IBU YANG KAU BUANG

IBU YANG KAU BUANG

Oleh:  Uci ekaputra  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
30Bab
4.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Masa tua adalah masa yang membuat tubuh semakin melemah. Tapi bagaimana jika di masa tua malah anak-anakku membuangku setelah aku tidak bisa lagi bekerja

Lihat lebih banyak
IBU YANG KAU BUANG Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
30 Bab
Pensiun
"Loh, sudah pulang, Buk?" tanya bungsuku yang sedang membersihkan motor kesayangannya di depan rumah.Motor yang aku hadiahkan saat dia pertama bekerja. Saat itu aku pikir, jika aku memberikannya motor impiannya, dia akan semangat untuk bekerja. Tapi kenyataannya sungguh berbeda.Aku tersenyum tipis, melangkah mendekat ke arahnya. "Iya, Mar.""Kok tumben, Buk? Biasanya pulang jam empat sore," tanyanya lagi dengan kening berkerut."Iya, Mar. Hari ini ibu pulang cepat," jawabku."Memang kenapa pulang cepat, Buk? Ada masalah di pabrik?" tanya Damar lagi. Tampaknya dia penasaran dengan sebab aku pulang lebih cepat. Karena memang aku selalu pulang sore setiap hari.Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Damar harus tahu jika aku berhenti bekerja mulai hari ini. Aku harus memberitahunya sekarang.Sudah sejak anak-anak kecil aku bekerja. Aku sudah terlalu lelah. Kini aku sudah tua, sudah saatnya aku berhenti bekerja."Ada yang ingin ibu sampaikan padamu, Mar. Bisa kita b
Baca selengkapnya
Uang Pesangon
"Jaga suaramu, Fen! Aku mertuamu, tidak seharusnya kamu berani kepadaku? Memangnya kenapa jika aku berhenti bekerja? Kamu sudah cukup menikmati hasil keringatku. Jangan menuntutku lebih lagi!" Hatiku meradang diperlakukan tidak sopan oleh wanita yang baru satu tahun menjadi menantuku itu.Feni tampak terkejut mendengar nada suaraku yang terdengar sedikit meninggi. Biasanya aku tidak pernah meninggikan suaraku padanya ataupun pada anak-anakku lainnya."Ibu ... ibu berani membentakku?" cicit Feni. Dia memandangku dengan sorot mata tidak suka.Aku memalingkan wajahku dan tidak menjawab Feni. Rupanya aku terlalu memanjakannya, hingga dia tidak menaruh hormat padaku. Padahal aku selalu menganggapnya putriku sendiri. Aku tidak membeda-bedakan dia dengan Damar ataupun Dina. Aku memperlakukan mereka sama. Setiap dia menginginkan apapun aku juga berusaha untuk memenuhinya."Baiklah. Aku akan mengadukan Ibu pada Mas Damar. Biar Ibu rasakan telah berani membentakku!" ancamnya.Feni melangkah per
Baca selengkapnya
Sama Saja
"Di rumah saja Bu Ratmi?"Aku menolehkan kepalaku saat mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku. Kulihat Bu Darti sedang berdiri di depan halamanku dengan menenteng kresek belanjaan. Aku tersenyum tipis ke arahnya."Iya, Bu," jawabku singkat."Loh, sudah nggak kerja lagi, Bu?" tanya Bu Darti lagi.Aku menghela napas pelan, Bu Darti adalah tetanggaku yang suka kepo dengan urusan orang lain. Dia selalu mencari gosip untuk dibicarakannya dengan ibu -ibu tetangga lain."Nggak, Bu," jawabku sembari mengisi kembali ember dengan air. Aku sedang menyirami tanaman di halaman rumahku ketika Bu Darti sedang lewat."Lha kenapa sudah nggak kerja lagi, Bu?" tanyanya lagi."Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma ingin istirahat saja." Benarkan, dia pasti akan kepo denganku yang sudah tidak bekerja ini."Assalamu'alaikum, Buk." Dina baru saja datang dengan menaiki sepeda motor.Aku lega karena dia datang. Aku sedikit malas berbincang dengan Bu Darti. Dia pasti sedang mencari bahan untuk gosip-gosipnya."Wa'al
Baca selengkapnya
Risma
"Gimana nih, Mas. Kelihatannya ibu tidak mau memberi kita modal."Langkahku terhenti ketika mendengar suara menantuku. Sepertinya dia sedang berbicara dengan Damar. Aku pun memutuskan untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan Damar."Aku juga tidak bisa memaksa ibu untuk memberikannya, Fen. Kamu tahu sendiri kalau ibu itu walaupun orangnya lembut, tapi juga cukup tegas. Sekali beliau bilang tidak, maka kita tidak akan bisa untuk mengubahnya," sahut Damar.Terdengar dengusan kasar dari Feni. Ternyata begini sikap asli menantuku itu. Perempuan berambut panjang itu hanya bersikap baik padaku jika ada maunya. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Selama ini aku telah tertipu oleh kepura-puraannya."Nggak bisa gitu dong, Mas. Pokoknya Mas harus bisa membujuk ibu untuk memberikan kita modal. Mas Hendri sudah mendesakku untuk mencari modal, jika kita ingin ikut investasi di usahanya."Hendri adalah kakak ipar Feni. Me
Baca selengkapnya
Pertemuan Tak Terduga
"Mas Darman, maafkan aku karena aku telah lalai pada Risma dan putramu, Mas. Aku terlalu fokus untuk membahagiakan anak-anakku saja. Aku terlalu fokus bekerja untuk memenuhi apa yang mereka inginkan, sehingga aku telah abai pada Risma dan putramu," lirihku sembari mengusap-usap batu nisan yang bertuliskan nama mendiang suamiku.Setelah dari rumah Risma tadi aku langsung menuju makam Mas Darman. Aku sungguh merasa buruk karena tidak pernah mengunjungi Risma dan juga putra sambungku itu.Kesibukan membuatku lupa dengan mereka. Ya Allah ... ampunilah hamba-Mu ini. Andai aku tidak mengabaikan Risma dan putranya, tentu aku masih sempat melihat wajah Risma sebelum kematiannya. Aku menangis tersedu. Menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Risma.Mungkin sikap kurang ajar anak-anakku adalah teguran untukku karena telah mengabaikan putra sambungku.Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Aku sangat merasa bersalah sekarang. Tapi aku harus bagaimana? Semua sudah terlambat, Risma telah
Baca selengkapnya
Sandiwara
"Ibu dari mana saja hari ini? Kenapa baru pulang?" tanya Damar begitu aku masuk ke dalam rumah.Aku terdiam tidak menjawab pertanyaan bungsuku itu. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Di benakku terdapat pertanyaan. Kenapa Damar sangat berbeda dengan Dani, yang sopan padaku. Padahal dia hanya anak sambungku. Sikap dan perlakuan mereka padaku sangatlah berbeda.Apakah aku yang gagal dalam mendidik anak-anakku? Sedang Risma berhasil mendidik Dani hingga menjadi pribadi yang lembut. Hormat pada orangtuanya.Aku menghela napas panjang. Aku terlalu sibuk menyenangkan anak-anakku hingga aku lupa cara mendidik mereka untuk hormat padaku. Kini aku telah memetik sendiri apa yang telah aku tanam pada mereka."Kenapa diam saja, Buk?" tanyanya lagi.Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Kemudian aku meneruskan langkahku menuju kamar tanpa menjawab pertanyaan bungsuku itu. Hati, pikiran, dan tubuhku sedang lelah saat ini. Aku ingin segera beristirahat."Buk ... Ibu belum menjawab pertanyaanku
Baca selengkapnya
Perbedaan
"Ibu mau kemana lagi? Pagi-pagi sudah rapi sekali?" tanya Damar saat aku melintas di depannya. Dia sedang menikmati kopi di teras.Aku menghentikan langkahku, lalu menatap bungsuku itu dalam. Anak lelaki yang selalu aku sayangi, aku besarkan dengan sepenuh hatiku, yang kelak akan menjadi tumpuanku ketika aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tapi ternyata dia telah membuat sandiwara demi mendapatkan uangku."Ibu mau pergi sebentar, Mar," sahutku."Kemana, Buk?" tanyanya lagi. Dia tampak ingin tahu kemana wanita tua yang melahirkannya ini pergi."Ibu ingin mendaftar umroh," jawabku sembari tetap menatapnya. Ada perubahan di raut muka Damar. Tampak dia tidak senang dengan jawaban dariku.Aku tersenyum miris. Anak lelakiku itu tampak benar-benar tidak senang dengan jawabanku. Raut wajahnya yang tadi tampak ramah kini berganti dengan raut masam. Tapi memang itu tujuanku. Aku ingin melihat ekspresinya saat aku menjawab pertanyaannya.Damar ... Damar. Sebegitu tidak senangnya dirimu jika ibumu
Baca selengkapnya
Hendri
"Ibu ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat bermuram durja?" tanya Dani saat aku hanya diam saja sedari tadi.Aku menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. Sisi rapuhku kembali saat melihat wajah yang bak duplikat Mas Darman itu. Setiap melihat wajah Dani, aku merasa melihat Mas Darman kembali hidup lagi. Ingin sekali aku tumpahkan semua dukaku padanya. Tapi aku bingung, aku tidak bisa menceritakan aib anak-anakku sendiri pada orang lain."Ibu ... Ibu kenapa? Jangan buat Dani khawatir, Buk." Dani terlihat khawatir padaku. Hatiku semakin terenyuh dibuatnya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya."Iya, Buk. Ada apa? Katakan pada kami apa yang sedang menggangu pikiran Ibu. Jika sanggup, kami pasti membantu Ibu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku pun menoleh ke arah wanita dengan balutan hijab berwarna abu muda di sampingku itu. Aku selalu takjub melihat perilaku dan tutur katanya yang lembut. Dia sangat berbeda sekali dengan Feni. Bukan maksudku membandingkan mereka berdua, tapi mereka be
Baca selengkapnya
Jual Mobil
Matahari mulai menurunkan eksistensinya, langit pun telah berubah kemerahan, pertanda senja telah mulai datang. Aku telah selesai menunaikan ibadah wajibku.Sejak sampai dari rumah Dani tadi, aku hanya berada di dalam kamar saja. Aku hanya berdiam diri di kamar. Memikirkan apa yang tadi Dani ucapkan tentang Hendri. Ada sedikit rasa was-was di hatiku, jika Damar benar-benar menginvestasikan uangnya pada suami kakak iparnya itu. Aku takut dia akan tertipu jika investasi yang dimiliki Hendri hanyalah tipuan saja. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa jika Damar tetap bersikeras untuk berinvestasi pada Hendri.Saat aku sampai di rumah tadi, tidak ada siapapun di rumah, Feni dan Damar tampaknya sedang pergi. Bahkan hingga sekarang mereka belum juga pulang. Dalam hati aku bertanya-tanya kemana mereka pergi, hingga sekarang belum juga kembali. Mobil dan juga motor Damar pun tidak ada. Apa mereka pergi dengan berkendara sendiri-sendiri? Feni naik mobil, sementara Damar naik motor?Keningku
Baca selengkapnya
Telepon Dina
"Ah, sudahlah, Buk. Damar capek, lebih baik Ibu pergi saja!" sentakknya, lalu langsung menutup pintu tanpa menungguku bicara lagi.Brak ....Bunyi pintu ditutup dengan kerasnya. Aku tersentak ketika pintu tertutup tepat di depan mukaku.Aku hanya bisa mengelus dada ketika Damar menutup pintu dengan begitu tidak sopan. Lalu aku memutar tubuhku, beranjak pergi dari kamar putraku itu. Kelakuan Damar semakin menjadi saja. Dia sampai membanting pintu di depan wajah ibunya sendiri.Sejenak aku lupa, jika Dani berpesan padaku untuk membiarkan Damar melakukan apapun yang diinginkannya. Harusnya tadi aku tidak langsung menanyai Damar tentang keberadaan mobilnya. Harusnya aku selalu ingat pesan Dani. Agar tidak bertambah sakit hatiku mendapat perlakuan yang kasar dari anakku sendiri.Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba untuk menetralkan rasa sakit di hatiku akibat kekurangan ajaran bungsuku itu. Lebih baik sekarang aku menelepon Dani untuk memberitahunya jika Damar
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status