PART 6. NIR CAHAYA
Entah sudah berapa hari Alifia dan Raudah terkurung dalam kamar pengasingan, mereka berdua sudah tak sanggup lagi menghitung hari. Makanan yang disorongkan penjaga di depan pintu mulai tak disentuh oleh Alifia. tubuhnya makin kurus dan netranya tanpa cahaya. Sementara Raudah masih yakin akan bisa membunuh Sadam Bhisma, karena itu ia makan dan terus berceloteh agar Alifia melupa derita.
"Makanlah, Kak. Kau harus kuat. Kita akan membalas dendam bersama-sama." bujuk Raudah.
"Aku tak punya harapan lagi. Jika kita berhasil keluar pun si empunya kuasa Sadam akan membunuh kita."
"Ohhh ... betapa cemen-nya kamu, Kak Alifia. Tidak percayakah bahwa kita masih punya kekuatan dan kesanggupan melawan? Bukankah hari lalu kau yang mengajariku? Bukankah kaubilang bertekad membunuh Sadam?"
Suara Raudah meninggi.
"Lalu kenapa sekarang takluk pada garis takdir yang ditetapkan Sadam. Kausamakan Sadam dengan Tuhan. Betapa kerdilnya kau kini, Kau bukan Ratu lagi!"
Raudah berdiri dan menghadapkan wajahnya lekat-lekat pada Alifia, ia sangat kecewa. Padahal pelayan itu berharap akan belajar banyak dari kecerdasan dan wawasan yang dimiliki Alifia yang menjadi teladan adik-adiknya. Ingin sekali Raudah berguru pada seorang perempuan yang tak pernah bersikap ambigu terhadap pilihan nilai hidup. Tetapi kini?
Sementara mata Alifia memerah, panas dan berair.
"Bangun, Kak .... Lihat aku. Aku akan terus menjadi tangguh untuk membunuh lelaki jahanam itu! Tapi jika kau mati lebih dulu. Kau akan membuatnya tertawa terbahak-bahak bahkan sampai ke akhirat!"
"Raudah ... Raudah ... hiks. Aku benar-benar kehilangan cahaya. Rasanya mataku sudah buta dan tak dapat melihat kenyataan."
Alifia menangis, duduk dan memeluk Raudah hingga bahunya terguncang. Raudah pun menangis.
"Bukankah yang kaumaksud buta adalah kiasan, Kak Alifia?"
"Tidak ... ini sungguhan. Aku tak melihat apa pun kini." ujar Alifia sambil meraba wajah Raudah. "Aku benar-benar buta, secara tiba-tiba. Semalam aku mencari-cari sumber cahaya sebab kukira lampu kamar kita memang padam. Tetapi cahaya itu tak kutemukan hingga kini. Aku buta, Raudah. Buta secara nyata. Perilaku keji Sadam lah kiranya yang telah memadamkan cahaya penglihatanku. Aku butaaaa!"
Alifia berteriak keras-keras dengan sisa tenaganya.
Raudah merengkuhnya dan mengusap linang air mata Alifia meski ia sendiri pun tak sanggup menahan kepiluan. Ia tak percaya kalau Alifia benar-benar mengalami kebutaan. Raudah pernah tahu tentang psikosomatis, tapi tentu tak bisa separah itu sampai penderitanya mengalami kebutaan total. Karena itu ia mencoba mendekatkan cahaya lampu pada mata Alifia. Namun tak berhasil merespon. Alifia benar-benar buta.
"Dengar, jikalau kau buta sungguhan. Kakak masih bisa menajamkan indera yang lain. Kau punya penciuman, kau punya telinga yang bisa kautajamkan pendengarannya, kau punya kepekaan batin untuk melihat kebenaran." ujar Raudah. "Kita harus sama-sama berjuang, Kak Alifia. Kita harus kompak dan yakin untuk bisa memenangkan hak kuasa atas tubuh kita sendiri."
Alifia mengangguk setuju.
"Yakin ya, Kak? Kau masih percaya pada kuasa Allah?" tanyanya sekali lagi.
Alifia mengangguk lagi sambil mengusap air matanya.
"Kalau begitu makanlah, Untuk yakin kau harus kuat!"
Raudah menyuapi Alifia dengan nasi dan sup yang hampir basi.
"Bagaimana ... bagaimana kalau dia datang lagi dan memperkosa kita lagi?" tanya Alifia.
"Sudah kukatakan aku akan membunuhnya. Dibantu olehmu tentunya."
"Tapi ... lihat betapa lemahnya kita. Bahkan kita tak punya senjata apa pun."
"Aku akan mengusahakannya!"
"Mengusahakan apa?"
"Senjata tentunya!"
"Dari mana?"
"Akan kupikirkan nanti. Yang penting Kak Alifia harus punya banyak energi untuk membantuku melawannnya."
Raudah kembali menyuapi mulut Alifia. Bibir perempuan itu mengering dan tak menarik lagi untuk dipandang lelaki. Raudah merasa iba pada Alifia, dilupakannya rasa iba pada nasibnya sendiri yang ikut terkurung tanpa tahu kapan bisa menghirup udara bebas. Kini yang lebih penting baginya adalah mengatur strategi agar bisa lolos dengan memiliki senjata.
Raudah teringat pada cerita neneknya di kampung, bahwa senjata paling ampuh adalah senyuman. Senyuman seorang wanita bisa merebut hati siapa pun yang melihatnya, ia bisa mengubah wajah dunia. Kali ini Raudah akan menggunakan senyuman itu untuk merebut senjata yang sesungguhnya, dari pria yang selalu merasa berkuasa atas tubuh wanita.
***
Bulan-bulan berlalu di Desa Uluwatu, membawa perubahan signifikan pada Alifia. Rutinitas latihan bela diri di bawah bimbingan para tetua desa telah mengukir ulang tubuhnya. Dulu, ia adalah gadis kota yang anggun, lembut, dengan gerak-gerik halus. Kini, bahunya tampak lebih bidang, lengannya kokoh berotot, dan setiap gerakannya memancarkan kekuatan yang tersembunyi. Kekuatan fisik ini bukan hanya hasil dari latihan, tetapi juga cerminan dari tekad baja yang kini menguasai jiwanya. Ia adalah Alifia yang baru, jauh berbeda dari gadis penakut yang pertama kali tiba di Uluwatu beberapa bulan lalu. Namun, transformasi fisiknya tak sedikit pun mengikis kelembutan hatinya. Justru sebaliknya, kelembutan itu kini terwujud dalam cara yang berbeda, lebih mendalam. Di sela-sela latihannya, ia masih menghabiskan waktu berjam-jam di alat tenun. Jemarinya yang dulunya halus kini lebih kuat, namun tetap cekatan merangkai benang-benang hitam. Ia mulai bereksperimen dengan motif-motif baru yang lebih ru
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Raudah dan Alifia semakin menyatu ke dalam kehidupan Desa Uluwatu. Pakaian hitam tenunan sendiri tak lagi terasa asing di kulit mereka; kini, itu adalah bagian dari identitas baru. Mereka fasih berbahasa daerah, memahami adat istiadat, dan bahkan ikut serta dalam upacara-upacara sederhana yang diselenggarakan di bawah naungan pohon beringin tua. Bisikan-bisikan tentang "orang luar" hampir lenyap, tergantikan oleh senyum dan sapaan akrab. Desa Uluwatu, dengan segala misteri dan ketenangannya, telah menjadi rumah bagi mereka.Alifia, setelah pulih sepenuhnya, menunjukkan bakat luar biasa dalam menenun. Jari-jarinya yang cekatan mampu menciptakan pola-pola rumit dengan benang hitam, bahkan mulai berani menambahkan sentuhan merah gelap seperti yang Rahajeng kenakan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di bale-bale, di antara gemeretak alat tenun, seolah menemukan kedamaian dalam setiap helai benang yang ia rangkai. Namun, di balik
Hari-hari berlalu di Desa Uluwatu. Raudah dan Alifia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan sederhana di sana. Alifia perlahan pulih, kakinya sudah tidak lagi terpincang-pincang. Mereka berdua sering membantu pekerjaan desa, dari menumbuk padi dan jagung hingga mengangkut air dari sungai. Meskipun penduduk desa menerima mereka dengan tangan terbuka, Raudah tak bisa memungkiri bisikan-bisikan dan tatapan penuh kewaspadaan yang sesekali ia tangkap. Warna kulit mereka yang lebih terang dan pakaian yang tidak selaras dengan warga Uluwatu lainnya masih menjadi penanda mereka sebagai "orang luar".Suatu sore, ketika Raudah dan Alifia sedang menjemur hasil tenunan yang sudah jadi di depan rumah Mbah Surti, seorang gadis desa mendekati mereka. Gadis itu seumuran Alifia, dengan mata bulat yang cerah dan senyum yang tulus. Ia mengenakan pakaian hitam khas desa, namun ada sentuhan warna merah gelap pada motif tenunan di bagian pinggir kainnya, membuatnya tampak sedikit berbeda dari yang lain."Kal
Pagi di desa tersembunyi itu datang dengan kabut tipis dan udara dingin yang menusuk tulang. Raudah terbangun lebih dulu. Alifia masih terlelap pulas di sampingnya, napasnya lebih teratur setelah luka di kakinya diobati. Raudah keluar dari rumah kayu sederhana yang mereka tempati. Suasana desa masih sunyi, hanya suara ayam berkokok dan gemericik air sungai yang memecah keheningan.Dia mengamati sekeliling. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, beberapa di antaranya tampak lebih tua dengan lumut menempel di dinding. Tidak ada suara mesin, hanya derit pintu dan langkah kaki penduduk yang mulai beraktivitas. Raudah melihat beberapa wanita paruh baya telah sibuk di luar rumah. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, kain dililitkan sebatas dada, dan kepala mereka terbalut kerudung hitam yang tampak tebal. Kerudung itu, Raudah perhatikan, terbuat dari kain tenunan kasar yang terlihat kokoh, seolah melindungi mereka dari sesuatu. Kerudung yang sama juga dipakai oleh Mbah Surti. Kaum pria pun mengen
Raudah dan Alifia berjalan terseok-seok menembus semak belukar yang lebat. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek itu semakin menanjak dan licin. Hutan di sekitar mereka tampak semakin gelap dan sunyi, seolah menelan setiap suara. Alifia mengerang kesakitan, lukanya di kaki kembali terasa nyeri. Raudah mencoba memapahnya sekuat tenaga, tetapi dia sendiri mulai kelelahan."Kita hampir sampai, Lifia... Bertahanlah," bisik Raudah, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.Kaki mereka terasa pegal, napas memburu, dan rasa putus asa mulai menyelimuti. Mereka bertanya-tanya, apakah desa itu benar-benar ada atau hanya harapan kosong. Tiba-tiba, Alifia tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh berlutut."Raudah... aku tidak kuat lagi," rintih Alifia, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Raudah berlutut di sampingnya, memeluk erat bahu Alifia. "Tidak, Lifia, kita harus kuat! Kita sudah sejauh ini. Tuhan akan melindungi kita."Saat Raudah berusaha mengangkat Alifia, samar-samar terdenga
PART 12. KEMARAHAN SADAM BHISMA Betapa marahnya Sadam Bhisma atas keteledoran Ray yang sudah diberinya bayaran di muka untuk menjaga dua tawanannya. Ia tak menyangka lelaki itu bisa termakan umpan Raudah. Sadam Bhisma segera membereskan urusan bisnisnya dan bergegas mencari sendiri Ray, Raudah dan Alifia. Ia hanya ditemani Bram, kaki tangannya di kantor. Dengan mengendarai mobil ranger-nya mereka mengendus jejak pelarian di hutan pinus. "Untuk Ray, tak ada kata ampunan lagi." ujar Sadam Bhisma kepada Bram yang sedang menyetir. "Tentu." Bram menyetujui. "Cepatlah mengemudi, aku masih banyak urusan." Lantas ranger raptor merah itu mempercepat lajunya menembus hutan yang mulai pekat. Tak seberapa lama sampailah mereka ke kedalaman hutan pinus yang sudah tak dapat lagi ditembusi kendaraan mereka. "Di sini saja, Bos?" "Ya. Siapkan senjata dan senter!" "Baik!" "Hmmm ... sudah lama aku tidak berburu di hutan." Bram mengikuti Sadam Bhisma yang berjalan dengan langkah le