Share

Bahagia?

Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya.

"Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.

Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.

Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangka di balik sikap Mitha yang keras dan kejam ternyata memiliki sisi lembut dan manis.

"Jangan bilang kau suka amnesia dadakan. Lupa keberadaanku atau mungkin perlu kita mengulang yang semalam?" Vano mengerling nakal kepada Mitha.

Blush!

Mungkin saat ini wajah Mitha sudah seperti kepiting rebus. Akhir-akhir ini Vano suka sekali menggodanya. Dia kadang lupa, benarkah Vano lelaki yang sama? Yang menikahinya tiga tahun lalu? Bersumpah akan menyakitinya seumur hidup. Semua seperti mimpi bagi wanita itu. Dia bahagia dan berharap tidak akan pernah bangun lagi.

"Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita." Vano mengacak puncak kepala Mitha dan melabuhkan sebuah kecupan ringan di keningnya sebelum melangkah keluar.

Mitha hanya mengangguk, mengulas senyum tipis. Tatapan bahagia mengiringi langkah Vano yang menjauh.

**

Mitha menatap pantulannya di depan cermin. Lengkung senyum terbit di bibirnya. Senyum yang belakangan ini selalu terukir di wajahnya. Semua di mulai seminggu yang lalu. Sejak terakhir dia mabuk dan menghabiskan malam panas di apartemen suaminya.

Esoknya Mitha mendapati Vano membawa barang-barangnya ke rumah yang selama ini dia tempati. Memang, selama pernikahan mereka, Vano dan dirinya tidur terpisah. Lelaki itu tinggal  di apartemen sedangkan Mitha di rumah hadiah pernikahan dari Hermawan.

"Apa yang kau lakukan, Mas?" Mitha terkejut dengan kehadiran Vano lengkap dengan dua koper besar miliknya.

Vano hanya melirik sambil mengeluarkan satu per satu barang bawaannya dari dalam koper.

"Mas, Aku tanya! Kamu ngapain bawa barang segini banyak?" ulangnya berdiri di pintu kamar.

"Aku pindah ke sini," jawab Vano acuh.

Netra Mitha membola, berderap mendekati Vano. "Pindah? Maksudmu ... tinggal di sini?!" tanya wanita itu. Dia terlihat shock.

"Ya, kenapa?"

"Apa yang kamu rencanain, Mas!" cecar Mitha, lagi.

Vano menatap Mitha, meraih jemari wanitanya menautkan dengan jemarinya. "Aku berencana tinggal dengan istriku, tidur, dan bangun dengan melihatnya. Apa itu salah?" tanya Vano lembut.

Jawaban Vano membuat Mitha semakin bingung, ini bukan Vano, bukan suami yang di kenalnya. "Kamu sehat, 'kan, Mas?" tanya Mitha lagi.

Vano tertawa terbahak. Mitha terpana. Selama ini Vano tidak pernah tertawa selepas ini, kecuali saat bersama Evelin.

Satu-satunya wanita yang dicintai suaminya itu. Ada sedikit nyeri yang mengganggu hatinya ketika mengingat itu.

Mitha menutup mata dan  mengembuskan napas kasar. Entah mengapa dia masih bingung dengan perubahan vano yang tiba-tiba. Netranya menangkap nampan yang berisi segelas kopi yang tadi dibawa Vano. Menyuguhkan minuman setiap pagi menjadi kebiasaan lelaki itu sekarang.

Jika boleh jujur, Mitha bahagia dengan perubahan laki-laki itu. Selama tiga tahun lamanya dia mencoba meraih hati Vano, melindunginya dari balik bayangan. Mengotori tangannya agar sang lelaki tetap duduk tenang di kursinya. Hanya Mitha dan Hermawan yang tahu begitu banyak lawan bisnis yang menginginkan kejatuhan klan Hermawan. Mereka menyerang melalui Vano karena hanya dia yang paling lemah dan mudah di pengaruhi, tetapi laki-laki itu sama sekali tidak menyadarinya.

**

Wangi masakan menyambut langkah Mitha di meja makan. Tampak Vano sedang menuang air mineral ke dalam gelas. Mitha tersenyum geli, bayangkan saja, dia terlihat 'menakjubkan' dengan celemek berwarna merah yang melekat di tubuh berototnya.

"Hai, sarapan, yuk! Aku masak nasi goreng special buat kamu," ujar Vano, menyadari kehadiran Mitha.

 

Mitha menyesap kopi yang di bawa dari kamar untuk menyembunyikan senyumnya. "Kamu masak?" Mitha mendekat ke meja makan.

"Emm, ya ... cobain deh," Vano menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Mitha.

Mitha bergeming. Satu lagi perlakuan manis Vano. Sesaat angannya melayang berharap ini bukan hanya sebuah kamuflase. Suatu hal yang wajar jika wanita itu curiga, mengingat perubahan drastis lelaki itu.

"Mit!" panggil Vano, sendok masih menggantung di udara.

Mitha gelagapan. "Eh, iya ...." Vano mengisyaratkan membuka mulutnya.

"Bagaimana, enak?"

"Enak banget, kamu yang masak, Mas?" tanya Mitha takjub.

Vano tersenyum puas. "Aku suapin, ya," tawarnya tanpa memberi kesempatan Mitha untuk menolak.

Rasa hangat perlahan menyelubungi hati Mitha. Musim semi mengganti kemarau di hatinya. Bunga- bunga cinta mulai bermekaran. Beku yang selama ini menyekap sebongkah daging di dada perlahan meleleh. Salahkah jika kini dia berharap lebih? Berharap Vano tulus mencintai dirinya.

**

Mitha tersenyum membaca notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya. Satu bulan sudah romantisme antara dia dan Vano mengalir seperti air. Begitu tenang sekaligus memabukan, rasa hangat perlahan masuk ke dalam hati yang membeku. Sedikit demi sedikit  menebas prasangka yang masih menggayuti hatinya. Pelangi terbit di hati wanita itu. Tunas-tunas kecil mulai tumbuh seiring kebersamaan mereka. Mitha pun mulai berharap lebih terhadap hubungan ini.

"Sepertinya ponselmu lebih menarik  ketimbang aku," suara Max menghamburkan lamunannya.

Mitha mengangkat kepala. Entah sejak kapan Max berdiri di seberang meja kerjanya. Mata lelaki itu  menyorot tajam menatapnya.

"Pernahkah kau diajarkan tata krama? Mengetuk pintu dulu sebelum masuk," tegur Mitha dengan nada sinis.

Max terkekeh, bergerak duduk dengan santai di kursi putar di depan wanita itu. Kedua kakinya saling menupang dengan punggung tegak, sepasang tangannya tergeletak bebas di atas lengan kursi.

"Mit, aku ngga bisa menunggu lagi, sampai sekarang kau belum menjawab pertanyaanku."

"Pertanyaan yang mana?" jawab Mitha acuh. Jemarinya sibuk menari di atas ponsel miliknya.

Max geram, dia tidak terima dengan sikap Mitha yang mengacuhkan dirinya.

"Mitha! Aku cukup sabar menghadapi sikapmu. Jangan salahkan jika aku memaksamu!" ancamnya.

Mitha meletakan ponselnya, menjalin jemari di bawah dagu dengan siku bertumpu di atas meja.

"Max, hentikan semua kegilaan ini. Aku kakak iparmu! Itu kenyataannya. Dulu kau pergi begitu saja, tanpa pesan atau apa pun. Tiga tahun, Max! Selama itu aku jatuh bangun meraih hati Vano. Sekarang tanpa rasa bersalah kau memintaku ikut denganmu. Yang benar saja." ucapnya lembut, tetapi ada ketegasan di sana.

Max terdiam, kata-kata Mitha telak menikam jantungnya

Dia tidak menyangka akan mendapat penolakan dari wanita itu. Mitha yang sekarang sangat jauh berbeda dengan yang dulu dia kenal.

Max berdiri. Dia berjalan ke arah jendela. Di luar hujan turun dengan sangat deras, menghantamkan jutaan kubik tetes air ke jendela kantor Mitha. Laki-laki itu menghela napas lelah, sepasang tangannya tergantung lemah di sisi tubuhnya.

"Tadinya aku berharap bisa memenangkanmu kembali, memperbaiki kesalahanku. Ternyata semua telah berubah, kau berubah, hatimu pun telah berubah," lirih Max, menatap Mitha sendu.

"Apa kau mencintainya?" tanya Max lagi.

Mitha menunduk, jemarinya kembali mainkan ponsel di tangannya, berpikir sejenak.

"Sejak Vano mengucap sumpah pernikahan, aku sudah mengabdikan diri untuknya. Tidak perlu dia mencintaiku atau tidak. Namun, sekarang dia berubah, menjadi lebih hangat, dia begitu ... manis." Netra Mitha menerawang mengingat perlakuan Vano kepadanya satu bulan terakhir.

"Benarkah?! Apa kau tidak curiga kalau itu hanya siasatnya untuk menyingkirkanmu?" tanya Max sinis, mencoba memprokasi wanita itu.

Mitha menoleh pada Max, berpikir sejenak. 'Jika benar maka aku yang akan menghancurkannya hingga tidak bisa bangkit lagi," jawabnya.

Max tersenyum. "Semoga cinta tidak membutakan instingmu, Princess!" Max mengingatkan.  "Aku pergi dulu, mungkin sekarang aku ditolak, tapi percayalah, aku akan selalu mengawasimu. Sekali saja si bodoh itu menyakitimu, lagi ...  aku akan bertindak tanpa meminta persetujuanmu!" Max melangkah pergi meninggalkan Mitha yang diam membeku.

**

Vano menuntun Mitha menaiki tangga batu yang melingkar. Tangan kanannya erat menggenggam jemari Mitha, sementara tangan kirinya merangkul pinggang wanitanya erat.

"Pelan-pelan, Mit," ujar Vano mengingatkan.

"Sebenarnya mau ke mana, sih? Kenapa harus ditutup gini matanya?" tanya Mitha penasaran.

Vano hanya tersenyum, semakin mengeratkan rangkulannya.

"Oke, sudah sampai."

Perlahan Vano membuka kain hitam yang digunakan untuk menutup mata Mitha.

Netra wanita itu mengerjap beberapa kali. Dia masih buta dengan keadaan sekitar, perlahan manik bening miliknya mulai menangkap pemandangan di sekelilingnya. Netranya menjelajah di sekelilingnya, sepertinya saat ini mereka ada di sebuah tempat yang tinggi karena dari tempatnya berdiri terlihat kerlip-kerlip lampu dari perahu nelayan. Angin malam sepoi membelai rambut panjangnya yang dibiarkan terurai.

Mata Mitha memandang takjub. Di depannya terdapat sebuah meja dan sepasang kursi berwarna coklat. Di atas meja terhidang beberapa menu makanan yang menggugah selera, sebotol wine dan beberapa lilin dipasang menambah syahdu suasana.

"Ini ...." Mitha menatap Vano meminta sebuah jawaban.

Vano mendekat sambil memamerkan senyumnya.

"Aku siapin khusus buat kita," ucapnya meraih tubuh Mitha lebih dekat padanya.

Mitha tersipu. "Ini berlebihan, Mas ...."

"Tidak ada yang berlebihan untuk ratuku." Vano menyelipkan rambut Mitha yang dipermainkan angin ke belakang telinganya.

"Maaf, selama ini aku memperlakukanmu dengan buruk, harusnya lebih jujur pada perasaanku. Maukah kau memberiku kesempatan? Kita mulai semuanya dari awal. Aku ingin mempunyai banyak anak dan menua bersamamu," pinta Vano lirih, sambil menatap Mitha lembut.

Mitha terpukau dan terhanyut, kata-kata Vano menyentuh relung hati yang paling dalam, terasa begitu tulus. Bening mata Mitha menyelami danau kelam milik Vano. Tidak ada dusta di sana, yang ada hanya binar cinta yang memendarkan cahaya berkilau.

"Can i trust you?" lirih Mitha.

"Yes, you can!" tukas Vano penuh percaya diri.

Perlahan Vano memagut bibir tipis istrinya penuh cinta, Mitha membalas dengan penuh suka cita. Akhirnya penantian Mitha bertahun-tahun berbuah manis.

**

Di tempat lain ...

.

.

"Apa kau siap kembali?!"

"Lebih dari siap."

"Tugasmu kali ini cukup berat, dia bukan gadis yang sama lagi. Dia tidak akan mematuhi keinginanmu seperti dulu."

"Tenang saja, aku punya seribu satu cara untuk memisahkan mereka."

"Bagus! Tapi ingat, ini permainanku. My rules!"

"Sesuai keinginanmu, sayang ...."

Dua anak manusia itu tersenyum licik. Sebuah rencana siap mereka hujamkan pada rival mereka. Sebuah pembalasan yang akan terasa menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status