"Bismillah." Samar kudengar Alan mengucapkan kalimat basmallah. Lalu mengambil napas dan kemudian membuangnya pelan.
"Jujur, awalnya berambisi karena ingin memenangkan tantangan ini, tapi dari awal pertama mencoba, saya kesulitan. Ternyata sangat berat karena diawali niat yang kurang tepat. Kalau di sekolah saya tampak baik dan rajin shalat, bahkan sampai pergi ke mushola itu karena pencitraan saja, maaf." Aku terkejut, begitupun yang lainnya setelah mendengar pengakuan jujur Alan. Namun kami masih diam, membiarkannya melanjutkan.
"Waktu itu saya hanya ingin menunjukkan di hadapan Shanum dan teman-teman kalau saya bisa berubah, dan mampu." Sejenak netranya menatapku. "Namun kemudian saya sadar, apa yang saya lakukan itu salah. Banyak yang menyukai saya berubah menjadi orang baik padahal cuma pura-pura. Itu malah menjadi beban." Ia tersenyum samar saat menceritakannya. Aku hanya menatapnya sekilas, dan
"Itu karena Alan tidak ingin membuat Shanum terbebani dengan menjadi istriku, Kek." Alan melirikku sekilas."Alan ingin menikah dengan cewek yang benar-benar tulus mencintai Alan bukan karena keterpaksaan. Sedangkan Shanum …, dia terpaksa mau dinikahi karena tantangan ini. Jadi Alan mohon, batalkan perjodohan ini," lanjutnya membuatku terkesiap tidak bisa berkata apapun lagi. Aku tidak menyangka Alan bakal berkata seperti ini dan menentang keinginan kakeknya."Soal ini Mami setuju dengan Alan. Kita Batalkan saja perjodohan dan perjanjian yang aneh ini. Lagi pula Alan kan sudah menang, jadi nggak malu-maluin, justru merekalah yang harus malu. Sok ngasih tantangan eh dilibas habis sama Alan, malu kan jadinya.""Cukup, Anya! Bisakah diam bila tidak diajak bicara! Dari tadi kamu ikut nyerocos saja." Nada bicara Kakek meninggi. Tampak gurat kemarahan di wajah tuanya
"Saya menerima dan mempercayakan semua itu padanya. Kurasa dia sudah cukup bijak saat mengambil keputusan tadi. Saya mengenal baik Shanum, anak saya. Apapun yang diputuskannya, baik maupun buruknya, dia pasti bertanggung jawab dengan konsekuensinya kelak.""Katanya mengenal baik, tapi kenapa bisa kecolongan hingga membuat kalian hampir kehilangannya?" Lagi, Tante Anya menimpali."Kami memang mengenal baik kedua anak kami. Namun soal waktu, kami tidak bisa menembusnya. Bagaimana kalau kamu di posisi kami? Bagaimana kalau itu terjadi padamu? Bagaimana kalau Shanum itu anakmu? Dia bilang pergi ke rumah temannya dengan wajah berseri. Lalu keesokan harinya kamu kaget mendapatinya tak sadarkan diri bersimbah darah di dalam kamarnya, apa yang akan kamu lakukan? Kami memang mengenalnya dengan sangat baik, tapi kami tidak bisa memantaunya selama 24 jam. Seperti kamu yang tidak bisa ketemu dengan Alan padahal kamu buk
POV Alan"Ibu nggak papa? Ada yang terluka?""Nggak ada Dek, makasih ya sudah bantuin.""Iya, lain kali hati-hati Bu."Aku memperhatikan percakapan dua orang di seberang tempatku duduk bersantai bersama teman-teman. Dari sini masih terdengar jelas percakapan mereka."Lihat apaan Bro?" Dino menepuk bahuku. Mataku menyorot ke seberang tepat pada cewek yang sedang kuamati sedari tadi. Dia tidak sendiri, tapi bertiga dengan temannya yang lain.Mata Dino memicing ikut mengamati apa yang tadi kusorot."Kenal?" tanyaku."Mereka?" Balik Dino bertanya. Kuanggukkan kepala."Kalau nggak salah mereka itu anak Tunas Bangsa. Kenapa?""Tunas Bangsa
Cewek yang membuatku rela pindah sekolah biar bisa dekat dengannya malah menggelengkan kepala. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa kata.Aku tercengang. Hanya begitu? Tidak terpesona apa dengan ketampananku? Minimal ngajak kenalan. Kesal diabaikan, sejak saat itulah kuputar niatku yang ingin dekat dengannya menjadi mengusilinya. Hampir tiap hari ada saja tingkah Mengesalkanku padanya. Entah menghalangi jalannya, berpura tak sengaja menyiram air ke bajunya dan paling ekstrim, aku sengaja mengganggu sosok laki-laki sainganku untuk merebut hatinya--Fatih. Lelaki berwajah datar tanpa senyum. Aneh, orang seperti itu diidolakan, apa hebatnya?Membuat masalah pada sosok yang membuatku iri adalah keharusan yang hakiki. Aku ingin merebut posisinya yang telah memberi ruang untuk Shanum. Banyak cewek-cewek yang mengidolakannya. Lewat sana dulu kucoba menghancurkannya, tapi sayangnya satu cewek pun tidak a
Setelah malam itu, aku dan Shanum mulai intens berinteraksi lewat ponsel. Di sekolah, kami bersikap biasa saja dengan menjaga jarak seolah tidak mempunyai hubungan apapun. Ini semua kami dilakukan untuk menghindari kehebohan atau jadi bahan pembicaraan lagi di sekolah. Apalagi gosip mengenai hubungan kami yang sebelumnya tidak juga reda. Kalau sampai terbukti kami memang mempunyai hubungan, maka yang kutakutkan dampaknya akan menimpa pada Shanum. Aku tidak peduli kalau mereka menjelek-jelekkanku, itu sudah biasa, tapi tidak untuk Shanum. Aku tahu dia selalu mendapatkan prestasi gemilang dan rekam jejak yang baik di sekolah ini, dan itu jauh dari gosip tak sedap."Selamat Bro, keren. Gue senang dengar kabar baik dari lo, kapan peresmiannya?""Hussstttt …." Isyaratku menyuruh Dino diam. Mataku mengedar ke seluruh sudut ruangan. Saat ini kami masih berada di lingkungan sekolah, tepatnya di kantin. 
POV Shanum"Shanum!"Refleks kepala menoleh ke belakang mencari asal suara yang memanggilku.Sita. Dia berlari mendekat."Kenapa ditinggal sih. Aku capek panggil-panggil dari tadi nggak didengar." Dengan napas ngos-ngosan ia ngedumel."Kenapa nggak telepon, ponselku aktif kok.""Iya, ya. Kok nggak kepikiran?" Sita cengengesan sambil menggaruk kepala. Kugelengkan kepala melihat tingkahnya.Aku dan Sita satu kampus dan satu jurusan yang sama. Memang waktu di SMA dulu kami sempat membicarakan dimana akan berkuliah. Aku dan Sita memilih universitas yang sama, sayangnya kami harus terpisah dengan Yolanda karena dia harus kuliah ke luar negeri atas permintaan orang tuanya. Sama seperti Alan, hidup Yolanda diatur juga oleh orang tuanya."Eh, hampir lupa, Kak Aldo ti
POV Alan.Baru 17 jam lebih pisah dengan keluarga rasanya ingin segera pulang. Rasa rinduku lebih menggebu pada seorang gadis manis yang sudah mencuri hatiku sejak pandangan pertama--Shanum. Baru juga bersatu dalam ikatan pertunangan sudah dipisahkan kembali. Butuh perjuangan untuk bisa mendapatkannya. Sekarang harus terpisah jarak yang sangat jauh dengannya. Apa ini bagian dari rencanaMu Tuhan?Aku masuk ke dalam apartemen yang sudah dipersiapkan oleh Kakek. Sepi, hanya aku sendiri yang tinggal di dalamnya. Baru merebahkan diri, hati sudah tidak sabar ingin menghubungi mereka yang jauh di sana.Aku sudah mempersiapkan diri di depan laptop. Memanggil Mami tersayang lewat video virtual. Wanita teristimewa satu ini tidak bisa dinomor duakan. Dia pasti akan bertanya siapa orang yang lebih dulu kuhubungi setelah sampai sini.Ditunggu beberapa detik,
Hari berlalu. Aku masih berkutat dengan kesibukan di kampus. Mencoba menyesuaikan diri di sini. Hampir setiap hari disela kesibukanku, tetap kusempatkan menghubungi Shanum. Walaupun harus aku yang selalu lebih dulu memulainya. Bertanya apapun atau menceritakan apapun. Tentangku dan juga tentangnya. Yang lebih memudahkanku tahu informasi tentang Shanum, karena ada Dino yang satu kampus dengannya.***"Alan, ini kenalkan temanku, Elisa."Aku menengok ke arah seorang perempuan yang sedang dikenalkan oleh Mike padaku. Mike adalah teman baruku di sini. Kami satu unit apartemen. Dia blasteran Indonesia-inggris. Walaupun lancar bahasa Indonesia, tapi setiap mengobrol, ia akan menggunakan bahasa Inggris. Dia lebih memilih tinggal di apartemen walaupun mempunyai rumah sendiri. Mungkin karena ingin lebih dekat dengan kampus atau karena ingin mandiri.