“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya.
Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh.
Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri.
“Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan.
Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?”
Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.”
“Hm? Mata-mata? Dari Kerajaan Thorn?” Astra menelisik wajah orang yang diseret oleh Leo, mencari tahu kemungkinannya.
Leo mengalihkan pandangan menatap Pangeran Gavin yang masih senantiasa berdiri di ambang pintu, “mungkin saja berhubungan dengan mereka.”
Astra memutar kepalanya, menatap ke arah yang sama dan seketika terkejut melihat mayat yang tergeletak di lantai serta darah yang bercecer di mana-mana. Dengan langkah lebar, Astra mendekat pada Pangeran Gavin, “apa yang terjadi? Ada apa ini?”
“Hanya kerusuhan kecil. Omong-omong, siapa yang kau seret itu, Leo?” Pangeran Gavin mengalihkan pandangannya menatap orang yang diseret oleh Leo.
Leo menggeleng, “tidak tahu. Dia tadi bergumam tentang Pangeran Louis di depan gerbang.”
Tatapan Pangeran Gavin kembali dingin. Dari sekian banyak orang yang tewas di koridor, masih ada satu orang yang hidup.
“Semuanya sudah dimasukkan, Pangeran,” ucap prajurit.
“Bagus. Sekarang ikat tangan laki-laki itu di pegangan gerobak. Ikat kuat-kuat, jangan sampai lepas. Juga, lakban mulutnya,” titah Pangeran Gavin.
“Baik,” dua prajurit menarik paksa orang itu kemudian mengikatkan kedua tangannya di pegangan gerobak. Kemudian mengambil lakban dan dengan cepat menutup mulut orang itu.
Orang itu berusaha menarik paksa tangannya yang sudah terikat. Namun tidak sedikitpun bisa terlepas. Mau berteriakpun tidak ada gunanya. Saat ini dia berada di wilayah musuh, tiada siapapun yang akan menolongnya.
“Leo, berikan aku kertas dan bolpen,” Pangeran Gavin mengadahkan tangannya ke arah Leo, menunggu.
Leo pun menyobek buku yang dibawanya kemudian mengambil bolpen dari saku kemejanya lantas menyerahkan dua benda itu pada Pangeran Gavin.
Pangeran Gavin menulis sesuatu di selembar kertas kemudian meletakkannya di atas gerobak. Dia pun mengembalikan bolpen itu pada Leo.
“Jika dibiarkan jalan sendiri, pasti tidak akan sampai,” Astra membuka suara begitu mengetahui maksud Pangeran Gavin.
“Perlu kuantar?” sahut Leo.
Seketika Astra menoleh ke arahnya, “oh, kau bisa?”
Leo mengangguk kemudian merobek satu kertas lagi, “jika masih dalam jangkauan, tentu bisa. Kerajaan Thorn, kan?”
“Tidak,” tegas Pangeran Gavin yang membuat Leo seketika menahan tangannya untuk tidak melanjutkan menulis.
“Ke Kerajaan Mandelein,” sambung Pangeran Gavin.
Sekalipun masih ada pertanyaan di benak Leo, namun dia tetap melanjutkan menulis. Tujuan sudah ditentukan. Leo pun menempelkan kertas itu punggung orang yang terikat di gerobak. Cahaya biru redup bersinar membungkus orang itu dan gerobak. Sekejap saja, mereka langsung menghilang.
Di depan gerbang Kerajaan Mandelein. Orang itu dan gerobaknya tiba. Prajurit yang berjaga bergegas menghampiri karena berpikir kalau itu adalah penyusup.
“Kenapa kau ada di sini? Masuklah,” salah seorang prajurit membantu mendorong gerobak masuk ke dalam gerbang. Mereka tidak curiga sama sekali dengan tangan dan mulut yang disekap. Orang itu pun tidak bisa melakukan apapun.
Prajurit mengantarkan orang itu dan gerobaknya ke pelataran kerajaan, di mana terdapat Dean yang sedang berbincang santai dengan Pangeran Louis. Mengetahui ada yang mendekat, Dean berdiri dan segera menghampiri prajurit tersebut.
“Kenapa kau terikat? Dan apa yang kau bawa?” Dean menurunkan pandangannya menatap kertas yang tergeletak di atas penutup gerobak.
“Ada apa, Dean?” Pangeran Louis mendekat dan berdiri di samping Dean.
Dean mengambil kertas tersebut kemudian membaca tulisan yang tertera, “mau ribuan orang sekalipun yang kau perintahkan, tidak akan bisa menyentuhnya.”
“Memangnya dari siapa?” tanya Pangeran Louis yang mengambil kertas itu dari tangan Dean.
Dean beralih menatap orang yang terikat. Dengan hati-hati, dia melepas lakban yang menutup mulutnya, “katakan apa yang terjadi.”
“Gawat! Semuanya– Argh!” sebelum orang itu menyelesaikan kalimatnya, kepalanya sudah terpenggal dan langsung terjatuh ke tanah.
Baik Dean maupun Pangeran Louis seketika terkejut. Di saat yang sama, kertas yang dipegang oleh Pangeran Louis terbakar. Mengetahui ada yang aneh, Pangeran Louis membuka penutup gerobak dan mendapati kepala 20 orang yang dia kirim telah dikembalikan, tanpa tubuh. Dean menatap ngeri pemandangan di depannya. Bahkan prajurit yang mengantar ikut bergidik ngeri.
Sedangkan Pangeran Louis menggeram marah, dengan sorot mata penuh kebencian, “sialan kau! Beraninya mengambil calon permaisuriku sesukamu. Aku pasti akan memburumu, Gavin! Kita cari cara lain, Dean!” Pangeran Loius melangkah cepat menyusuri koridor.
Mengetahui hal itu, Dean cepat-cepat mengikutinya, “tunggu dulu, Pangeran. Sepertinya kita harus menunggu lebih dulu.”
“Menunggu, katamu?! Aku tidak ingin menunggu!” pekik Pangeran Louis, tidak terima.
“Saya mengerti bagaimana perasaan Anda. Tapi untuk saat ini, kita harus menghimpun pasukan, mengambil alih semua wilayah, memikirkan mengenai kolega yang sudah dihimpun oleh Kerajaan Mandelein. Jikalau kita mengirim orang lagi, kemungkinan hasilnya akan sama. Lebih baik, biarkan mereka berpikir kalau kita menyerah. Namun di sisi lain, kita bisa menyiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk merebut kembali Putri Olivia,” jelas Dean, selaku penasehat Pangeran Louis.
Mendengar penjelasan Dean, Pangeran Louis memikirkan kembali ucapannya. Pada akhirnya, Pangeran Louis mengangguk setuju, “baiklah. Siapkan semua berkas kolega dan peta wilayah. Kita harus bergerak lebih cepat.”
Kembali ke Kerajaan Wisteria. Semua darah sudah dibersihkan. Mayat pun sudah tidak terlihat lagi. Maya dan Lucy sudah kembali ke kamarnya. Kini menyisakan Pangeran Gavin dan Astra yang berbincang pelan di dalam kamar Putri Olivia.
“Aku tidak menyangka Kerajaan Thorn sampai segitunya menginginkan Putri Olivia kembali. Jika seperti ini, mereka pasti akan mengambil tindakan lain untuk merebut Putri Olivia,” Astra bersuara pelan.
Pangeran Gavin tidak sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Putri Olivia yang terlelap, “itu akan terjadi jika Louis tidak memiliki penasehat.”
Ucapan Pangeran Gavin membuat Astra menatapnya, “apa maksudmu?”
“Pangeran Louis sekarang memiliki penasehat bernama Dean yang dulunya merupakan penasehat Raja. Dia jauh lebih pandai dalam urusan strategi. Kerajaan Thorn mampu menang dari Kerajaan Bunyam karena strategi dari Dean. Jika menelusuri lebih jauh pemikiran penasehat licik itu, kemungkinan dia akan menyuruh Louis untuk tidak mengirimkan pasukan lagi. Mereka akan fokus pada pengambil-alihan Kerajaan Mandelein seutuhnya,” jelas Pangeran Gavin.
Astra cukup terkejut mendengar penjelasan dari Pangeran Gavin, “kau hebat. Bagaimana bisa kau berpikir sejauh itu?”
“...Karena jika itu aku, aku pun akan melakukan hal itu. Untuk saat ini, kita fokus saja pada penjagaan. Juga, aku ingin kau mengirimkan surat menghapusan perjanjian dengan Kerajaan Mandelein yang sekarang,” titah Pangeran Gavin.
Astra mengangguk, “akan kukerjakan sekarang. Omong-omong, kau tidak ikut pertemuan rutin?”
Pangeran Gavin menggeleng sembari mencelupkan kain ke air hangat kemudian memerasnya, “aku tunggu hasilnya darimu.”
.
.
CERITA INI AKAN SEGERA DITERBITKAN DALAM BENTUK CETAK. PANTAU TERUS DI AKUN INSTAGRAM DI VAELAVEY DAN NANTIKAN KABAR TERBARU.
Hari silih berganti. Puteri Olivia dan Pangeran Gavin masih senantiasa menginap di Kerajaan Gambera. Hal yang berbeda hanyalah Norman yang sudah kembali ke Kerajaan Wisteria, membawa laporan terkait ucapan terima kasih dari Yang Mulia Geld yang ditujukan kepada Yang Mulia William. Panglima Murr pun sudah kembali, menyisakan Panglima Sam dengan beberapa pasukannya untuk mengamankan Kerajaan Mandelein. Berita kebenaran kejadian di dalam istana, sudah terdengar sampai ke telinga rakyat Kerajaan Mandelein. Di hari pertama, bahkan mereka berbondong-bondong mengunjungi istana untuk menanyakan kebenaran terkait berita tersebut. Beberapa dari mereka mengasihani keadaan Puteri Olivia, sedangkan yang lainnya menginginkan Pangeran Louis dihukum mati. Berakhirnya peperangan juga menjadikan akhir bagi Kelompok Mawar Hitam. Palte selaku pemimpin kelompok tersebut, diam-diam menemui Panglima Sam di Kerajaan Mandelein. Mencoba mengutarakan maksudnya. “Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang padaku?” tany
Crash!“Maaf terlambat. Kau baik-baik saja?” Gabriel muncul di samping Palte, memaksanya untuk kembali membuka mata.Siapa? Aku belum pernah bertemu dengannya.Gabriel berjongkok dan membantu Palte untuk berdiri. “Kita harus mengobati lukamu.” Sekalipun dia mendengar apa yang dipikirkan oleh Palte, namun Gabriel memilih untuk lebih dulu mengobati lukanya.Di seberang mereka, Azura pun sudah berhasil menyelamatkan Alex dan rekan-rekannya dengan memenggal kepala prajurit yang berada di sekitar mereka. Beruntung tidak ada luka parah pada mereka, jadi mereka bisa segera meninggalkan arena pertempuran.“Palte! Kau terluka! Astaga!” Noir panik ketika melihat Gabriel yang menyandarkan Palte di samping gudang.Gabriel melangkah mundur, membiarkan Noir mengobati Palte. Pandangannya pun beralih menatap Azura yang baru datang bersama Alex dan rekan-rekannya.“Tetaplah di sini. O
Teriakan memilukan, tanpa bisa melakukan apapun. Tangan kanan Dean terpotong hingga bahu. Masih dalam keadaan terikat, tangan itu terpisah dari tubuh pemiliknya. Dean meraung-raung melampiaskan rasa sakit yang dirasakan di tubuh bagian kanannya. Darah pun keluar tiada henti. Rasa sakit yang membuat siapapun ingin menangis.“Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Tapi kau malah tidak mau percaya padaku. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan? Apa yang kulakukan padamu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kalian lakukan pada orang tua Puteri Olivia. Kau sendiri sadar akan hal itu, kan?” Azura menyimpan belatinya seraya menjaga jarak dari Dean. Dia membiarkan Dean berteriak-teriak kesakitan. Sudah cukup baginya untuk saat ini menyiksa laki-laki di depannya, hanya sekedar untuk membuktikan dengan siapa dia berhadapan.Tak lama kemudian, Dean tidak sadarkan diri. Azura pun mengambil kain panjang yang selalu dibawanya untuk berjaga jika terluka. Kali ini dia akan menggunaka
“Astaga Gavin!” Yang Mulia William bergegas mendekat, membantu Astra meletakkan Pangeran Gavin di dalam kereta kuda.Astra bergegas mengambil kotak obat di kereta yang lainnya dan segera mengobati luka di punggung Pangeran Gavin. Sedangkan Gabriel meletakkan Puteri Olivia di kereta kuda yang lainnya. Dia masih belum sadar. Hampir saja, telat satu detik saja, Puteri Olivia mungkin akan mati tergantung. Gabriel melepaskan tali yang mengikat leher Puteri Olivia kemudian membuangnya asal.“Apa Puteri baik-baik saja?” Maya berdiri di samping kereta kuda, menatap cemas keadaan Puteri Olivia.Gabriel berdiri berseberangan dengan Maya, menatapnya kemudian beralih menatap Puteri Olivia. “Dia hanya tidak sadarkan diri. Temani di sini. Aku harus mengurus Azura.”Maya mengangguk mantap. “Dimengerti.”Gabriel melangkah cepat mendekat ke Azura yang dibaringkan di atas rumput di bawah pohon. Di sampingnya sudah ada
Dua ribu pasukan keluar dari hutan, membaur dan menebas pasukan dari Kerajaan Mandelein. Beberapa dari mereka bergerak cepat mengobati prajurit pimpinan Panglima Murr yang terluka, membawa mereka jauh dari peperangan.Ribuan pasukan yang datang membuat emosi Pangeran Louis seketika memuncak. Wajahnya merah padam. Tidak ada yang mengatakan padanya kalau akan ada pasukan bantuan. Sekalipun pasukannya terbilang banyak, namun yang dilihatnya saat ini adalah pasukannya yang semakin berkurang.“CEPAT HABISI MEREKA! KENAPA KALIAN MALAH KALAH? CEPAT MAJU!!!!”Prajurit yang merasa terpanggil bergegas melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mulai bergerak mengepung Pangeran Gavin dan yang lainnya. Hampir seperempat pasukan mengepung mereka, dengan senjata di tangan mereka.Astra yang semakin terpancing emosi sontak berdiri di depan teman-temannya. Jika dia memiliki kemampuan kutukan, mungkin dia akan mengutuk mereka yang berada di sekitarnya dengan kut
Pangeran Gavin yang berada di tengah-tengah peperangan, menyadari keberadaan Putri Olivia di atas benteng. Perhatiannya pun teralihkan. Pedang yang semula bergerak menebas sana-sini, kini berhenti bahkan perlahan turun. Sebentar lagi, seharusnya dia bisa menyusup dan menyelamatkan Putri Olivia, namun apa yang terjadi saat ini membuatnya terdiam.Oliv...“Gavin! Jangan melamun!” Astra yang semula berjarak darinya segera mendekat seraya menghunuskan pedangnya pada prajurit yang menghalangi jalannya. Pangeran Gavin yang sama sekali tidak bergeming di sampingnya dengan pandangan ke arah benteng, membuat Astra melihat ke arah yang sama.Terkejut, tergambar jelas di wajah Astra, apalagi Pangeran Gavin. Jarak mereka dengan benteng masih sangatlah jauh. Ditambah lagi dengan ribuan pasukan yang mengepung mereka, membuatnya sulit untuk menjangkau dalam waktu cepat ke tempat Putri Olivia.“KAU DI SANA, GAVIN? KAU INGIN MENYELAMATKAN OLIVIA