"Kami senang bisa mengundang keluarga besar Atmanegara makan di rumah kami yang sederhana ini." Pak Boni tersenyum sumringah saat mengatakan sanjungan pada kami, tepatnya kepada Papi dan Mami.
Pak Boni adalah bawahan Papi di kantor. Dia mengundang kami karena hari ini ulang tahun pernikahannya. Yang mengherankan kenapa harus diundang secara pribadi dan kenapa cuma keluarga kami saja. Aku mencium bau-bau "penjilat". Kenapa juga Papi mau? Secara Pak Boni hanya bawahannya Papi, itu aneh.
"Selamat anniversary pernikahan Keyla, ini yang ke berapa?" Mami tersenyum ramah sembari memberikan bingkisan kado besar ke arah istrinya Pak Boni. Aku lupa bertanya apa isinya. Biasanya Mami tidak sembarangan memberikan hadiah. Tumben Mami mau repot mencari hadiah.
"Ah kamu pura-pura tidak tahu. Sudah berapa tahun kita berteman."
Oh, pantas. Ternyata teman Mami.
Pov AlanAku bergegas keluar dari apartemen menuju kampus. Ada orang yang harus kutemui sekarang juga, dia punya utang penjelasan. Elisa.Tiba di kampus netraku mengitari seluruh sisi kampus mencari sosok cewek yang sudah membuat kegaduhan dalam hubunganku dengan Shanum."Hai bro, ada apa?" Bryan menyapaku."Kamu lihat Elis?""Tidak?" jawabnya dengan menggeleng."Why?""Nggak papa' kok. Kalau lihat dia, hubungi aku, ya.""Sip," balasnya dengan mengangkat satu jempol. Raut wajahnya menyiratkan keheranan. Namun sekarang bukan saatnya untuk menjelaskan.Permasalahan yang kuhadapi ini serius, kalau tidak diselesaikan dengan cepat dapat mengancam hubunganku dengan Shanum, dan di
POV Shanum"Num, kamu kenapa? Wajahnya masam gitu?" Aku hanya menggelengkan kepala sembari menyunggingkan senyum.Bunda masih menatapku lekat seolah tidak percaya dengan respon yang kuberikan"Nggak kenapa, Bun. Sumpek aja, bete tugas dari dosen banyak. Mintanya referensi buku yang ada di perpus. Capek, Shanum harus bolak-balik ke perpus buat nyari bukunya," jelasku agar Bunda tidak curiga. Sepertinya wajahku tidak bisa berbohong. Bunda tahu keadaan anaknya kalau sedang tidak baik.Bukan fisik yang tidak baik, tapi hati. Mungkin ini yang ditakutkan Ayah saat anaknya menjalin hubungan intens dengan lawan jenis. Hati tak karuan rasa. Belum juga setahun, sudah banyak rintangan yang menghadang hubungan kami. Bisakah hubungan melangkah sampai ke pelaminan? Fakta calon suami mantan badboy, selalu mengundang rasa curigaku padanya. Ditambah teror dari s
Ada yang aneh. Apa maksudnya dengan tidak ada di tempat? Apa semua penghuni rumah ini sudah pergi? Kemana perginya mereka sepagi ini?"Kakek Atma tidak ada? Om Yudha dan Tante Anya juga tidak ada?" tanyaku masih di balik pagar yang tertutup. Aku dibiarkannya berdiri di luar pagar tidak diizinkannya masuk."Iya, mereka tidak ada di tempat. Ada pesan dan sama Mbak siapa?" ulangnya lagi karena aku belum memperkenalkan diri."Saya Shanum, kalau begitu siapa yang berada di dalam? Apakah …." Aku terjeda mencoba mengingat nama seseorang."Wawan, apa Pak Wawan ada di rumah?" Kalau ada saya perlu bicara dengannya," pintaku.Sekuriti dengan tag nama Didin di depan dadanya menggeleng. "Pak Wawan tidak ada juga. Kalau boleh tahu ada hubungan siapa Mbak dengan orang rumah? Kalau ada pesan katakan
POV Alan.Lelah rasanya menjelaskan tapi tidak dipercaya. Para petinggi kampus mencercaku dengan banyak pertanyaan, tapi tidak ada satupun yang mempercayaiku. Di sini juga ada Elisa dan Cheng. laki-laki berwajah oriental itu memandang sinis ke arahku. Dia bahkan lebih mempercayai wanita bermulut iblis itu daripada aku yang selalu membantunya mendekati wanita tersebut. Apa dia tidak bisa berpikir logis, untuk apa aku ingin memperkosa Elisa kalau aku sendiri malah mendekatkan mereka? Benar kata orang kalau cinta itu memang buta, seharusnya dari awal aku menjauhi Elisa yang selalu bersikap agresif padaku. Kukira memang sudah begitu caranya berinteraksi, ternyata itu hanya berlaku padaku saja.Mataku fokus ke Elisa. Dia selalu tersenyum jahat kala mencuri tatap padaku tanpa disadari mereka. Seharusnya kurekam atau kufoto saja wajah iblisnya itu. Sayangnya nanti malah aku yang kena getahnya. Bahkan
Cheng berusaha menenangkan emosi Elisa. "Saya harap keputusan yang kalian ambil nanti benar, berikan keadilan untuk temanku ini. Kasihan dia, kalian bisa lihat sendiri bagaimana keadaannya sekarang." Semua serempak memindai keadaan Elisa. Satu kata, menyedihkan. Meskipun kutahu itu sandiwara tapi mereka lebih bersimpati padanya dengan mengejek dan menghujatku."Percayalah pada kami dan kamu Alan, untuk sementara ini tidak diizinkan pulang dari kampus sebelum masalah ini berhasil diselesaikan. Tunggulah keputusan dari kami.""Maksudnya?""Kamu, kami tahan sebentar di sini agar tidak kabur atau melarikan diri. Ini lebih baik daripada penjara sungguhan."Dengan pasrah kuanggukkan kepala. Mau bagaimana lagi. Mau menolak juga tidak mungkin. Lalu setelahnya mereka saling berbisik tanpa dapat kudengar, aku digiring oleh salah satu dosen untuk mengikuti langkah
POV Alan.Aku dituntun kembali ke kantor rektorat untuk menerima keputusan. Sepanjang jalan menuju ke sana, banyak mahasiswa memandang sinis padaku, terutama dari kaum hawa. Mereka tentu lebih mendukung Elisa ketimbang aku yang tertuduh dalam kasus ini.Kaget. Itu yang kurasakan saat pertama kali memasuki ruangan ini untuk kesekian kalinya. Di sana sudah banyak orang. Ada keluargaku dan mahasiswa lainnya yang ikut menyaksikan, itu artinya sidang putusan kali ini dibuka secara umum."Alan-ku sayang," seru Mami sembari memelukku erat."Uh …, anakku. Kamu sudah makan?" Kuanggukkan kepala mengiyakan. "Tidurnya gimana, nyenyak? Wajahmu kenapa? Mereka memukul kamu, Lan? Mami nggak rela anak mami diperlakukan kejam seperti ini." Beruntun Mami bertanya dengan muka sendu, dan berprasangka sendiri tentang keadaanku sekarang.
"Sayang …!" Mami merangsek memelukku lagi."Sudah kuduga kalau anakku cuma dijebak, dasar perempuan sundal!"Perempuan yang diumpat Mami itu sudah tidak ada di ruangan ini, dia sudah pergi."Mi," tegur Papi yang sudah berdiri di samping Mami."Sudah, sekarang kita pulang ke apartemen kamu." Kakek datang dan langsung memberi perintah. Wajahnya datar, pasti sangat marah padaku.Pihak kampus mengizinkanku pulang karena terbukti tidak bersalah.***"Kek, Pi, Mi. Makasih kalian susah repot datang kemari." Kuletakkan empat buah cangkir berisi kopi diatas meja di ruang tengah ke hadapan mereka.Sekarang kami sudah berada di apartemenku. Duduk bersantai sambil menikmati secangkir kopi
POV Shanum "Halo?" Suara di ujung telepon masih memanggilku. Kututup mulut untuk meredam suara rintihan tangis yang tetiba menyerang. Aku tak bisa, aku tak kuasa hingga suara sedu sedan akhirnya terdengar sampai ke seberang sana. "Shanum? Kamu nangis?" Ada kepanikan dari nada suaranya. Kumatikan segera telepon tersebut dan merangsek ke pelukan Ayah. Dadaku sesak menghimpit. Seseorang yang telah lama kurindukan akhirnya muncul walau hanya lewat telepon. "Tenang, tarik napas, hembuskan," ucap Ayah memberi saran untukku. Dielusnya punggung belakang dengan lembut. Tangisku malah semakin pecah. "Num, masih mau bicara?" tanya Nenek dengan memperlihatkan layar menyala, panggilan video dari nomor yang sama. Aku yang masih sesegukan menganggukkan kepala.