Share

4. Perempuan Dalam Pasungan

Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.

Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.

“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.

“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak melihat sudah serenta apa diriku, hah?! Kau ingin aku mati di jalan saat hendak mengantarkan makanan untuk putriku? Kalau aku sampai mati saat berusaha menolong putriku bertahan hidup dari adat sialanmu ini, arwahku akan menghantuimu sepanjang waktu sampai kau mati berdiri!”

Jamitro, sang kepala dukuh hanya menunduk.

“Kalian,” tunjuk Sri Wedari pada gerombolan pemuda dukuh yang mengawaninya ke hutan saat mencari Dasimah,“buatkan pondok kecil di tepi telaga di kaki Bukit Raya sebelah Barat. Sebagai upahnya, musim panen besok aku akan bekerja di sawah kalian tanpa dibayar.”

Bias cahaya matahari yang menuju terbenam dari ufuk Barat mengantarkan Dasimah ke pondok pengasingan yang baru di bangun itu. Di sanalah nantinya Dasimah, yang sedang menjalani hukuman adat, harus menyepi seorang diri selama masa kehamilannya. Ia harus dihukum berdasarkan aturan adat yang berlaku di Dukuh Telagasari.

“Pasangkan pasungannya!”

Sri Wedari merasa hatinya bagai digodam. Melihat orang-orang memasangkan pasung ke kaki Dasimah yang tak berdaya. Ibu dan anak itu saling bertangisan. Sri Wedari tidak bisa berbuat banyak.

Sudah aturan, setiap wanita yang mengandung sebelum prosesi pernikahan di dukuh itu akan diasingkan dan dipasung selama masa kehamilannya. Dasimah bernasib malang, ia dituduh mengotori kampung, karena telah hamil tanpa menikah. Tak ada seorang pun lelaki yang merasa pernah menggaulinya.

Dasimah juga tak bisa memercayai kehamilannya. Ia yakin dirinya belum pernah di sentuh oleh lelaki manapun, apalagi hingga berbuat zina dengan sebarang pria. Dasimah yakin dirinya masih suci.

Terbersit di hatinya untuk menceritakan peristiwa aneh saat dirinya bertemu sesosok tua di tepi telaga. Hanya saja, saat ini Dasimah sendiri tidak yakin kalau hal itu sungguhan terjadi. Ia takut orang-orang akan mencapnya gila jika diceritakannya kejadian mustahil itu. Sesosok orang tua serba putih berubah jadi asap dan lalu asap itu lenyap ke dalam dirinya.

Tak akan ada orang yang percaya.

Dituduh berzina hingga berbadan dua sudah cukup berat bagi Dasimah dan Sri Wedari, konon lagi kalau sampai ia dicap gila. Dasimah tidak punya kuasa apa pun selain mengiyakan keputusan warga atasnya.

Meski Dasimah menjerit-jerit bahwa ia sama sekali belum pernah berhubungan badan dengan lelaki manapun, orang-orang tidak akan percaya. Tabib sudah memutuskan. Sejauh ini sang tabib belum pernah salah.

Satu per satu warga yang mengantar Dasimah ke pondok pengasingannya yang sempit dan kecil itu beranjak kembali ke dukuh. Tinggallah Sri Wedari, yang sudah bengkak matanya karena terus-terusan menangisi nasib malang dirinya dan sang putri.

"Sudah hampir malam, Dasimah. Aku akan pulang ke Telagasari. Makan dan minummu sampai besok ada di sini. Kau bisa menjangkaunya dengan mudah,” lirih Sri Wedari sambil menyeka air mata yang berderai di wajah putrinya. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera menjengukmu lagi.”

“Tapi, Bu, aku takut sendirian di sini,” Dasimah memegangi kain jarik Sri Wedari.

“Tak ada yang perlu kau takuti, Dasimah. Bukankah, kau sendiri sering keluar masuk hutan di lereng Gunung Raya ini? Lagi pula, jika kau tak menyepi di sini, apa kau mau dihukum rajam hingga kepalamu pecah dilempari batu?” Sri Wedari berupaya meyakinkan putrinya. Matanya menatap Dasimah dengan sayu.

Sri Wedari sebenarnya merasa khawatir, hatinya gelisah. Dasimah hanya seorang gadis biasa, tidak bisa beladiri, tidak juga mempunyai sebarang ilmu kanuragan. Cerita-cerita tentang keangkeran kaki Bukit Raya mulai menghantui pikiran Sri Wedari.

Senja terus merayap hingga bias jingga yang sore tadi membentang di langit kini lenyap. Siang telah pun berganti malam. Sri Wedari dengan berat hati meninggalkan pondok pengasingan Dasimah. Berpenerangan sebatang suluh, ia menuruni kaki Bukit Raya, pulang ke gubuknya di pinggiran Dukuh Telagasari.

Setelah ditinggal sendirian. Dasimah menatap sayu pada sepasang kakinya yang dipasung. Ia tidak yakin jika dirinya sanggup melewati sembilan bulan dalam pasungan begini rupa.

Malam pertama dirinya di dalam pondok pengasingan, Dasimah sulit sekali memejamkan mata. Suara gemericik air terjun kecil yang mencurah ke dalam telaga adalah satu-satunya hal yang saat ini disyukuri selama masa pengasingannya.

Sang ibu sudah sangat membantu dengan memilihkan tepi telaga kecil ini sebagai tempatnya mengasingkan diri. Suara berisik air terjun itu membuat Dasimah tidak merasakan kesunyian malam yang mencekam. Air terjun itu juga menyamarkan suara-suara seram binatang malam, yang pasti akan terdengar menakutkan seandainya keadaan di sana sesunyi perkuburan.

Dinding pondok itu tidaklah rapat semata. Dasimah masih bisa melihat ke luar dari celah-celah balok kayu yang menjadi dinding pondok. Di langit, beberapa bintang redup terlihat menembus mendung tipis. Angin pegunungan berembus membawa udara basah. Malam semakin merangkak. Gelap mewarnai seluruh hutan di lereng gunung itu.

Di belakang gubuk, terbentang hutan lebat yang menjadi tempat berbagai kisah menyeramkan masyarakat lereng pegunungan. Semua cerita hantu dan siluman hutan pernah mampir di telinga Dasimah. Berusaha mengenyahkan pikiran kalau saat ini dirinya berada tepat di dekat sumber semua cerita seram itu, Dasimah berharap agar dirinya segera jatuh tertidur.

Rasanya kantuk sudah hendak menyergap Dasimah ketika sekonyong-konyong tepat di tengah gelap di luar pondok, ia bagai melihat satu sosok samar menjelma perlahan-lahan, seolah mencuat keluar begitu saja dari tanah. Jelmaan sosok ini kian lama kian jelas. Dasimah merasa ngeri saat jelmaan itu bergerak seolah menembus dinding pondok. Tahu-tahu sesosok tubuh dengan pakaian serba putih telah menapakkan kaki di dalam gubuk pengasingannya.

Dasimah merasa tengkuknya dingin. Ia berharap kalau saat ini juga dirinya jatuh pingsan, sayangnya ia merasa seolah dipaksa agar tetap membuka mata. Tak lama memandangi sosok serba putih di depannya itu, Dasimah sadar kalau itu adalah sosok orang tua yang pernah ia lihat sebelumnya di tepi telaga, yang memberinya sebuah cawan perak sebelum berubah ujud menjadi asap putih.

Seketika kengerian dahsyat melanda Dasimah, hingga ia menggigil ketakutan. Matanya nyalang memandang sosok orng tua serba putih yang muncul secara misterius itu.

“Si-siapa kau?” Dalam takut dan ngerinya, Dasimah berhasil membuka mulut. “Jangan ganggu aku.”

Sosok kakek dengan rambut dan janggut putih menjuntai itu anehnya sama sekali tidak terlihat jahat. Wajahnya berseri, dan kini sedang menatap teduh pada Dasimah.

“Cah Ayu, jangan takut. Aku tidak bermaksud jahat,” ujarnya sembari memperlihatkan seulas senyum kharismatik di wajah. “Aku Sanatana. Akulah yang kini menumpang di rahimmu.”

***

- Berlanjut ke Bab 5 -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status