Kami semua membisu dalam ruangan serba putih ini. Sesekali saling lirik lalu sama-sama membuang muka. Om Yudha terlihat sibuk dengan ponselnya yang selalu berdering. Aku maklum, karena dia seorang pengusaha sukses. Ayah banyak bercerita tentang temannya ini.
Pintu dibuka, kami semua serempak menoleh.
Ternyata Kaif yang datang, mungkin kami semua berharap itu adalah Ayah.
Matanya menyorot padaku seperti bertanya heran. Aku hanya mengedikkan bahu, malas menjawab. Lalu ia ikut duduk di samping Bunda. Syukurlah adikku ini pandai membaca situasi dengan tetap memilih diam tanpa bertanya lebih lanjut menuntaskan rasa penasarannya.
Selang tidak berapa lama, suara derit terdengar tanda pintu dibuka kembali.
Ayah. Wajahnya datar. Ia masuk membawa lembaran kertas, aku yakin itu hasil pemeriksaanku.
"Makanya pilih teman itu dilihat bebet, bibit, bobotnya ja--""Mi …!" Om Yudha melirik tajam ke arah istrinya menghentikan Tante Anya bicara. Tante Anya langsung diam dan memanyunkan bibirnya. Ini mungkin untuk kesekian kalinya ditegur oleh Om Yudha.Memang Tante Anya ini kalau bicara suka ceplas-ceplos, tidak tahu yang diomongin benar apa nggak, tetap aja bicara. Aku tidak tahu sesabar apa Om Yudha menghadapi istrinya. Terlalu cerewet dan ingin menang sendiri. Menuduh seseorang seenak udelnya tanpa berkaca bagaimana anaknya sendiri juga bisa saja dijebak oleh temannya sendiri."Artinya dari orang terdekat ya? kak Santi dan Kak Dino. Ada tiga kemungkinan. Pertama memang mereka pelakunya dan saling bekerja sama. Kedua, ada yang memerintahkan mereka atau tiga, ada yang menjebak mereka juga untuk menjebak Kak Alan dan Kak Shanum seolah mereka dijadikan kambing hitam," j
"Ayah, Bun. Memangnya foto apaan? Boleh Shanum lihat?" Ujarku dengan mengulurkan tangan karena penasaran.Bunda mendesah berat. "Nggak usah dilihat ya, Nak. Foto itu isinya gambarmu sama Alan sedang tidur bersama." Aku menutup mulutku, terkejut. "Ada yang sengaja memfoto kalian saat tidak sadarkan diri," lanjut Bunda.Buliran bening lolos dari kedua pelupuk mata. "Maaf, Bun, Yah. Gegara Shanum, kalian jadi kena masalah." Aku menangis tergugu mengingat kebodohanku mau datang ke sana dengan berbohong pada mereka. Berharap bertemu sang pujaan hati, tapi malah petaka yang kudapat.Bunda memelukku. "Sudah, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Jadikan ini pelajaran buat kamu, lain kali nurut apa kata orang tua. Nggak mungkin kami menjerumuskanmu ke hal yang buruk." Dielusnya bahuku lembut, memberikan ketenangan.Penyesalan selalu datang diakhir. Kata
"Iya, Ma. Ini lagi di jalan mau pulang. Mama dimana?" Ayah lagi menjawab telepon. Dari nada bicaranya itu sepertinya Nenek yang menelepon."Iya, nanti Ryan jelaskan di rumah. Waalaikumsalam.""Mama?" tanya Bunda menyelidik.Ayah mengangguk. "Iya.""Pasti Bi Sumi sudah ngadu sama Mama.""Sepertinya," jawab Ayah lesu. Ibu menengok ke arahku. Kutundukkan wajah tidak ingin bersitatap dengannya."Apa yang harus kita jelaskan pada Mama." Bunda membalikkan badannya menghadap Ayah."Katakan yang sebenarnya. Mau gimana lagi." Ayah masih fokus ke depan, menyetir.Kudengar Bunda mengembuskan napas pelan. Pasti ini sangat berat untuknya dan juga Ayah.Kenapa aku tidak mati saja.
Di sinilah kami berada di rumah keluarga besar Atmanegara. Rumah dengan interior modern klasik yang menambah kesan mewah pada bangunan bergaya eropa. Langit-langit rumah yang menjulang tinggi dihiasi lampu kristal di tengahnya adalah khas rumah tersebut.Kami masuk ke dalam rumah ini disambut pelayan rumah berpakain seragam. Dari pintu utama hingga dituntun menuju ruang tengah, mataku disuguhkan pemandangan yang indah dan menakjubkan. Isi dalam setiap ruangan penuh dengan barang-barang mewah dan mahal. Nenek salah kalau mengatakan keluarga kita sepadan dengan mereka. Jauh, Nek. Rumah mereka seperti istana. Besar sekali. Pantas Ayah bilang sulit untuk menghadapi keluarga Om Yudha karena dari rumah yang sangat besar ini biasanya menyimpan kekuatan yang besar pula di dalamnya.Kami diminta duduk dan menunggu sebentar. Hampir beberapa menit duduk di kursi besar ini baru nampak penghuni rumahnya. Om Yudha, Tante Anya d
Ma, apa itu tidak berlebihan dengan memberikan Alan tantangan?"Ayah membuka percakapan saat di dalam mobil menuju pulang. Ia menoleh sebentar ke kursi belakang ke arah Nenek, dan aku mendengar dengan seksama."Mas Ryan benar, Ma. Urusan Shanum yang telah terselesaikan sudah sangat melegakan, Ma. Itu lebih dari cukup. Delia takut Alan melakukannya hanya demi memenuhi tantangan, bukan dari hati. Lalu setelah berhasil, maka dia akan kembali ke sifatnya semula." Bunda ikut menimpali ucapan Ayah. Aku setuju dengan pendapat Ayah dan Bunda. Mereka benar. Harusnya Nenek tidak perlu setuju dengan permintaan ataupun syarat yang diberikan kakeknya Alan. Ini seperti menambah masalah di hidupku. Jadi semakin rumit. Bagaimana kalau Alan berhasil, apa mungkin aku akan menikah dengannya? Oh, tidak! Membayangkannya saja aku tidak ingin apalagi kejadian. Namun kalau ditolak juga sangat tidak mungkin, kartu As-ku di tangan kakek tu
"Apa!"Kaif terkejut mendengar cerita Ayah tentang situasi di rumah Alan hingga masalah syarat yang diajukan kakeknya Alan ataupun dari Nenek."Gila, Kaif nggak ngerti kenapa ada orang bisa berbuat selicik dan sehina itu demi uang? Nggak punya hati dia," tukasnya dengan ekspresi yang berlebihan. Kesal, tapi aku suka lihatnya. Itu tandanya ia peduli."Namanya juga kepepet, If. Bisa aja. Iya kan Num, Santi bilang butuh uang. Memangnya dia pernah cerita kalau kesulitan uang?" Ibu bertanya padaku. Kujawab dengan gelengan kepala.Seingatku Santi tidak pernah cerita kalau lagi dalam masa sulit. Sejauh ini dia selalu ceria dan tidak seperti orang yang ada masalah."Kok Nenek setuju sih sama syarat itu? Yang rugi kan Kak Shanum, malah tambah sulit dong dibuatnya." Kaif masih antusias berujar mengemukakan pendapat
Tidak terasa air mata mengalir seiring membaca pesan dari Santi. Aku menangis karena tidak peka pada perasaannya. Setiap hari selalu Fatih yang kuceritakan padanya. Sampai akhirnya aku memang menjalin hubungan dengan Fatih, Santi lah tempatku curhat. Kukira senyum yang ia ukir di bibir adalah senyum kebahagiaan atas bahagiaku, ternyata salah. Aku tidak marah pada perbuatannya. Mungkin itu akibat kebenciannya padaku. Aku marah atas diamnya akan perasaan yang ia pendam untuk orang yang sama. Setidaknya, kalau ia cerita, aku bisa mencegah rasaku pada Fatih.Santi benar. Ini adalah chat terpanjangnya untukku. Mencoba menghubunginya, tapi gagal. Nomornya tidak dapat dihubungi, mati.Sekarang aku beralih ke pesan dari Fatih.[Num, kamu serius ingin hubungan kita berakhir?][Num, kenapa pesanku belum kamu baca?][Num,
Aku mulai bergelut dengan kesibukan belajar di sekolah. Hubunganku dengan Fatih memburuk, kami hampir tidak pernah saling sapa. Kalaupun harus terlibat dalam satu kelompok, biasanya aku bersikap sewajarnya, begitupun dia. Kami membahas apa yang ada hubungannya dengan pelajaran saja. Selain itu, diam adalah jalan terakhir kami kalau tidak ada lagi yang dibahas. Teman-teman satu kelas banyak yang bertanya kenapa dan ada apa melihat sikap kami yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dari yang dekat lalu menjauh."Tidak apa, kami baik-baik saja," jawabku singkat setiap kali ditanya teman.Entah kalau Fatih, aku kurang tahu tanggapannya. Ia masih sama seperti dulu, bersikap dingin. Lebih dingin lagi denganku. Tidak ada sekalipun dia bertanya padaku tentang kejelasan hubungan kami. Mungkin memang benar sudah selesai.***"Eh."&nbs