MasukDi dunia Asteria, legenda kuno menyebutkan tujuh dewa agung yang pernah melindungi manusia. Namun setelah perang besar melawan Raja Kegelapan Nefarion, para dewa menghilang, meninggalkan kekuatan mereka tersembunyi di dalam jiwa manusia terpilih. Ardyn, seorang pemuda desa Liora, hidup sederhana hingga suatu malam tanda bercahaya muncul di telapak tangannya. Tanpa disadari, ia adalah pewaris Dewa Cahaya, Solis—sumber kekuatan yang menjadi harapan terakhir dunia. Bersama Selene, seorang pengelana misterius, dan Lyra, gadis yatim piatu yang ternyata pewaris Dewa Angin, Ardyn memulai perjalanan berbahaya untuk menemukan pewaris lainnya. Namun, bayangan Nefarion telah terbangun, mengirim pasukan kegelapan untuk memburu mereka. Antara takdir dan pengorbanan, Ardyn harus memilih: tetap menjadi pemuda desa biasa, atau menerima panggilannya sebagai pewaris cahaya dan melindungi dunia dari kehancuran. ✨ Sebuah kisah tentang persahabatan, pengkhianatan, dan rahasia besar yang terpendam dalam warisan para dewa.
Lihat lebih banyakLangit sore memerah di atas hamparan lembah hijau tempat desa Liora berdiri. Cahaya keemasan dari matahari yang tenggelam menimpa ladang gandum, membuatnya berkilau seperti lautan emas yang berombak ditiup angin. Desa kecil itu damai, dikelilingi hutan pinus di utara dan sungai jernih yang mengalir dari pegunungan timur.
Bagi kebanyakan orang, Liora hanyalah titik kecil yang nyaris terlupakan di peta kerajaan Asteria. Tetapi bagi Ardyn, desa itu adalah seluruh hidupnya. Pemuda berusia tujuh belas tahun itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang. Peluh menetes dari kening, bajunya dipenuhi debu, dan tangannya kasar karena terbiasa bekerja keras. Ia duduk di tepi sungai, mencelupkan wajah ke air dingin, menikmati kesegaran yang menyapu tubuhnya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Seperti hari-hari sebelumnya, bayangan mimpi aneh kembali menyusup ke dalam pikirannya. Mimpi yang terus berulang, dengan detail yang sama: lautan cahaya emas yang menyilaukan, dan sebuah suara dalam yang memanggilnya. "Bangkitlah… pewarisku." Ardyn mengerutkan kening. “Apa maksud semua ini?” gumamnya. Ia tidak pernah menceritakan mimpi itu kepada siapa pun. Bahkan kepada keluarganya sendiri. Baginya, mimpi itu terlalu aneh, terlalu nyata, seakan bukan sekadar bunga tidur. “Ardyn!” suara nyaring memecah lamunannya. Ia menoleh dan melihat Mira, adik perempuannya, berlari kecil di tepi sungai. Gadis berusia sembilan tahun itu mengangkat keranjang berisi apel, wajahnya berseri-seri meski napasnya terengah. “Ibu memanggil! Katanya makan malam sudah siap!” serunya riang. Ardyn tersenyum. “Kau selalu tahu cara membuat orang terkejut, Mira.” Mira cemberut sambil mengusap pipinya. “Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau melamun lagi ya?” Ardyn berdiri, mengacak rambut adiknya yang hitam legam. “Mungkin aku terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting. Ayo pulang.” Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak berbatu yang membelah ladang. Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, dan obor-obor di sepanjang jalan mulai dinyalakan. Suara-suara penduduk desa terdengar akrab: tawa anak-anak yang masih bermain, kambing yang digiring masuk kandang, dan aroma roti panggang dari tungku-tungku rumah. Liora adalah desa yang sederhana, tapi bagi Ardyn, inilah rumah yang selalu memberi rasa damai. --- Rumah keluarga Ardyn terletak di pinggir desa. Bangunannya terbuat dari kayu pinus dengan atap jerami, sederhana tapi hangat. Saat Ardyn dan Mira masuk, mereka langsung disambut aroma sup sayuran dan daging yang mengepul di meja makan. “Ibu, kami pulang!” seru Mira. Seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan, berambut cokelat panjang yang diikat rapi, muncul dari dapur. Wajahnya lembut, namun sorot matanya kuat—ia adalah Elira, ibu mereka. “Ardyn, kau terlambat lagi,” katanya sambil meletakkan panci di meja. “Kalau terus melamun, kau bisa jatuh sakit.” Ardyn mengangkat bahu. “Aku hanya butuh udara segar, Bu.” Dari kursi dekat perapian, terdengar suara tawa rendah. Seorang pria berperawakan tinggi, berjanggut tebal, sedang membersihkan tombak tua. Ia adalah Daren, ayah Ardyn. Meski usianya sudah melewati empat puluh, tubuhnya masih kekar—dulu ia adalah prajurit kerajaan sebelum memilih hidup tenang di desa. “Udara segar memang baik,” katanya sambil menatap putranya. “Tapi ingat, terlalu banyak melamun bisa membuatmu kehilangan pijakan di bumi.” Ardyn hanya tersenyum kecil, lalu duduk bersama keluarganya. Mereka makan malam dengan sederhana: sup sayur, roti gandum, dan apel segar. Obrolan mengalir ringan, tentang ladang, tentang tetangga yang baru saja punya bayi, tentang pesta panen yang akan diadakan dua minggu lagi. Namun, di balik tawa dan canda itu, Ardyn menyembunyikan kegelisahannya. Mimpi itu kembali menghantuinya sepanjang makan malam, seolah suara asing itu ingin didengar. --- Malam semakin larut. Setelah membersihkan meja makan dan membantu adiknya menyiapkan tempat tidur, Ardyn masuk ke kamarnya. Ruangan itu sederhana, hanya ada ranjang kayu, meja kecil, dan jendela yang menghadap ladang. Ia berbaring, menatap langit-langit gelap, berharap kantuk segera datang. Tapi pikirannya terus dipenuhi oleh mimpi dan suara itu. “Apa maksud dari semua ini?” bisiknya lirih. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus masuk lewat jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Bulan purnama menggantung tinggi di langit, begitu terang hingga bayangan pepohonan tampak jelas. Lalu, tanpa peringatan, rasa panas menjalar di telapak tangan Ardyn. Ia terkejut, duduk, dan melihat telapak tangannya menyala dengan cahaya samar. Sebuah simbol aneh muncul, berbentuk lingkaran dengan bintang bersinar di tengahnya. Cahaya itu berdenyut, semakin lama semakin terang, hingga menerangi seluruh kamar. “Ap—apa yang terjadi padaku?” Ardyn terengah. Ia mencoba menutup tangannya, tapi cahaya itu tetap keluar, menembus sela-sela jari. Simbol itu seolah hidup, berdenyut mengikuti detak jantungnya. Dan saat itulah, suara itu kembali terdengar. Lebih jelas, lebih dekat. "Bangkitlah… pewaris cahaya. Waktumu telah tiba." Ardyn terperanjat, napasnya memburu. Ia merasa ada sesuatu yang terbangun di dalam dirinya—kekuatan besar yang tidak pernah ia sadari. Tubuhnya gemetar, antara takut dan kagum. “Apa aku… bermimpi lagi?” katanya dengan suara bergetar. Namun cahaya itu nyata. Panasnya nyata. Dan suara itu terlalu jelas untuk dianggap ilusi. Ardyn memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan napas. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu—hidupnya yang damai di desa Liora baru saja berubah selamanya. Di luar, bulan purnama bersinar terang, seakan menjadi saksi lahirnya takdir baru. ---Langit istana tampak megah, dihiasi matahari pagi yang sinarnya masuk melalui jendela-jendela tinggi, menyoroti ukiran naga emas di dinding aula utama. Dentuman genderang menggema di seluruh penjuru, menandai hari yang akan dicatat dalam sejarah kekaisaran.Hari itu adalah hari penentuan—bukan hanya bagi kerajaan, tetapi juga bagi Selir Arunika, wanita yang telah melewati lautan pengkhianatan, badai intrik, dan luka hati yang nyaris mematahkan langkahnya.Namun, dari semua kepedihan itu, ia bangkit. Hari ini, ia berdiri di ambang takhta sebagai sosok yang berbeda: bukan lagi seorang selir yang rapuh, melainkan wanita kuat yang telah membuktikan bahwa cinta dan pengabdian bisa lebih kokoh dari pedang tajam dan racun licik.---Aula PenobatanKaisar Adhyatma duduk di atas singgasana naga, dengan jubah emasnya berkilau. Wajahnya tegas, namun matanya melunak ketika pandangannya jatuh pada sosok Arunika yang berjalan perlahan memasuki aula.Arunika mengenakan busana merah marun dengan bord
1. Keheningan Setelah BadaiUntuk sesaat, ruangan inti sunyi. Tidak ada lagi jeritan, tidak ada lagi gemuruh retakan. Hanya ada suara napas berat dari Ardyn, Selene, Lyra, dan Kael yang masih berusaha berdiri setelah pertempuran panjang.Kristal inti Simfoni Abadi kini berwarna emas bercampur hitam, berdenyut dengan ritme baru. Setiap denyutan mengirimkan gelombang ke seluruh dunia, dan mereka semua bisa merasakannya—seperti detak jantung yang menyatu dengan bumi itu sendiri.Ardyn menatapnya dalam diam. Tangannya masih gemetar setelah menyatu dengan inti, tapi ada ketenangan aneh di hatinya. Apakah ini benar-benar berhasil… atau justru awal dari bencana baru?2. Langit yang BerubahTiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Dinding-dinding batu retak, dan cahaya dari inti menembus ke langit di atas.Mereka berlari keluar dari reruntuhan. Saat sampai di luar, mereka semua terdiam.Langit berubah. Bintang-bintang yang semula tetap kini berkilau dengan warna berbeda. Bulan retak tipis, mengel
1. Kristal yang RetakRuangan yang semula hening kini dipenuhi getaran aneh. Kristal inti Simfoni Abadi berdenyut semakin cepat, bukan lagi dengan nada lembut, melainkan nada yang patah-patah, sumbang, dan menusuk telinga.“Tidak mungkin…” Selene mendekat, matanya membelalak. “Kristal ini… retak!”Benar saja, dari permukaan kristal mulai muncul garis retakan bercahaya. Setiap kali retakan itu melebar, terdengar suara seperti jeritan seribu jiwa.Lyra mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. “Ini bukan kemenangan… kita hanya membangunkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”Kael menggeram, menahan luka di dadanya. “Jadi apa? Setelah semua yang kita lalui, ternyata musuh kita bukan bayangan itu, tapi inti dunia sendiri?”Ardyn menatap kristal itu dalam diam. Hatinya bergetar oleh nada sumbang yang keluar. Bukan sekadar suara… tapi seolah ada suara-suara berbisik di dalam kepalanya.“Kau bukan penyelamat… kau hanya pion…”“Harmoni tak pernah membutuhkanmu…”“Biarkan dunia tenggelam, kau
1. Jantung DuniaBegitu mereka melewati gerbang cahaya, pandangan mereka disambut oleh ruang luas tak terbayangkan.Dindingnya bukan dari batu, melainkan cahaya murni yang bergerak seperti aliran aurora. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah kristal raksasa—berbentuk bulat, berdenyut perlahan seperti jantung. Setiap denyut mengeluarkan nada lembut, seperti nyanyian ibu meninabobokan bayi.“Itu… inti Simfoni Abadi,” bisik Selene. “Sumber yang menjaga keseimbangan dunia.”Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Bayangan berjubah hitam yang mengikuti mereka masuk kini melayang ke depan kristal, seolah hendak mengklaimnya. Nada yang keluar dari tubuhnya berlawanan dengan kristal itu—bukan harmoni, melainkan raungan cacat, nada fals yang menusuk telinga dan hati.Lyra menutup telinganya dengan kedua tangan, wajahnya meringis. “Nada itu… seperti duri yang menusuk jiwaku…”Ardyn melangkah maju, menatap sosok itu dengan sorot tajam. “Kalau dia berhasil menguasai inti ini, dunia akan tenggela
1. Tangga EmasTangga emas yang mereka pijak terasa hangat, seolah hidup. Setiap langkah memunculkan gema nada—bukan gema suara kaki mereka, melainkan nada lembut seperti gesekan harpa.“Ini…” Lyra menatap sekeliling dengan mata berbinar meski wajahnya masih lelah. “Tangga ini bernyanyi.”Ardyn mengangguk pelan, jantungnya ikut bergetar. “Bukan tangga biasa. Ini bagian dari Simfoni itu sendiri. Kita sedang berjalan di atas harmoni dunia.”Kael mendengus. “Lalu kalau kita jatuh, apakah dunia ikut pecah?”Selene meliriknya tajam. “Kalau kau jatuh, aku pastikan dunia tetap baik-baik saja.”Meski penuh luka, mereka masih sempat saling menyindir—mungkin itulah satu-satunya cara agar hati mereka tidak runtuh sebelum sampai ke tujuan.2. Gerbang HarmoniSetelah entah berapa lama, mereka tiba di puncak. Sebuah gerbang raksasa berdiri di depan mereka, terbentuk dari cahaya murni. Bentuknya menyerupai dua sayap yang merentang, seolah hendak menutup atau membuka dunia.Di tengah gerbang itu, ter
1. Ruang Berlapis CerminSetelah melewati lorong ilusi, mereka tiba di sebuah aula bundar. Dindingnya penuh cermin raksasa, memantulkan cahaya emas dan bayangan mereka sendiri dari berbagai sudut.Udara di ruangan itu sangat berat, seolah menekan dada. Setiap langkah bergema panjang, seperti gema itu ingin meniru suara hati mereka.“Tempat ini…” Lyra berbisik. “Seperti… jantungnya kuil.”Ardyn mengangguk, tangannya menggenggam erat pedangnya. “Ini pasti lapisan terakhir sebelum inti Simfoni Abadi. Kita harus berhati-hati.”Namun sesuatu terasa salah. Pantulan di cermin tidak bergerak sesuai gerakan mereka.2. Bayangan HidupTiba-tiba, salah satu bayangan Selene di cermin tersenyum licik—padahal Selene asli tidak tersenyum. Dalam sekejap, bayangan itu keluar dari cermin, tubuhnya membentuk doppelgänger yang identik.Begitu juga dengan Lyra, Kael, dan bahkan Ardyn.Dalam hitungan detik, mereka sudah berhadapan dengan diri mereka sendiri.Kael menyeringai getir. “Sudah kuduga… akhirnya s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen