Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.
“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.
“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”
“Aku tidak mengerti, Ki ....”
"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”
Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.
“Seratus tahun yang lalu, ada kekuatan jahat yang hendak menguasai semua kehidupan di dunia. Aku pernah berhasil menumpasnya, setidaknya kupikir diriku sudah berhasil. Namun ternyata aku salah. Saat ini diam-diam kegelapan sudah kembali bangkit. Apa yang kupikir sudah punah seratus tahun yang lalu kini mulai merayap pelan-pelan, menitis lewat penguasa lalim negeri ini.
Seperti yang kau lihat, Cah Ayu. Aku sudah terlalu renta untuk menumpasnya sekali lagi dalam ujud ini. Maka dari itu aku perlu menitis ke dalam rahimmu, perawan suci yang dipilih dewata sebagai ibu Arya Tarachandra. Aku akan menitis ke dalam diri putramu.
Kehamilanmu tidak akan seperti wanita hamil pada umumnya, Cah Ayu. Kau tidak perlu takut atau mencemaskan semua kejadian ajaib yang akan menimpamu nantinya. Kau akan baik-baik saja selama aku berada di rahimmu. Ini tidak akan lama.
Arya Tarachandra akan lahir pada purnama gerhana tahun ini. Tujuh malam dari sekarang. Kau hanya perlu tabah, Cah Ayu. Setelah Arya Tarachandra lahir, jaga dan asuh dia tak kurang dari tujuh tahun. Dia tidak akan terlihat seperti anak-anak pada umumnya, akan banyak keanehan yang akan kau temukan pada dirinya kelak.
Itu pun tidak perlu kau cemaskan. Tanggung jawab pengasuhanmu akan selesai setelah tujuh tahun itu. Sesudahnya, kau akan tetap jadi ibu bagi Arya Tarachandra, dia tetap putramu. Namun yang perlu kau sadari, Cah Ayu, ada tanggung jawab mahaberat yang jatuh ke pundaknya saat dia dewasa nanti, untuk menumpas kejahatan dan melindungi kaum yang lemah. Kau harus ikhlas ....”
Sosok serba putih itu tersenyum sekali lagi pada Dasimah, sebelum perlahan-lahan memudar dan lenyap sepenuhnya. Dasimah tidak sadarkan diri bersamaan dengan lenyapnya jelmaan Sanatana di gubuk itu.
***
“Mustahil!”
Sri Wedari terbeliak besar saat mengunjungi gubuk pasungan Dasimah keesokan sorenya. Bungkusan daun pisang berisi makanan yang dibawanya untuk sang putri sampai menggelinding jatuh dari tangan.
Bagaimana tidak, baru satu hari berlalu sejak Dasimah diasingkan, hari ini Sri Wedari mendapati perut putrinya sudah pun membesar. Wanita tua itu sadar kalau sesuatu yang aneh sedang terjadi pada diri putrinya.
“Ini tidak benar, Dasimah. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Kemarin perutmu masih rata saat kutinggalkan, tapi hari ini kau persis seperti sedang hamil tujuh bulan.”
Sri Wedari merasa tubuhnya tak bertulang. Ia jatuh terduduk di depan pasungan Dasimah, pandangannya masih terbeliak pada perut Dasimah yang besar.
Dasimah mendadak kembali seperti orang linglung. Ia hanya menatap Sri Wedari antara sadar dan tidak. Sampai Sri Wedari lelah berbicara sendiri, Dasimah hanya menjawabnya dengan gumam dan racau tak jelas.
Sri Wedari menyerah. Ia meninggalkan gubuk lebih awal dari kemarin, pulang berjalan kaki sambil memohon kepada yang mahakuasa untuk melindungi Dasimah dari semua keanehan yang sedang menimpanya.
Keanehan itu berlangsung setiap hari. Sri Wedari menyaksikan bagaimana perut Dasimah kian bertambah besar seiring hari dengan mata kepalanya sendiri. Ia masih belum bisa menerima dengan akal sehat bagaimana perkembangan kehamilan Dasimah bisa berlangsung begitu cepatnya.
Pada kunjungannya di hari keenam, dilihat dari kondisi perut Dasimah yang meninggi, Sri Wedari yakin dua atau tiga hari lagi putrinya itu akan melahirkan seorang bayi. Wanita tua itu sudah kehabisan semua kata-kata untuk mengungkapkan keheranannya. Ia hanya menatap sayu pada Dasimah yang terlihat kian lemah saja.
“Jaga dirimu, Dasimah. Aku yakin kau akan segera melahirkan tak berapa lama lagi. Kuharap aku bisa mendampingimu saat itu terjadi, tapi aku tidak bisa melanggar aturan lagi. Kita tentu tidak mau leluhur dukuh makin murka pada kita, kan?”
Sri Wedari meninggalkan Dasimah dengan hati masygul. Terbersit dalam pikirannya untuk membebalkan diri dan ikut menginap bersama sang putri di dalam gubuk, tapi ia terlalu takut hal itu malah akan mendatangkan petaka baru bagi dirinya dan Dasimah. Dengan berat hati, ia meninggalkan Dasimah sendirian menunggu persalinannya yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, melihat kondisi perutnya.
Apa yang dikatakan Sri Wedari ternyata terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Kehamilan Dasimah tidak menunggu dua atau tiga hari lagi. Persalinannya terjadi lebih cepat dari yang disangkakan Sri Wedari.
Malam itu, purnama empat belas hari menerangi langit di atas Dukuh Telagasari. Purnama juga menyuluh sampai ke celah belukar di belantara gubuk pasungan Dasimah. Purnama seolah mendatangkan kekuatan bagi perempuan hamil itu. Matanya terbuka lebar, seolah untuk pertama kalinya ia mendapatkan kesadaran penuh atas dirinya.
Pemandangan pertama yang dilihat Dasimah adalah puncak perutnya sendiri. Seolah ia sudah genap mengandung selama sembilan bulan lamanya. Ingatan membawa Dasimah pada kejadian di malam pertama dirinya dipasung. Sabda jelmaan yang mengaku diri sebagi Sanatana kembali terngiang.
Sebelumnya, Dasimah mengira kalau kemunculan sosok putih itu hanyalah sebuah mimpi, atau dirinya sedang berkhayal. Malam ini saat bulan empat belas hari menyuluh pasungannya, Dasimah mendapatkan keyakinan kalau hal itu sungguhan terjadi.
“Apakah ini saatnya?” bisik Dasimah seorang diri.
Di luar, mendadak gelap perlahan-lahan merambat. Di langit, bulan empat belas hari yang tadinya bulat penuh, sedikit demi sedikit mulai menyusut. Bukan tertutupi awan, tapi seolah bulan menyusutkan dirinya sendiri.
Dasimah menyadari hal itu. Pemandangan terakhir Dasimah sebelum bulan benar-benar hilang dan menggulitakan segala, adalah rembesan cairan merah dari sela-sela kakinya. Persalinannya sudah dimulai.
“Bantu aku, Dewa Jagat Bathara ...,” bisik Dasimah sendirian.
Apa yang disabdakan jelmaan Sanatana benar adanya. Dasimah akan melahirkan ketika gerhana bulan, pada malam ketujuh setelah peristiwa penjelmaannya di gubuk itu.
Sementara itu di Dukuh Telagasari ....
Sri Wedari dikejutkan suara kentongan bertalu-talu, seolah benda itu dipukul beramai-ramai oleh seluruh warga dukuh. Saat Sri Wedari membuka mata, segala sesuatu sudah berubah gelap. Sontak wanita tua itu mencelat bangun dari dipan.
“Oh, Dewa, dosa putriku ternyata begitu besarnya hingga kau juga menghukumku menjadi buta.”
Sri Wedari sudah akan menangis sebab mengira ia ikut dihukum Dewa atas kesalahan putrinya, ketika telinganya mendengar seruan-seruan.
“Rawung sedang memakan bulan!”
“Rawung sedang memakan bulan!”
“Rawung sedang memakan bulan!”
Tak ada warga yang tidak tahu apa itu Rawung. Ia adalah raksasa langit yang dipercaya akan memangsa bulan jika sedang marah. Sri Wedari sadar kalau dirinya ternyata tidak buta. Ia tidak bisa melihat apa pun karena Rawung sedang menelan bulan dan membuat semua cahaya padam.
***
- Berlanjut ke Bab 6 -
"Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere
Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”
Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,
"Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b
Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec