Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.
Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.
“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.
“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak melihat sudah serenta apa diriku, hah?! Kau ingin aku mati di jalan saat hendak mengantarkan makanan untuk putriku? Kalau aku sampai mati saat berusaha menolong putriku bertahan hidup dari adat sialanmu ini, arwahku akan menghantuimu sepanjang waktu sampai kau mati berdiri!”
Jamitro, sang kepala dukuh hanya menunduk.
“Kalian,” tunjuk Sri Wedari pada gerombolan pemuda dukuh yang mengawaninya ke hutan saat mencari Dasimah,“buatkan pondok kecil di tepi telaga di kaki Bukit Raya sebelah Barat. Sebagai upahnya, musim panen besok aku akan bekerja di sawah kalian tanpa dibayar.”
Bias cahaya matahari yang menuju terbenam dari ufuk Barat mengantarkan Dasimah ke pondok pengasingan yang baru di bangun itu. Di sanalah nantinya Dasimah, yang sedang menjalani hukuman adat, harus menyepi seorang diri selama masa kehamilannya. Ia harus dihukum berdasarkan aturan adat yang berlaku di Dukuh Telagasari.
“Pasangkan pasungannya!”
Sri Wedari merasa hatinya bagai digodam. Melihat orang-orang memasangkan pasung ke kaki Dasimah yang tak berdaya. Ibu dan anak itu saling bertangisan. Sri Wedari tidak bisa berbuat banyak.
Sudah aturan, setiap wanita yang mengandung sebelum prosesi pernikahan di dukuh itu akan diasingkan dan dipasung selama masa kehamilannya. Dasimah bernasib malang, ia dituduh mengotori kampung, karena telah hamil tanpa menikah. Tak ada seorang pun lelaki yang merasa pernah menggaulinya.
Dasimah juga tak bisa memercayai kehamilannya. Ia yakin dirinya belum pernah di sentuh oleh lelaki manapun, apalagi hingga berbuat zina dengan sebarang pria. Dasimah yakin dirinya masih suci.
Terbersit di hatinya untuk menceritakan peristiwa aneh saat dirinya bertemu sesosok tua di tepi telaga. Hanya saja, saat ini Dasimah sendiri tidak yakin kalau hal itu sungguhan terjadi. Ia takut orang-orang akan mencapnya gila jika diceritakannya kejadian mustahil itu. Sesosok orang tua serba putih berubah jadi asap dan lalu asap itu lenyap ke dalam dirinya.
Tak akan ada orang yang percaya.
Dituduh berzina hingga berbadan dua sudah cukup berat bagi Dasimah dan Sri Wedari, konon lagi kalau sampai ia dicap gila. Dasimah tidak punya kuasa apa pun selain mengiyakan keputusan warga atasnya.
Meski Dasimah menjerit-jerit bahwa ia sama sekali belum pernah berhubungan badan dengan lelaki manapun, orang-orang tidak akan percaya. Tabib sudah memutuskan. Sejauh ini sang tabib belum pernah salah.
Satu per satu warga yang mengantar Dasimah ke pondok pengasingannya yang sempit dan kecil itu beranjak kembali ke dukuh. Tinggallah Sri Wedari, yang sudah bengkak matanya karena terus-terusan menangisi nasib malang dirinya dan sang putri.
"Sudah hampir malam, Dasimah. Aku akan pulang ke Telagasari. Makan dan minummu sampai besok ada di sini. Kau bisa menjangkaunya dengan mudah,” lirih Sri Wedari sambil menyeka air mata yang berderai di wajah putrinya. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera menjengukmu lagi.”
“Tapi, Bu, aku takut sendirian di sini,” Dasimah memegangi kain jarik Sri Wedari.
“Tak ada yang perlu kau takuti, Dasimah. Bukankah, kau sendiri sering keluar masuk hutan di lereng Gunung Raya ini? Lagi pula, jika kau tak menyepi di sini, apa kau mau dihukum rajam hingga kepalamu pecah dilempari batu?” Sri Wedari berupaya meyakinkan putrinya. Matanya menatap Dasimah dengan sayu.
Sri Wedari sebenarnya merasa khawatir, hatinya gelisah. Dasimah hanya seorang gadis biasa, tidak bisa beladiri, tidak juga mempunyai sebarang ilmu kanuragan. Cerita-cerita tentang keangkeran kaki Bukit Raya mulai menghantui pikiran Sri Wedari.
Senja terus merayap hingga bias jingga yang sore tadi membentang di langit kini lenyap. Siang telah pun berganti malam. Sri Wedari dengan berat hati meninggalkan pondok pengasingan Dasimah. Berpenerangan sebatang suluh, ia menuruni kaki Bukit Raya, pulang ke gubuknya di pinggiran Dukuh Telagasari.
Setelah ditinggal sendirian. Dasimah menatap sayu pada sepasang kakinya yang dipasung. Ia tidak yakin jika dirinya sanggup melewati sembilan bulan dalam pasungan begini rupa.
Malam pertama dirinya di dalam pondok pengasingan, Dasimah sulit sekali memejamkan mata. Suara gemericik air terjun kecil yang mencurah ke dalam telaga adalah satu-satunya hal yang saat ini disyukuri selama masa pengasingannya.
Sang ibu sudah sangat membantu dengan memilihkan tepi telaga kecil ini sebagai tempatnya mengasingkan diri. Suara berisik air terjun itu membuat Dasimah tidak merasakan kesunyian malam yang mencekam. Air terjun itu juga menyamarkan suara-suara seram binatang malam, yang pasti akan terdengar menakutkan seandainya keadaan di sana sesunyi perkuburan.
Dinding pondok itu tidaklah rapat semata. Dasimah masih bisa melihat ke luar dari celah-celah balok kayu yang menjadi dinding pondok. Di langit, beberapa bintang redup terlihat menembus mendung tipis. Angin pegunungan berembus membawa udara basah. Malam semakin merangkak. Gelap mewarnai seluruh hutan di lereng gunung itu.
Di belakang gubuk, terbentang hutan lebat yang menjadi tempat berbagai kisah menyeramkan masyarakat lereng pegunungan. Semua cerita hantu dan siluman hutan pernah mampir di telinga Dasimah. Berusaha mengenyahkan pikiran kalau saat ini dirinya berada tepat di dekat sumber semua cerita seram itu, Dasimah berharap agar dirinya segera jatuh tertidur.
Rasanya kantuk sudah hendak menyergap Dasimah ketika sekonyong-konyong tepat di tengah gelap di luar pondok, ia bagai melihat satu sosok samar menjelma perlahan-lahan, seolah mencuat keluar begitu saja dari tanah. Jelmaan sosok ini kian lama kian jelas. Dasimah merasa ngeri saat jelmaan itu bergerak seolah menembus dinding pondok. Tahu-tahu sesosok tubuh dengan pakaian serba putih telah menapakkan kaki di dalam gubuk pengasingannya.
Dasimah merasa tengkuknya dingin. Ia berharap kalau saat ini juga dirinya jatuh pingsan, sayangnya ia merasa seolah dipaksa agar tetap membuka mata. Tak lama memandangi sosok serba putih di depannya itu, Dasimah sadar kalau itu adalah sosok orang tua yang pernah ia lihat sebelumnya di tepi telaga, yang memberinya sebuah cawan perak sebelum berubah ujud menjadi asap putih.
Seketika kengerian dahsyat melanda Dasimah, hingga ia menggigil ketakutan. Matanya nyalang memandang sosok orng tua serba putih yang muncul secara misterius itu.
“Si-siapa kau?” Dalam takut dan ngerinya, Dasimah berhasil membuka mulut. “Jangan ganggu aku.”
Sosok kakek dengan rambut dan janggut putih menjuntai itu anehnya sama sekali tidak terlihat jahat. Wajahnya berseri, dan kini sedang menatap teduh pada Dasimah.
“Cah Ayu, jangan takut. Aku tidak bermaksud jahat,” ujarnya sembari memperlihatkan seulas senyum kharismatik di wajah. “Aku Sanatana. Akulah yang kini menumpang di rahimmu.”
***
- Berlanjut ke Bab 5 -
Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”“Aku tidak mengerti, Ki ....”"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.“Seratus tahun yang lalu, a
Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.“Usir Rawung itu!”“Usir!”“Usir!”Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pad
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.