberitahunya kalau Cora akan datang ke kamar Putri Olivia.“Ada apa, Cora?” Pangeran Gavin menegakkan tubuhnya, tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku yang memintanya ke sini,” Astra menjawab lantas mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada Cora.“Tolong siapkan gaun dan juga keperluan lainnya untuk Putri Olivia. Kau bisa membawa mereka berdua untuk membantumu,” sambung Astra sembari menunjuk Lucy dan Maya.Cora tersenyum sembari menerima uang tersebut, “oke. Serahkan saja padaku. Ayo berangkat, Lucy, Maya.”“Baik,” Lucy dan Maya menjawab serempak.Cora keluar dari kamar diikuti oleh Lucy dan Maya. Pintu pun kembali
Tidak jauh darinya melangkah, Azura berdiri bersandar di tiang sembari melipat tangannya. Senyumnya selalu secerah matahari, namun dia bagaikan bunga indah yang berduri.“Ada apa, Azura?” Pangeran Gavin menghentikan langkahnya, ketika beberapa langkah dari Azura.“Kau ingin ke kamar Nona, kan? Aku ikut,” ucap Azura penuh semangat.Pangeran Gavin menatap Azura cukup lama, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui, “boleh. Jangan lakukan hal aneh.”“Oke~” Azura bersorak senang kemudian berjalan mengikuti Pangeran Gavin.Di dalam kamar, Putri Olivia duduk santai menyesap teh di dalam cangkir yang dipegangnya. Lucy dan Maya masih senantiasa menemaninya. Sesekali mereka bercerita mengenai beberapa hal menarik yang terjadi di kerajaan. Baik Lucy maupun Maya tidak berani menyinggung ataupun bertanya mengenai kehidupan Putri Olivia ketika di kerajaannya. Mereka tidak ingin Putri Olivia kembali bersedih.
Astra menoleh dan mendapati Putri Olivia berjalan mendekat ditemani Maya dan Lucy. Astra memperbaiki posisi berdirinya kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya, “sore, Putri. Ada yang bisa saya bantu?”“Apa kau melihat Gavin?” Putri Olivia berdiri tidak jauh dari Astra.Astra kembali menegakkan tubuhnya, “Pangeran sedang ada di ruangannya. Apa anda ada perlu dengannya?”“Aku hanya ingin berbicara dengannya. Boleh aku masuk?” tanya Putri Olivia, meminta ijin.Astra terdiam. Putri Olivia jauh lebih ramah dibanding apa yang dibayangkannya. Suaranya begitu lembut seakan dengan suara itu tidak bisa melukai siapapun yang mendengarnya. Hal itu merubah pemikirannya mengenainya.Astra mengangguk, “silakan, Putri.” Astra melangkah mendekat ke pintu kemudian membukanya untuk Putri Olivia.Putri Olivia tersenyum, “terima kasih.”“Kami akan tunggu di sini, Nona,” uc
“Kau datang juga, Gavin. Sudah beberapa malam kau melewatkan pertemuan kita,” Gabriel membuka suara.Astra, Azura, Cora, dan Leo sudah duduk di kursi mereka, menatap ke arah Pangeran Gavin yang juga menarik kursi lantas duduk.“Apa tuan putri sudah tidur? Aku ingin menyapanya,” Azura membuka suara dengan ciri khas periangnya.Pangeran Gavin menoleh ke arahnya, “dia tidur. Jangan mengganggunya.”Mendengar jawaban dari Pangeran Gavin membuat Azura mengeluh pelan sembari tertunduk malas di atas meja.“Malam ini tidak ada penjagaan untuknya?” Astra membuka pembicaraan.“Kau ingin melakukannya untukku?” Pangeran Gavin balik bertanya pada Astra.Astra diam sejenak kemudian mengangguk, “sepertinya memang harus begitu. Kau juga butuh istirahat.”Mendengar adanya kesempatan, Azura mengangkat tangannya semangat, “aku saja yang melakukannya.”&ldquo
Di dalam Kerajaan Wisteria, Putri Olivia diijinkan untuk mengunjungi perpustakaan dengan syarat tidak boleh berkeliaran kemana-mana. Sembari menunggu Lucy mengambil minuman untuknya, Putri Olivia berjalan sangat pelan ke arah yang dijelaskan oleh Lucy. Sedangkan Maya sudah menunggu di perpustakaan untuk memastikan tidak ada orang yang berkunjung selain Putri Olivia.Putri Olivia menghentikan langkahnya ketika di hadapkan dengan lorong gelap di sisi kanannya. Lucy mengatakan jika perpustakaan tepat bersebelahan dengan ruangan milik Pangeran Gavin. Putri Olivia baru saja melewati ruangan itu dan ia tidak melihat ruangan setelahnya, yang ada hanyalah lorong gelap yang entah mengarah kemana.Putri Olivia berbalik menatap koridor di belakangnya yang kosong. Masih belum ada tanda-tanda Lucy datang mendekat. Kepalanya kembali menoleh menatap lorong di kanannya.“Bagaimana jika memang perpustakaan ada di dalam sana? Tapi ... lorong itu menakutkan.” Putri Oli