Beranda / Pendekar / Putra Titisan Dewa / 4. Perempuan Dalam Pasungan

Share

4. Perempuan Dalam Pasungan

Penulis: nataliuzone
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-08 22:10:41

Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.

Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.

“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.

“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak melihat sudah serenta apa diriku, hah?! Kau ingin aku mati di jalan saat hendak mengantarkan makanan untuk putriku? Kalau aku sampai mati saat berusaha menolong putriku bertahan hidup dari adat sialanmu ini, arwahku akan menghantuimu sepanjang waktu sampai kau mati berdiri!”

Jamitro, sang kepala dukuh hanya menunduk.

“Kalian,” tunjuk Sri Wedari pada gerombolan pemuda dukuh yang mengawaninya ke hutan saat mencari Dasimah,“buatkan pondok kecil di tepi telaga di kaki Bukit Raya sebelah Barat. Sebagai upahnya, musim panen besok aku akan bekerja di sawah kalian tanpa dibayar.”

Bias cahaya matahari yang menuju terbenam dari ufuk Barat mengantarkan Dasimah ke pondok pengasingan yang baru di bangun itu. Di sanalah nantinya Dasimah, yang sedang menjalani hukuman adat, harus menyepi seorang diri selama masa kehamilannya. Ia harus dihukum berdasarkan aturan adat yang berlaku di Dukuh Telagasari.

“Pasangkan pasungannya!”

Sri Wedari merasa hatinya bagai digodam. Melihat orang-orang memasangkan pasung ke kaki Dasimah yang tak berdaya. Ibu dan anak itu saling bertangisan. Sri Wedari tidak bisa berbuat banyak.

Sudah aturan, setiap wanita yang mengandung sebelum prosesi pernikahan di dukuh itu akan diasingkan dan dipasung selama masa kehamilannya. Dasimah bernasib malang, ia dituduh mengotori kampung, karena telah hamil tanpa menikah. Tak ada seorang pun lelaki yang merasa pernah menggaulinya.

Dasimah juga tak bisa memercayai kehamilannya. Ia yakin dirinya belum pernah di sentuh oleh lelaki manapun, apalagi hingga berbuat zina dengan sebarang pria. Dasimah yakin dirinya masih suci.

Terbersit di hatinya untuk menceritakan peristiwa aneh saat dirinya bertemu sesosok tua di tepi telaga. Hanya saja, saat ini Dasimah sendiri tidak yakin kalau hal itu sungguhan terjadi. Ia takut orang-orang akan mencapnya gila jika diceritakannya kejadian mustahil itu. Sesosok orang tua serba putih berubah jadi asap dan lalu asap itu lenyap ke dalam dirinya.

Tak akan ada orang yang percaya.

Dituduh berzina hingga berbadan dua sudah cukup berat bagi Dasimah dan Sri Wedari, konon lagi kalau sampai ia dicap gila. Dasimah tidak punya kuasa apa pun selain mengiyakan keputusan warga atasnya.

Meski Dasimah menjerit-jerit bahwa ia sama sekali belum pernah berhubungan badan dengan lelaki manapun, orang-orang tidak akan percaya. Tabib sudah memutuskan. Sejauh ini sang tabib belum pernah salah.

Satu per satu warga yang mengantar Dasimah ke pondok pengasingannya yang sempit dan kecil itu beranjak kembali ke dukuh. Tinggallah Sri Wedari, yang sudah bengkak matanya karena terus-terusan menangisi nasib malang dirinya dan sang putri.

"Sudah hampir malam, Dasimah. Aku akan pulang ke Telagasari. Makan dan minummu sampai besok ada di sini. Kau bisa menjangkaunya dengan mudah,” lirih Sri Wedari sambil menyeka air mata yang berderai di wajah putrinya. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera menjengukmu lagi.”

“Tapi, Bu, aku takut sendirian di sini,” Dasimah memegangi kain jarik Sri Wedari.

“Tak ada yang perlu kau takuti, Dasimah. Bukankah, kau sendiri sering keluar masuk hutan di lereng Gunung Raya ini? Lagi pula, jika kau tak menyepi di sini, apa kau mau dihukum rajam hingga kepalamu pecah dilempari batu?” Sri Wedari berupaya meyakinkan putrinya. Matanya menatap Dasimah dengan sayu.

Sri Wedari sebenarnya merasa khawatir, hatinya gelisah. Dasimah hanya seorang gadis biasa, tidak bisa beladiri, tidak juga mempunyai sebarang ilmu kanuragan. Cerita-cerita tentang keangkeran kaki Bukit Raya mulai menghantui pikiran Sri Wedari.

Senja terus merayap hingga bias jingga yang sore tadi membentang di langit kini lenyap. Siang telah pun berganti malam. Sri Wedari dengan berat hati meninggalkan pondok pengasingan Dasimah. Berpenerangan sebatang suluh, ia menuruni kaki Bukit Raya, pulang ke gubuknya di pinggiran Dukuh Telagasari.

Setelah ditinggal sendirian. Dasimah menatap sayu pada sepasang kakinya yang dipasung. Ia tidak yakin jika dirinya sanggup melewati sembilan bulan dalam pasungan begini rupa.

Malam pertama dirinya di dalam pondok pengasingan, Dasimah sulit sekali memejamkan mata. Suara gemericik air terjun kecil yang mencurah ke dalam telaga adalah satu-satunya hal yang saat ini disyukuri selama masa pengasingannya.

Sang ibu sudah sangat membantu dengan memilihkan tepi telaga kecil ini sebagai tempatnya mengasingkan diri. Suara berisik air terjun itu membuat Dasimah tidak merasakan kesunyian malam yang mencekam. Air terjun itu juga menyamarkan suara-suara seram binatang malam, yang pasti akan terdengar menakutkan seandainya keadaan di sana sesunyi perkuburan.

Dinding pondok itu tidaklah rapat semata. Dasimah masih bisa melihat ke luar dari celah-celah balok kayu yang menjadi dinding pondok. Di langit, beberapa bintang redup terlihat menembus mendung tipis. Angin pegunungan berembus membawa udara basah. Malam semakin merangkak. Gelap mewarnai seluruh hutan di lereng gunung itu.

Di belakang gubuk, terbentang hutan lebat yang menjadi tempat berbagai kisah menyeramkan masyarakat lereng pegunungan. Semua cerita hantu dan siluman hutan pernah mampir di telinga Dasimah. Berusaha mengenyahkan pikiran kalau saat ini dirinya berada tepat di dekat sumber semua cerita seram itu, Dasimah berharap agar dirinya segera jatuh tertidur.

Rasanya kantuk sudah hendak menyergap Dasimah ketika sekonyong-konyong tepat di tengah gelap di luar pondok, ia bagai melihat satu sosok samar menjelma perlahan-lahan, seolah mencuat keluar begitu saja dari tanah. Jelmaan sosok ini kian lama kian jelas. Dasimah merasa ngeri saat jelmaan itu bergerak seolah menembus dinding pondok. Tahu-tahu sesosok tubuh dengan pakaian serba putih telah menapakkan kaki di dalam gubuk pengasingannya.

Dasimah merasa tengkuknya dingin. Ia berharap kalau saat ini juga dirinya jatuh pingsan, sayangnya ia merasa seolah dipaksa agar tetap membuka mata. Tak lama memandangi sosok serba putih di depannya itu, Dasimah sadar kalau itu adalah sosok orang tua yang pernah ia lihat sebelumnya di tepi telaga, yang memberinya sebuah cawan perak sebelum berubah ujud menjadi asap putih.

Seketika kengerian dahsyat melanda Dasimah, hingga ia menggigil ketakutan. Matanya nyalang memandang sosok orng tua serba putih yang muncul secara misterius itu.

“Si-siapa kau?” Dalam takut dan ngerinya, Dasimah berhasil membuka mulut. “Jangan ganggu aku.”

Sosok kakek dengan rambut dan janggut putih menjuntai itu anehnya sama sekali tidak terlihat jahat. Wajahnya berseri, dan kini sedang menatap teduh pada Dasimah.

“Cah Ayu, jangan takut. Aku tidak bermaksud jahat,” ujarnya sembari memperlihatkan seulas senyum kharismatik di wajah. “Aku Sanatana. Akulah yang kini menumpang di rahimmu.”

***

- Berlanjut ke Bab 5 -

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Putra Titisan Dewa   25. Ini Aku Arya, Bu!

    "Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere

  • Putra Titisan Dewa   24. Dendam Pujaratih

    Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”

  • Putra Titisan Dewa   23. Berebut Rusa

    Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,

  • Putra Titisan Dewa   22. Dua Pemburu

    "Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b

  • Putra Titisan Dewa   21. Kehancuran Sagara Caraka

    Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak

  • Putra Titisan Dewa   20. Bocah Sakti

    "Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status