AREA DEWASA 21+ Ibuku menikah lagi dengan konglomerat tua kaya raya yang memiliki 3 orang putra: Aresh seorang Direktur, Aaron sang CEO dan putra ketiga Arsion, masih seorang mahasiswa sama seperti diriku. Setelah pernikahan, ibu dan ayah tiriku pergi bulan madu keliling dunia, membuat diriku terpaksa tinggal satu atap dengan ketiga kakak tiriku yang dingin. Awalnya semua berjalan normal, aku tetap diabaikan oleh ketiga orang itu, sampai pada suatu malam... saat aku diam-diam menikmati hobiku yaitu mengintip Aresh yang tiap malam membawa wanita cantik pulang dan bercinta dengan sangat liar, Aaron memergoki tindakanku dan.... "Adikku yang cabul, mau kupuaskan?"
View More“Ternyata kamu gadis nakal.”
Aku tersentak mendengar suara berat Aaron tepat di belakangku. Kurasakan tubuhnya menempel rapat, panasnya menembus tipis kain bajuku. “K-Kak… aku tidak–” Bibirku dibekap telapak tangannya, sementara pinggangku dicekal kuat. “Lanjutkan menonton,” bisiknya, serak, menggoda. “Jangan pejamkan matamu.” Melalui celah kecil pintu yang terbuka, tatapanku kembali terarah pada Aresh, kakak tiri pertamaku, yang tengah menghunjam tubuh wanita di bawahnya tanpa ampun. Ranjang berderit, desahan bercampur raungan sensual, membuat darahku mendidih. Leherku meremang saat napas panas Aaron menyapu kulitku. Ia terkekeh pelan. “Kamu tampak sangat menikmatinya,” bisik Aaron, suaranya menancap di telingaku. “Jadi, bagaimana kalau kita mencobanya juga malam ini, Adik Tersayang?” Suara dalam Aaron, mengirim getaran aneh ke tubuh bagian bawahku, aku pun gemetar tanpa sadar. *** Beberapa hari sebelumnya.... “Waaah, besar sekali!” Aku meloloskan desah penuh kekaguman saat melihat rumah megah di hadapan. Hal itu memancing tawa dari ayah baruku, sementara pipi ibuku bersemu kemerahan–mungkin malu karena ucapanku yang polos tersebut. “Manis sekali anak gadis ini,” komentar ayah baruku sambil tersenyum. Beliau menepuk-nepuk puncak kepalaku pelan. “Ayo masuk dulu, Sherry. Saya kenalkan dulu pada kakak-kakakmu.” Belum lama ini, ibuku yang cantik menikah lagi dengan seorang milyuner tua yang membawa tiga orang putra ke dalam pernikahan. Ayah baruku itu adalah orang yang hangat dan humoris, membuatku sulit untuk tidak menyukainya. Apalagi memang ia membuat ibuku tampak bahagia setelah bertahun-tahun sengsara bertahan hidup tanpa dukungan suami. Aku masuk ke dalam rumah megah yang tidak pernah kubayangkan akan bisa kutinggali. Ruang utamanya begitu lapang, dengan langit-langit tinggi yang membuat segalanya terasa lebih besar dari seharusnya. Semua tampak bersih, teratur, dan mahal–sungguh mencerminkan betapa kayanya pria yang menikahi ibuku tersebut. “Itu kakakmu yang nomor dua,” kata ayah baruku saat seorang pria berbadan tegap berjalan menuruni tangga. Membuatku langsung mengarahkan pandangan ke arahnya. Tatapan mata tajamnya yang sempat melihatku tampak dingin, sementara setengah wajahnya yang lain tertutup masker hitam. “Aku pergi dulu. Ada masalah kantor,” kata pria itu pada ayah baruku dengan nada datar. Lalu tanpa menunggu respons, ia langsung keluar rumah. Ayah baruku menghela napas. “Haa. Anak itu….” Tatapanku tiba-tiba tertuju pada sesuatu di atas lantai. Sebuah kunci motor. Apakah pria tadi menjatuhkannya? “Maaf, permisi sebentar, Om,” kataku. Tanpa pikir panjang, aku ambil benda itu dan mengejar si kakakku yang nomor dua. "Kak!" panggilku dengan suara cukup keras. Pria itu menghentikan langkah, menoleh ke arahku dengan kening berkerut. Meski tampak tidak ramah padaku, aku tetap berjalan mendekat sembari mengulurkan kunci yang kutemukan tadi. "Kak, ini tadi jatuh," ucapku sambil tersenyum. Ekspresi pria itu tampak semakin dingin, kerutan di keningnya bertambah. Ia meraba sakunya terlebih dahulu sebelum kemudian tangannya terulur ke arahku. Kupikir, ia akan mengambil kunci yang kusodorkan padanya ini, tapi hal yang mengejutkan terjadi. Dengan satu gerakan keras, dia mencengkeram tanganku dan menyentakku mendekat untuk berbisik dengan suaranya yang dingin, “Siapa yang kamu panggil ‘Kak’? Tidak tahu malu.” Tubuhku menegang. Aku tidak sempat bereaksi lebih jauh karena dia sudah mengambil kunci di tanganku dan berbalik untuk melangkah pergi "Sialan, pagi yang menyebalkan," desisnya, terdengar sangat kesal. Sepasang mataku membola. Pria itu … benar-benar tidak menyukaiku ya? Dengan hati terluka, aku kembali ke tempat ibu dan ayah tiriku menunggu. Rupanya, selain Aaron, kakakku yang nomor dua tadi, saudara tiriku yang lain sudah tidak ada di rumah. Beliau pun baru mendapatkan kabar tersebut dari pelayan, bahwa Aresh dan Arsion, dua kakakku yang lain, sudah lebih dulu pergi dari rumah saat para orang tua menjemputku tadi. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan sikap mereka. Karena toh memang sulit menerima orang baru. Apalagi, hari ini ayah tiri dan ibuku pergi berbulan madu. Aku tidak mau mereka melihatku sedih hanya karena sikap para kakak baruku. Namun, setelah mereka berangkat ke bandara, tak urung aku merasa kesepian dan kurang kerjaan. Karenanya, aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar rumah. Langkahku membawaku ke tempat yang asing di tengah taman belakang. Ada bangunan kecil di belakang rumah—yang aku tidak tahu untuk apa kegunaannya. Bangunan itu berdiri agak terpisah dari rumah utama. Ukurannya tidak besar, hanya satu lantai dengan cat dinding warna putih. Di bagian depan ada teras kecil dengan beberapa kursi kayu.. “Tempat apa ini…?” gumamku, menatap pintu kayu yang sedikit terbuka. Dari dalam terdengar suara aneh. Suara desahan yang aku tidak tahu apakah pemiliknya sedang kesakitan atau tengah dibuai kenikmatan. Tiba-tiba jantungku berdegup tak karuan. "Suara apa itu?" Karena penasaran, perlahan aku mendekat dan mengintip melalui celah pintu. Dan pandanganku membeku. Seorang pria tanpa busana tengah bergerak liar di atas seorang wanita. Otot-otot pria itu bergerak liar, keringat bercucuran. “Aresh–ah! Lebih cepat lagi–” Mataku membelalak. Napasku tercekat sementara wajahku memanas melihat adegan liar di depanku, apalagi saat tahu siapa pria yang membuat wanita itu mendesah dengan suara basah. Bukankah itu Aresh? Kakak tiriku yang pertama? “A-aku harus pergi…” Merasa bahaya yang tak terkatakan, aku segera berbalik, berlari secepat mungkin. Kakiku nyaris terantuk batu, jantungku berdetak seperti ingin meledak, tapi aku terus berlari secepat mungkin. Malam itu aku tak bisa tidur. Bayangan pria entah siapa yang bercinta dengan begitu liar tersebut terus menari di kepalaku, membuat jantungku berdebar kencang. Aku sama sekali tidak tahu bahwa saat meninggalkan bangunan tadi untuk kembali ke rumah utama, ada sepasang mata tajam yang mengamatiku.Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa
"Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita
Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang
“K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi
"Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T
Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments