LOGINAda secercah harapan untuk selamat.Akhirnya, Andini tertawa di sela air matanya. Dia segera berlari kembali ke sisi Abimana dan mengguncangnya dengan semangat. "Abimana, aku berhasil! Kita selamat! Abimana, dengar nggak? Kita selamat!"Namun, suaranya tenggelam dalam kegelapan malam, tak mendapat sedikit pun jawaban.Untungnya tak lama kemudian, orang-orang dari Lembah Raja Obat tiba. Mereka membawa Andini dan Abimana turun ke dasar lembah.Saat seorang lelaki tua berambut putih muncul, Andini masih duduk di sisi Abimana sambil menyeka keringat dingin di dahinya."Hmm? Siapa ini?" suara Kepala Lembah Raja Obat terdengar dingin dan penuh ejekan.Andini tidak peduli pada nada sinis itu. Dia segera berdiri dan menunduk hormat, lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Mohon, Kepala Lembah, tolong selamatkan kakakku."Kepala Lembah melirik sekilas ke arah Abimana, lalu berkata dingin, "Kamu kira tempat ini apa? Siapa pun bisa seenaknya meminta pertolongan dari Lembah Raja Obat?"Andini terteg
Daun-daun busuk di lantai hutan sudah menutupi mata kaki. Tubuh Abimana memang tidak setinggi Surya, tetapi dia tetap jauh lebih tinggi dari Andini. Sejak bergabung dengan pasukan, dia berlatih keras dan tubuhnya kini sangat tegap, beratnya juga jelas tidak ringan.Andini sama sekali tidak punya tenaga untuk mengangkatnya ke atas kuda. Satu-satunya pilihan adalah memanggulnya dan berjalan perlahan ke depan.Langkah demi langkah terasa berat dan sulit. Ketika Andini tersandung ranting kering dan terdengar suara patahan, tubuh Abimana di punggungnya pun merosot sedikit.Tidak bisa terus begini.Andini berpikir sejenak, lalu menebas ujung roknya dengan pedang untuk merobek sehelai kain dan mengikat dirinya bersama Abimana dengan erat agar tidak tergelincir lagi. Setelah itu, dia menjadikan pedang sebagai tongkat penopang, melangkah maju satu per satu.Napas Abimana yang lemah menyapu lembut di dekat telinganya.Mendadak, kenangan masa kecil menyeruak di benaknya. Dulu, entah berapa kali d
Jalan pegunungan yang mereka lewati terjal dan sulit dilalui. Ditambah lagi kuda itu menanggung dua orang, tak lama kemudian kecepatannya pun menurun.Andini tampak cemas, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada pengejar. Sementara pandangan Abimana jatuh pada sebuah batu nisan tak jauh di depan. Dia tersenyum samar dan berkata, "Kita sudah sampai di perbatasan Lembah Raja Obat. Tenang saja, para pembunuh itu nggak akan berani mengejar lebih jauh."Mengikuti arah pandangnya, Andini melihat tulisan "Lembah Raja Obat" di batu itu. Seketika hatinya merasa lega.Di bawah sinar bulan, dia memandang jalan di depan. "Di depan sana itu Lembah Raja Obat?""Mm."Suara Abimana yang rendah terdengar dari atas kepalanya. "Jalan terus 100 meter lagi, kita akan keluar dari hutan. Di sana akan ada beberapa pohon bunga persik. Meski sekarang bukan musimnya, di sekitar lembah itu, bunga persik selalu mekar sepanjang tahun.""Di bawah pohon ketiga, ada batu sebesar kepalan tangan. Di bawah
Malam itu tidak ada angin, tetapi dedaunan di hutan berdesir lembut. Andini terkejut, kemudian menurunkan suaranya dan berkata, "Jangan-jangan ada binatang buas di hutan?""Nggak mungkin." Abimana sudah berdiri sambil mencabut pedangnya, kemudian melangkah ke depan Andini, menariknya berdiri dan melindunginya di belakang. "Di sekitar Lembah Raja Obat, nggak ada makhluk hidup yang berani mendekat."Kalau bukan binatang buas, berarti ... pasti para pembunuh!Tiba-tiba terdengar suara tajam yang menembus udara. Beberapa anak panah meluncur dari dalam hutan dan menyerang mereka berdua.Abimana segera menarik Andini ke belakang, lalu mengayunkan pedangnya dan menangkis anak panah itu. Namun belum sempat berdiri tegak, belasan orang berpakaian hitam menerobos keluar dari balik pepohonan.Abimana menurunkan pandangan matanya, wajahnya menegang dan mengumpat pelan, "Sepanjang jalan nggak ada pasukan pengejar, rupanya mereka sudah menunggu di sini seperti pemburu menunggu mangsanya!"Dari kelom
Kresna jelas sempat mengucapkan sesuatu padanya.Tiba-tiba, suara Abimana terdengar. "Mungkin ... Ayah akan dipenjara."Mendengar itu, Andini tercengang. "Dipenjara?"Hanya itu?Abimana mengangguk mantap. "Benar. Si Gumar itu nggak benar-benar melihatmu. Bagaimana dia bisa memastikan kalau yang ada di dalam kereta itu kamu? Kalau dia nggak bisa memastikan, bagaimana mungkin Ayah bisa dijatuhi hukuman? Hal-hal lain pun nggak akan menyeret nama Keluarga Adipati."Bagaimanapun juga, nama Andini bahkan tak tercatat di silsilah Keluarga Biantara.Dulu Andini selalu menganggap Abimana hanyalah seorang pria kasar yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Namun kali ini, setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu masuk akal. Anehnya, dia memercayainya sepenuhnya.Akhirnya, hati yang selama ini terus diliputi kecemasan perlahan tenang. "Kalau begitu, syukurlah."Dia menghela napas panjang, sudut bibirnya terangkat, menampilkan senyuman tipis yang bahkan tidak dia sadari sendiri.Abimana
Dua ekor kuda itu berlari tanpa henti selama sehari semalam. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah kota kecil.Setelah Abimana mengatur tempat menginap untuk Andini, dia pergi mencari kandang kuda untuk menukar tunggangan mereka. Saat dia kembali ke penginapan, langit sudah sepenuhnya gelap.Awalnya dia mengira, setelah menempuh perjalanan sepanjang hari, Andini pasti sudah beristirahat. Namun, ternyata pintu kamarnya terbuka lebar, cahaya lilin menyala lembut di dalam, seolah-olah sedang menunggu seseorang.Melihat cahaya temaram yang menyorot keluar dari balik pintu itu, Abimana mengepalkan tangannya sebentar, menenangkan emosinya, lalu melangkah masuk."Kenapa belum tidur?" Suaranya rendah, berusaha terdengar biasa saja, seolah-olah tak ada yang terjadi.Andini sedang duduk di depan meja kecil berbentuk persegi. Di atasnya terhidang dua lauk dan satu mangkuk sup. Melihat Abimana datang, ekspresinya datar. "Aku menunggumu makan."Abimana mengangguk, lalu masuk ke kamar dan duduk. Makan







