Di gubuknya, Sri Wedari tidak bisa duduk tenang lagi. Hari sudah sepenuhnya gelap, namun Dasimah tak kunjung pulang dari mencari umbi-umbian, padahal hujan sudah berhenti sejak senja turun. Wanita tua itu hilang sabar. Cemasnya sudah sampai ubun-ubun.
Tidak menunggu lama, diraihnya obor dari tiang beranda gubuknya dan pergi tergesa-gesa. Sri Wedari tidak cukup berani untuk masuk hutan sendirian di tengah gelap malam begini rupa. Jadi ia memaksa beberapa pemuda dukuh untuk mengawaninya mencari Dasimah.
"Gila, tengah malam buta begini hendak ke hutan. Apa tidak bisa menunggu sampai esok pagi saja?"
"Ibunya Dasimah memang sudah gila sejak dulu."
"Iya, kalau dia waras, pasti sudah sejak lama dia membiarkan salah satu dari kita mengawini Dasimah. Jadi mereka berdua tidak perlu pontang-panting setengah mati bekerja menghidupi diri."
"Jangan-jangan Sri Wedari memang tidak mau Dasimah kawin dan dia ditinggal membusuk sendirian di gubuknya."
Gunjingan beberapa pemuda yang dipaksa Sri Wedari untuk pergi mencari Dasimah ke hutan membaur bersama dengung nyamuk di balik punggungnya. Sri Wedari bukan baru pertama kali mendengar gunjingan begitu rupa. Ia sudah kenyang. Masalahnya bukan pada dirinya, tapi Dasimah memang belum ingin menikah.
"Kalau memang takut ditinggal sendirian, Sri Wedari bisa kawin lagi, kan?" lanjut pemuda yang lain.
"Iya. Pasti di dukuh tetangga ada aki-aki peot yang masih mau kawin sama Sri Wedari." Pemuda lainnya menyahuti.
"Sri Wedari mungkin tidak doyan yang sudah peot, dia mau yang masih kencang seperti kita," menyahuti salah seorang pemuda.
"Kalau begitu dia tinggal bilang saja. Pasti ada pemuda yang mau kawin sama dia. Tidak ada rotan, akar pun jadi."
"Iya, tidak dapat gadis montok kencang, nenek-nenek keriput pun boleh. Sedikit hambar dan alot memang, tapi sudah banyak pengalamannya," lanjut berkata salah seorang lainnya.
"Tutup mulut kalian jika tidak mau kusumpal dengan obor menyala ini!" ancam Sri Wedari naik darah. Para pemuda di belakangnya langsung mendiamkan diri.
Setelah menerabas hutan dengan diterangi nyala obor, rombongan yang dikepalai langsung oleh Sri Wedari itu tiba di tepi telaga. Mereka segera saja menemukan sosok Dasimah yang tergeletak pingsan. Sri Wedari sudah pun mengira kalau putrinya itu telah tak bernyawa, sampai ia sendiri menempelkan telinga di dada sang putri dan merasa lega saat mendengar bunyi jantung.
"Dia masih hidup. Ayo angkat dan bawa pulang!" perintah Sri Wedari.
Tiga orang pemuda langsung membopong sosok Dasimah di lengan, lalu rombongan itu menderas hutan lagi untuk kembali ke dukuh. Kali ini Sri Wedari berjalan paling belakang, sambil sesekali berbisik memanggil-manggil di dekat telinga Dasimah.
Dasimah baru sadar keesokan harinya. Gadis itu linglung, dan pucat. Sri Wedari dibuat jengkel karenanya. Semua pertanyaan Sri Wedari dijawab dengan gumam dan racau entah apa oleh sang putri, seakan Dasimah terserang demam tinggi. Anehnya, badan gadis itu tidak panas. Hal ini kian menambah heran Sri Wedari.
Sepanjang hari itu, Sri Wedari merasa gila karena terus-terusan bicara sendiri. Dasimah yang berusaha diajak bicara sama sekali tidak memberikan jawaban bagi segala pertanyaan ibunya.
Sri Wedari yakin, sesuatu telah menimpa Dasimah di hutan.
Keesokan hari, keadaan Dasimah tidak kunjung baik. Perawan itu terlihat makin pucat saja, seolah semua darahnya dikuras habis.
"Apa yang terjadi padamu, Dasimah? Apa kau diguna-guna?" tanya Sri Wedari saat memaksa sang putri memakan sepotong singkong rebus.
Sri Wedari telah sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika bukan karena mengidap penyakit aneh, dirasuk dedemit hutan, maka pastilah Dasimah diteluh.
Ya, pasti seseorang yang pernah ditolak Dasimah untuk diajak kawin sakit hati lalu mengirim teluh jahat untuk putrinya itu. Sri Wedari tak bisa menahan diri untuk tidak meyakini bahwa itulah yang menimpa Dasimah. Putrinya itu disantet seorang pemuda yang sakit hati. Benar-benar tindakan pengecut.
"Aku akan membawa tabib, Dasimah. Kau akan sembuh. Kita akan mencari tahu siapa pengecut yang sudah mengguna-gunaimu lalu kita penggal kepalanya. Kemudian, biar selamanya dia tersiksa sampai hari kiamat, kita kubur kepalanya di Timur, dan badannya di Barat." Sri Wedari benar-benar sudah naik berang sampai punya pikiran gila seperti itu.
Maka tabib pun dipanggil.
Sore itu, banyak warga dukuh berkerumun di depan gubuk Sri Wedari, menanti dengan penasaran kabar guna-guna jenis apa yang menimpa Dasimah. Di dalam gubuk, Sri Wedari tentu saja lebih penasaran lagi ketimbang kerumunan warga di depan gubuknya. Sementara tabib memeriksa Dasimah, Sri Wedari duduk menunggu dengan wajah tegang.
"Dia tidak diguna-guna ...."
Sri Wedari terhenyak di lantai gubuk. Kalimat pertama sang tabib setelah memeriksa Dasimah cukup lama, benar-benar memeranjatkan dirinya. Begitu memeranjatkan sampai wanita tua itu harus terangkat dari tanah yang jadi lantai gubuknya.
"Apa maksudmu putriku tidak diguna-guna? Apa kau buta tidak bisa melihat bagaimana keadaannya? Dia jelas diguna-guna. Bicaranya tidak jelas. Dia pucat seolah tak berdarah. Lihat matanya!" tunjuk Sri Wedari. "Pandangannya kadang nyalang, kadang kosong. Itu semua tanda kalau dia terkena guna-guna."
"Dia tidak diguna-guna," ulang sang tabib lebih meyakinkan.
"Lalu apa!" sentak Sri Wedari naik pitam.
"Putrimu sedang berbadan dua. Dia mengandung jabang bayi di dalam perutnya. Itulah mengapa dia terlihat pucat."
Kerumunan orang banyak di depan gubuk langsung berdengung, seolah segerombolan lalat di atas seonggok bangkai. Padahal sang tabib sudah bicara pelan sekali, agar ucapannya tidak sampai merembes menuju telinga orang-orang di luar sana.
Di dalam gubuk, darah Sri Wedari kontan mendidih.
"Bicara yang benar, Tabib, atau kupentung batok kepalamu dengan tanganku sendiri sampai rengkah," ancam Sri Wedari. Ia tak terima putrinya dikata mengandung.
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, Sri Wedari. Terserah kau mau percaya atau tidak."
"Bagaimana bisa? Aku tahu putriku. Sepanjang waktu dia selalu bersamaku. Belum ada lelaki yang mengawininya, bagaimana mungkin dia bisa berbadan dua?"
Sri Wedari merasa kepalanya siap meledak, membayangkan nasib yang akan menimpa dirinya dan Dasimah jika perkataan sang tabib ternyata benar.
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Sri Wedari. Aku hanya bisa memastikan kalau Dasimah sungguh-sungguh tengah berbadan dua."
Maka begitulah yang kemudian dipercaya warga, bahkan Sri Wedari tak punya kuasa untuk menentang. Dasimah putrinya tengah mengandung. Entah lelaki mana yang telah membuat putri semata wayangnya itu sampai bisa berbadan dua.
"Dasimah, tega sekali kau mempermalukan kita berdua!" pekik Sri Wedari lalu melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Dasimah.
Dasimah mulai menangis. Pandangannya masih kosong. Saat Sri Wedari yang murka hendak menempelenginya lagi, sang tabib menghalangi.
"Dia putrimu, Sri Wedari. Jangan kau sampai gelap mata menambah penderitaannya."
"Karena dia putriku, maka kau jangan berani-beraninya menghalangiku! Atau kau mau kutempeleng juga?" hardik Sri Wedari dengan mata membeliak marah.
"Hukum Dasimah sesuai tradisi saja!"
"Iya, hukum Dasimah! Hukum Dasimah!"
Di depan gubuk, warga yang sudah mendengar semua percakapan di dalam gubuk mulai berteriak riuh.
Mendengar teriakan warga, Sri Wedari lemas lututnya dan jatuh tersungkur di depan sang putri. Sesaat kemudian, wanita tua itu mulai menangis tersedu-sedu sambil memeluki tubuh putrinya.
"Anakku yang malang ... anakku yang malang ...," ucap Sri Wedari di sela-sela isak tangisnya.
***
- Berlanjut ke Bab 4 -
Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak m
Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”“Aku tidak mengerti, Ki ....”"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.“Seratus tahun yang lalu, a
Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.“Usir Rawung itu!”“Usir!”“Usir!”Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pad
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat