PART 5. PENA YUSUF
"Bangsat ... lolos dari jerat hukum rupanya dia!"
Jemari Yusuf mencengkeram pulpen dan meremuknya. Senjata data-data yang telah didokumentasikan dan dilaporkan ke pihak kepolisian dianggap belum bisa membuktikan bahwa Sadam Bhisma lah yang menghilangkan jejak Alifia di muka bumi ini. Yusuf Anshori tak habis pikir. Mudah saja bagi negara menemukan jejak koruptor yang lari ke ujung dunia, tetapi untuk seorang Alifia, apakah sulit menemukan jejak kakaknya yang punya langkah lebih terukur?
"Kak, aku akan menemukan dan menyelamatkanmu. Kupertaruhkan karir wartawanku apabila tak bisa mengendus di mana si bangsat Sadam menyembunyikanmu!"
Yusuf kini berusia dua puluh tiga tahun, dengan karir cemerlang sabagai penulis dan wartawan media ternama.
"Aku berhutang budi padamu, Kak Alifia." Yusuf terus menggumamkan nama Alifia.
Ya, jemari Alifia lah yang menuntun ia ke arah terang-benderang aksara. Tutur cerita demi cerita Alifia lah yang membuka cakrawalanya pada jendela dunia menakjubkan. Seolah ia mengendarai permadani menyusuri kisah-kisah tauldan dengan keajaiban yang menawan. Alifia bersabar membacakannya cerita diterangi satu pelita dan cahaya bulan, lalu menuntun Yusuf membaca kata demi kata dan membuatnya jatuh cinta pada dunia kepenulisan. Hingga akhirnya prestasi demi prestasi ia torehkan. Yusuf menjadi kebanggaaan keluarga berkat kasih sayang Alifia padanya. Sampai suatu hari tangan Sadam merenggut kakaknya dari ruang keluarga dengan sepetak bata.
Yusuf menuliskan opini tentang kisah hilangnya Alifia serta beberapa kejanggalan yang dilihatnya. Baik dengan media digital maupun rubrik opini yang diasuhnya. Tapi rupanya tanggapan redaktur kurang baik.
"Hentikan menulis opini tentang kakakmu!"
Suara seseorang menggelegar menggebrak meja Yusuf.
"Lho ... aku berhak ...."
"Kamu tidak berhak. Aku ketua redaksi. No way! Silakan ambil cuti dan cari kakakmu. Tak perlu menuliskannnya lagi sebagai opini. Kamu tahu apa akibatnya? Koran kita dibredel oleh Sadam, perusahaan dan instansi banyak yang menghentikan status langganan."
Rendi, lelaki bertubuh tinggi sang pimpinan redaksi dengan garangnya mencengkeram leher baju Yusuf Anshori.
"Jadi kamu mau koran ini cuma menampilkan berita aman? Yang tak mengundang pro-kontra. Koran manis milik penjilat macam kamuuuu!"
Gemeretak Yusuf saat mengucapkan itu, disobek-sobeknya naskah opini di depan Rendi dan ia meninggalkan meja kerja sambil mengebraknya.
"Sialan!'
Yusuf bergegas pulang. Ia tak peduli lagi apakah akan dipecat dari kantor media massa ternama tempat ia mengabdi selama tiga tahun ini. Ia benar-benar tak peduli lagi. Diraihnya ransel dan segera mengemudikan motor ninjanya untuk menjenguk ibunya meminta doa restu. Ia akan memulai perjalanan kembara mencari Alifia, Ratu keluarga bilik-bilik sunyi.
***
Alawiyah baru saja selesai sholat ketika putra bungsunya datang.
"Ibu, rindunya aku." Yusuf mengecup dahi perempuan yang telah banyak kerutan di dahinya itu.
"Ahhh tumben kau pulang lebih cepat."
"Aku meninggalkan pekerjaanku.Terserah kalau mereka mau pecat!"
Alawiiyah menurunkan lentera agar lebih dekat ke meja makan keluarga. Ia menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan Yusuf. Mereka makan berdua saja.
"Ada apa sebenarnya?"
"Aku akan mencari Kakak. Polisi tak becus mencari Alifia. Biar aku sendiri saja!"
Mata Alawiyah menelisik dalam-dalam ke bola mata Yusuf, anak bungsu penjaga keluarga.
"Kau tahu resikomya, Nak. Sadam itu ..."
Alawiyah tak bisa melanjutkan kata-kata, ia hanya menangis sesunggukkan sambil menggenggam tangan putra bungsunya.
"Tenanglah Ibu. Sejak kapan Ibu bisa lebih takut pada Sadam dan menafikan kuasa Tuhan"
Yusuf merengkuh bahu Alawiiyah dan mengusap air mata dari sudut-sudut mata renta itu.
"Aku berjanji akan menemukannya dalam keadaaan selamat Ibu. Aku berjanji."
***
Deru motor Yusuf melaju membelah malam. Ke mana arah kembaranya tak ada seorang pun yang tahu, Ia hanya lelaki muda yang berusaha menarik kakaknya satu per satu. Kini kakak sulungnya jatuh ke sumur yang paling dalam, ia harus mengendus di mana sumur itu disembunyikan dan dengan alat apa ia dapat menyelamatkan Alifia. Baru kini ia mengingat kembali pesan Alifia di masa kecilnya.
Yusuf berhenti di sebuah cafe dan meminta segelas cappucino pada pelayan. Ia mencatat semua kebiasaan Alifia dan jejak pelayan yang bisa ditelusurinya.
Salah seorang pelayan cafe mendekati Yusuf dan menawarkan menu lain. Seorang wanita berbaju merah dengan lipstick berwarna senada. Rambutnya hitam kemilau bergelombang sebahu. Tingginya seratus enam puluh lima dan menyorongkan dada padatnya yang setengah terbuka sambil memberikan daftar menu 'selanjutnya'. Wanita itu menatap Yusuf dari ujung kepala hingga ujung pantofel-nya.
"Hmmm ... sendirian, Mas?" kerlingnya manja. "Aku bisa membuatkan menu lain untukmu semalam suntuk agar wajah rupawanmu tak lagi kusut."
Yusuf dalam pikiran kalutnya sedikit terpana dengan tawaran menggoda itu. Suatu ajakan refreshing di tengah kegamangan mungkin akan membuat pikirannya yang buntu menjadi seleluasa jalan tol. Yusuf menghirup sisa cappucino-nya dalam-dalam.
"Tawaran yang manis. Kamu boleh scan WA nanti kabari aku lagi ya .... Tapi bukan saat ini, Manis."
Yusuf menolak dengan halus sambil tersenyum tipis, kumis tipisnya ikut naik dan menampakkan lesung pipi yang membuat si manis semakin penasaran. Kacamatanya kembali dipasang untuk menekuni catatan.
"Ahh .. sayang sekali." wanita itu tersenyum penuh misteri dan menagih scan WA untuk menautkan kontak. Yusuf memberikannya.
Si manis berlalu sambil sesekali mengerling pada Yusuf seolah berharap Yusuf berubah pikiran. Namun Yuusf tampak serius kembali dengan catatannya.
Sementara dalam hati Yusuf sesungguhnya menahan debar jantungnya agar tak terdengar seisi ruang cafe yang sudah mulai sepi. Bagaimanapun ia juga lelaki yang tak mungkin tak tergoda tawaran asmara. Namun ia memiliki rencana lain kini, juga terhadap si manis. Catatan lengkap. Yusuf bersiap-siap melanjutkan perjalanan dan menoleh sesaat kepada si manis yang masih menatapnya dari jauh sambil mempersiapkan pesanan pelanggan lain.
"Apa dia sudah biasa menawarkan 'menu yang lain' pada pelanggannya?" Yusuf mendesah dalam benak dan beranjak pergi.
***
Bulan-bulan berlalu di Desa Uluwatu, membawa perubahan signifikan pada Alifia. Rutinitas latihan bela diri di bawah bimbingan para tetua desa telah mengukir ulang tubuhnya. Dulu, ia adalah gadis kota yang anggun, lembut, dengan gerak-gerik halus. Kini, bahunya tampak lebih bidang, lengannya kokoh berotot, dan setiap gerakannya memancarkan kekuatan yang tersembunyi. Kekuatan fisik ini bukan hanya hasil dari latihan, tetapi juga cerminan dari tekad baja yang kini menguasai jiwanya. Ia adalah Alifia yang baru, jauh berbeda dari gadis penakut yang pertama kali tiba di Uluwatu beberapa bulan lalu. Namun, transformasi fisiknya tak sedikit pun mengikis kelembutan hatinya. Justru sebaliknya, kelembutan itu kini terwujud dalam cara yang berbeda, lebih mendalam. Di sela-sela latihannya, ia masih menghabiskan waktu berjam-jam di alat tenun. Jemarinya yang dulunya halus kini lebih kuat, namun tetap cekatan merangkai benang-benang hitam. Ia mulai bereksperimen dengan motif-motif baru yang lebih ru
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Raudah dan Alifia semakin menyatu ke dalam kehidupan Desa Uluwatu. Pakaian hitam tenunan sendiri tak lagi terasa asing di kulit mereka; kini, itu adalah bagian dari identitas baru. Mereka fasih berbahasa daerah, memahami adat istiadat, dan bahkan ikut serta dalam upacara-upacara sederhana yang diselenggarakan di bawah naungan pohon beringin tua. Bisikan-bisikan tentang "orang luar" hampir lenyap, tergantikan oleh senyum dan sapaan akrab. Desa Uluwatu, dengan segala misteri dan ketenangannya, telah menjadi rumah bagi mereka.Alifia, setelah pulih sepenuhnya, menunjukkan bakat luar biasa dalam menenun. Jari-jarinya yang cekatan mampu menciptakan pola-pola rumit dengan benang hitam, bahkan mulai berani menambahkan sentuhan merah gelap seperti yang Rahajeng kenakan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di bale-bale, di antara gemeretak alat tenun, seolah menemukan kedamaian dalam setiap helai benang yang ia rangkai. Namun, di balik
Hari-hari berlalu di Desa Uluwatu. Raudah dan Alifia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan sederhana di sana. Alifia perlahan pulih, kakinya sudah tidak lagi terpincang-pincang. Mereka berdua sering membantu pekerjaan desa, dari menumbuk padi dan jagung hingga mengangkut air dari sungai. Meskipun penduduk desa menerima mereka dengan tangan terbuka, Raudah tak bisa memungkiri bisikan-bisikan dan tatapan penuh kewaspadaan yang sesekali ia tangkap. Warna kulit mereka yang lebih terang dan pakaian yang tidak selaras dengan warga Uluwatu lainnya masih menjadi penanda mereka sebagai "orang luar".Suatu sore, ketika Raudah dan Alifia sedang menjemur hasil tenunan yang sudah jadi di depan rumah Mbah Surti, seorang gadis desa mendekati mereka. Gadis itu seumuran Alifia, dengan mata bulat yang cerah dan senyum yang tulus. Ia mengenakan pakaian hitam khas desa, namun ada sentuhan warna merah gelap pada motif tenunan di bagian pinggir kainnya, membuatnya tampak sedikit berbeda dari yang lain."Kal
Pagi di desa tersembunyi itu datang dengan kabut tipis dan udara dingin yang menusuk tulang. Raudah terbangun lebih dulu. Alifia masih terlelap pulas di sampingnya, napasnya lebih teratur setelah luka di kakinya diobati. Raudah keluar dari rumah kayu sederhana yang mereka tempati. Suasana desa masih sunyi, hanya suara ayam berkokok dan gemericik air sungai yang memecah keheningan.Dia mengamati sekeliling. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, beberapa di antaranya tampak lebih tua dengan lumut menempel di dinding. Tidak ada suara mesin, hanya derit pintu dan langkah kaki penduduk yang mulai beraktivitas. Raudah melihat beberapa wanita paruh baya telah sibuk di luar rumah. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, kain dililitkan sebatas dada, dan kepala mereka terbalut kerudung hitam yang tampak tebal. Kerudung itu, Raudah perhatikan, terbuat dari kain tenunan kasar yang terlihat kokoh, seolah melindungi mereka dari sesuatu. Kerudung yang sama juga dipakai oleh Mbah Surti. Kaum pria pun mengen
Raudah dan Alifia berjalan terseok-seok menembus semak belukar yang lebat. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek itu semakin menanjak dan licin. Hutan di sekitar mereka tampak semakin gelap dan sunyi, seolah menelan setiap suara. Alifia mengerang kesakitan, lukanya di kaki kembali terasa nyeri. Raudah mencoba memapahnya sekuat tenaga, tetapi dia sendiri mulai kelelahan."Kita hampir sampai, Lifia... Bertahanlah," bisik Raudah, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.Kaki mereka terasa pegal, napas memburu, dan rasa putus asa mulai menyelimuti. Mereka bertanya-tanya, apakah desa itu benar-benar ada atau hanya harapan kosong. Tiba-tiba, Alifia tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh berlutut."Raudah... aku tidak kuat lagi," rintih Alifia, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Raudah berlutut di sampingnya, memeluk erat bahu Alifia. "Tidak, Lifia, kita harus kuat! Kita sudah sejauh ini. Tuhan akan melindungi kita."Saat Raudah berusaha mengangkat Alifia, samar-samar terdenga
PART 12. KEMARAHAN SADAM BHISMA Betapa marahnya Sadam Bhisma atas keteledoran Ray yang sudah diberinya bayaran di muka untuk menjaga dua tawanannya. Ia tak menyangka lelaki itu bisa termakan umpan Raudah. Sadam Bhisma segera membereskan urusan bisnisnya dan bergegas mencari sendiri Ray, Raudah dan Alifia. Ia hanya ditemani Bram, kaki tangannya di kantor. Dengan mengendarai mobil ranger-nya mereka mengendus jejak pelarian di hutan pinus. "Untuk Ray, tak ada kata ampunan lagi." ujar Sadam Bhisma kepada Bram yang sedang menyetir. "Tentu." Bram menyetujui. "Cepatlah mengemudi, aku masih banyak urusan." Lantas ranger raptor merah itu mempercepat lajunya menembus hutan yang mulai pekat. Tak seberapa lama sampailah mereka ke kedalaman hutan pinus yang sudah tak dapat lagi ditembusi kendaraan mereka. "Di sini saja, Bos?" "Ya. Siapkan senjata dan senter!" "Baik!" "Hmmm ... sudah lama aku tidak berburu di hutan." Bram mengikuti Sadam Bhisma yang berjalan dengan langkah le