Alifia dari puing-puing? Yang benar Alifia berasal dari bilik-bilik sunyi di pinggiran kota tua. Ia memang memikat, bulu matanya lentik dan tuturnya bertata krama. Tingginya seratus enam puluh lima dan kulitnya begitu terang dan bersih meski rumah keluarga kecilnya di pinggiran kota itu teramat mungil dan kumuh, hanya sepetak saja. Dulu Alifia mengenal Tuan Sadam Bhisma dari etalase jualan ibunya yang diborong oleh saudagar itu ketika tak sengaja melihat kecantikan Alifia dari kaca mobil. Tak disangka oleh Alifia, saat itulah babak hitam kelam dalam hiduonya. Ketika sang ratu keluarga itu dijauhkan dari adik-adik dan ibunya sendiri oleh lelaki yang ternyata memiliki tiga istri selain Alifia. Ia mendapat dera siksa bertubi-tubi baik dari suami saudagar minyak yang angkuhnya itu, pun dari ketiga istri terdahulu Sadam Bhisma. Bukannya menolong dan mengangkat keluarganya dari keterpurukan kemiskinan. Pernikahan itu justru membuat Alifia mengalami siksa traumatis, menjauhkannya dari keluarganya dan membuat Ratu keluarga itu tiba-tiba menghilang.
View MorePART 1. INGATAN YUSUF
Yang diingatnya di masa lima tahun pertama adalah ruangan segiempat dari tumpukan batu bata yang tak pernah dilapis semen penutup dinding. Pada empat dinding itu Yusuf pernah membuat puisi, menyanyi, membaca cerita dan berdoa di sana. Yusuf dan ketiga orang kakak perempuannya.
Lalu semenjak pagi buta, Ibu Alawiyah akan mengangkat satu-satunya meja yang dimilikinya keluar, ke tepi jalan raya. Meja kayu itu dilapisi hamparan kain dan baki-baki berisi pisang goreng, mandai atau gorengan dari kulit cempedak, ada pula tape goreng. Ibu menawarkan jajanan itu kepada orang-orang yang lewat. Sementara Yusuf serta kakak-kakaknya harus menunggu sampai tinggal beberapa potong kue yang tak laku agar bisa dimakan sebagai sarapan hadiah.
“Ini tape goreng buat sarapan hadiahku ya … jangan kalian rebut!” pinta Yusuf pada tiga kakak perempuannya. Lantas mereka tertawa berderai-derai, entah apanya yang lucu. Seingat Yusuf, kakak nomor tiganya, Sarah, suka sekali mengambil kue incarannya.
Ibu Alawiyah hanya berjualan hingga tengah hari, setelah itu meja akan dialihfungsikan untuk anak-anak yatim itu belajar bersama. Ibu Alawiyah menjadi gurunya, sebab mereka tak memiliki uang dan keberanian untuk bersekolah di sekolah mana pun juga.
Apabila langit telah menjadi gulita, mereka hanya diterangi sebuah pelita dan bintang-bintang. Salah satu hal yang paling disukai Yusuf apabila rembulan sedang purnama. Yusuf dan kakak-kakaknya akan bergantian membaca buku cerita yang diperoleh dari barang-barang rongsokan hasil pungutan di sudut-sudut jalanan dan tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan hal yang paling menyebalkan Yusuf jika tulisan pada buku-buku itu kecil-kecil dan pudar apalagi jika bukunya lusuh dan sobek di sana-sini. Sebab Yusuf akan kesulitan membacanya, maklumlah masih mengeja kata demi kata.
“Biarlah Kak Alifia yang akan membacakan cerita Nabi Yusuf kepadamu, kau pasti suka!”
Di bawah sulur-sulur cahaya purnama, Alifia mulai membacakan cerita tentang Nabi Yusuf, anak lelaki ganteng yang sangat dicintai ayahndanya, Nabi Ya’kub. Sedangkan semua saudara tirinya sangat membencinya bahkan berniat jahat membunuhnya. Hingga anak lelaki itu, yang mungkin seumuran dengan Yusuf Anshori saat itu, diceburkan ke dalam sumur yang sangat dalam.
Mata bulat Yusuf terbelalak, Ia terpana mendengarkan tutur kata Alifia yang sangat sabar dan lembut. Mulut kecilnya ternganga dan terus bertanya mengapa anak lelaki ganteng harus dibunuh? Terlebih lagi namanya sama pula dengan Yusuf Anshori, nama indah pemberian ayah mereka sebelum beliau meninggal dunia.
“Kalian tidak hendak menceburkan aku ke sumur ‘kan?”
“Tidak, adik kecilku yang ganteng. Kami semua menyayangimu meski kadang usil padamu.” Sarah menyela.
“Lagipula tidak ada sumur di antara rumah kumuh ini, haruskah kakakmu menggalinya?” goda Hanifa yang disambut derai tawa Sarah. Tapi Ibu Alawiyah yang kebetulan lewat hendak menata gorengan, menjewer telinga mereka berdua.
“Kelak jika kau telah dewasa, justru kaulah yang akan menarik kami dari sumur.” imbuh Alifia membuat Yusuf merasa gagah dan perkasa.
“Sumur … sumur yang mana?”
“Sumur kebodohan dan kemiskinan. Kau bisa menarik kami satu per satu!”
Yusuf tak begitu paham akan kata-kata kakaknya, Alifia. Anak pertama ibu yang berusia delapan belas tahun nan cendekia. Namun saat itu pula Yusuf mulai bersyukur bahwa tiga kakak perempuannya tak ada yang berniat menyakiti meskipun Yusuf lebih rewel dan menyusahkan ibu daripada mereka.
Yusuf cepat tidur dengan kepala tertumpu di atas meja. Lalu Ibu Alawiyah pasti memindahkannya ke sebuah dipan karung yang dilapisi sprey bunga-bunga kusam. Kakak-kakak Yusuf akan menyusul kemudian setelah menyiapkan adonan untuk gorengan esok hari. Sedangkan Ibu Alawiyah masih menghabiskan malam hari dengan menjahit ataupun mengemas adonan.
Malam terasa sangat sunyi, bilik-bilik rumah tetangga sama rapat dan sunyi. Hingga kadang-kadang Yusuf terbangun hanya karena ingin melihat taburan bintang di luar sana yang bersinar semakin terang di tengah malam seolah ada keramaian di sana. Pesta pora gemintang nan riuh dengan pakaian dipenuhi permata. Adakah Nabi Yusuf sedang berbahagia di sana? Tanya Yiusuf selalu yang dijawab oleh desau angin yang menyelinap dari jendela. Membelai pipi bulatnya yang menjadi terasa dingin dan kembali mengantuk pada akhirnya.
***
Setelah malam-malam benderang di antara rongsokan, ada babak kehilangan yang sangat besar dalam hidup Yusuf. Saat itu Alifia sedang menata barang-barang dan pakaiannya ke dalam sebuah tas besar berwarna biru. Yusuf tak mengerti, saat itu ada lelaki setengah baya menggandeng lengan Alifia sementara ibu hanya mengangguk setuju. Yusuf tak mengerti mengapa Alifia memakai gaun putih dan menyulam tangan dengan henna bertinta emas. Ia memang tampak lebih cantik dari biasanya, tetapi tatapannya kosong. Alifia memeluk Yusuf untuk terakhir kali dan menyampaikan pesan perpisahan.
“Kakak akan menikah dan mengikuti suami Kakak. Kakak berharap masih bisa bercerita untukmu suatu saat nanti. Baik-baiklah, jaga ibu dan kakakmu yang lain.”
Saat itu Yusuf menangis sejadi-jadinya, bagaimana mungkin ia bisa kehilangan kakak yang paling lembut dan pandai bercerita? Sedangkan kelanjutan kisahnya tentang nabi-nabi masih ia nantikan di setiap malam. Mungkin karena lelaki setengah baya itu akan menarik mereka semua dari jurang kemiskinan?
Ya mungkin saja, pikir Yusuf kecil saat itu. Sebab dari lelaki suami Alifia, mereka mendapatkan semen tambahan untuk ruang menjahit ibu. Namun tetap saja mereka menyambung hidup dengan berjualan, menjual rongsokan dan menjahit pakaian. Tetap saja tak bisa ke sekolah.
Yusuf hanya mendoakan Alifia supaya dia bahagia di rumah barunya dan suatu saat bisa sesekali menginap di bilik sunyi, untuk membacakan sebuah cerita lagi. Kini gantian Hanifa yang mulai membacakan cerita untuk Yusuf jika purnama tiba dan mereka boleh bercengkerama di malam hari lebih lama.
“Sudahlah … biar aku baca sendiri bukunya. Aku harus bisa.” tukas Yusuf di tengah tutur cerita Hanifa yang membacakan buku dengan nada datar sambil sesekali menguap. Udara dingin angin malam mulai menusuk-nusuk, sehingga Hanifa cepat mengantuk
Yusuf mengingat kembali bagaimana Alifia memintanya mengulang suku kata dari bacaaan indah yang mereka temukan di tempat sampah. Alifia yang tak pernah mengantuk hingga adik bungsunya lega seusai satu buku cerita selesai dibacakan.
“Nah betul. Kau harus bisa karena kau lelaki hebat!” tukas Sarah sembari menyodorkan buku-buku lainnya yang penuh gambar aneka warna.
Mata kembara Yusuf mulai mengeja kata demi kata, lebih lantang dari suara Hanifa. Kadang mereka tertawa mendengar ejaan cadel Yusuf. Tapi Yusuf tak peduli, Yusuf merasa harus menguasai buku-buku yang menarik hati dan rasa penasarannya tentang dunia lain di luar sana. Sebab dari sanalah Yusuf mulai menggenggam dunia dengan pena. Yusuf membaca dan terus membaca, sampai Yusuf rela membacakan cerita untuk kakak-kakaknya yang jenaka di setiap purnama. Lalu setelah itu Yusuf akan menuangkan imajinasinya dari hasil bacaan yang ditulis di atas secarik kertas. Bermesraan dengan huruf-huruf yang mulai tertata.
Syahdan ketika di kampung ada lomba menulis dan membaca puisi, Yusuf tampil ke atas panggung, dengan suara lantang. Tiba saat pengumuman dada Yusuf berdebar, saat itu usianya sudah sepuluh tahun dan tak cadel lagi. nama Yusuf disebut sebagai pemenang pertama. Panitia lomba memberinya medali, piagam dan uang lima ratus ribu rupah. Uang pertama yang diserahkannya pada Ibu Alawiyah dengan rasa bangga. Tak pernah ia menggenggam uang sebanyak itu.
“Yusuf, terima kasih Nak. Kau membuat Ibu bangga. Teruslah menulis dan membaca. Ibu yakin peruntunganmu ada di sana.” ucap ibu Alawiyah pada Yusuf sembari memberikan kemeja baru untuk dipakai jika nanti ada lomba lagi. Biar tak malu lagi karena bajunya hanya itu-itu saja.
"Aku tak malu, Ibu. Aku bangga dengan apa adanya diriku. Sebab dari buku-buku aku tahu bahwa hanya rasa ragu dan malu yang bisa mematahkan harapan dan menghalangi kesuksesan."
Semenjak itu kakak-kakak Yusuf selalu mencarikan informasi tentang berbagai lomba menulis, bercerita dan membaca puisi. Yusuf sih senang saja, apalagi di usia yang terbilang cukup belia Yusuf sudah berhasil memenangkan berbagai lomba menulis dan bercerita. Lelah ibu Alawiyah seperti terbayarkan sedikit demi sedikit. Yusuf membangunkan rumah yang lebih besar untuknya.
Ketika kakak kedua, Hanifa dilamar orang, Yusuf resah dan bertanya.
"Apakah kau mencintainya, Kak Hani?"
Yusuf teringat akan bacaan rumus relasi hubungan suami dengan istri, bahwa cinta adalah esensi yang harus ada dalam kehidupan berumah tangga. Ia khawatir mata Hanifa akan kosong seperti Alifia saat menikah dengan duda kaya.
"Aku yakin cinta itu kaya tetapi kaya bukan berarti cinta."
“Aku tidak mencintainya. Namun aku takut aku hanya memberatkan ibu,” Hanifa menjelaskan.
“Kalau begitu jangan mau. Biar aku yang membantumu untuk tidak menyusahkan ibu,” sahut Yusuf meyakinkan.
Maka mereka bekerja keras, dua kali lipat lebih keras dari biasanya. Hanifa menjadi pengkritisi tulisan-tulisan Yusuf sebelum diterbitkan ke koran-koran dan majalah, selain mencarikan even lomba yang bisa diikuti adiknya. Sarah bertugas mendampingi ibu dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Mereka berbagi tugas. Hingga suatu saat Hanifa dan Sarah mampu melanjutkan sekolah meski hanya dengan Kejar Paket C. Yusuf sendiri memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya kuliah dengan bekal tabungan dari hasil lomba demi lomba dan honor menulis di berbagai media massa.
Tiba-tiba entah angin apa, di suatu senja merah, Alifia menyurati Yusuf,
“Dik Yusuf. Benar ‘kan kata kakak, kaulah yang menarik kami dari sumur ketepurukan dan kebodohan. Kemiskinan tanpa ilmu adalah malapetaka nyata. Kakak sekarang berada di rumah terang yang cahayanya melebihi taburan bintang jika dilihat dari bilik sunyi kita. Tapi kakak tak cukup tenang di sini. Doakan kakak agar bisa belajar bahagia dengan kenyataan yang ada.~ Alifia.”
Air mata Yusuf jatuh. Alifia tak kunjung mengandung makanya kini ia mulai dijauhi suaminya. Semenjak itu Yusug berjanji dalam hatinya. "Aku Yusuf Anshori, aku lelaki yang tak akan membiarkan para perempuan menderita dan terkungkung oleh stigma yang menjerat mereka.”
***
Bulan-bulan berlalu di Desa Uluwatu, membawa perubahan signifikan pada Alifia. Rutinitas latihan bela diri di bawah bimbingan para tetua desa telah mengukir ulang tubuhnya. Dulu, ia adalah gadis kota yang anggun, lembut, dengan gerak-gerik halus. Kini, bahunya tampak lebih bidang, lengannya kokoh berotot, dan setiap gerakannya memancarkan kekuatan yang tersembunyi. Kekuatan fisik ini bukan hanya hasil dari latihan, tetapi juga cerminan dari tekad baja yang kini menguasai jiwanya. Ia adalah Alifia yang baru, jauh berbeda dari gadis penakut yang pertama kali tiba di Uluwatu beberapa bulan lalu. Namun, transformasi fisiknya tak sedikit pun mengikis kelembutan hatinya. Justru sebaliknya, kelembutan itu kini terwujud dalam cara yang berbeda, lebih mendalam. Di sela-sela latihannya, ia masih menghabiskan waktu berjam-jam di alat tenun. Jemarinya yang dulunya halus kini lebih kuat, namun tetap cekatan merangkai benang-benang hitam. Ia mulai bereksperimen dengan motif-motif baru yang lebih ru
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Raudah dan Alifia semakin menyatu ke dalam kehidupan Desa Uluwatu. Pakaian hitam tenunan sendiri tak lagi terasa asing di kulit mereka; kini, itu adalah bagian dari identitas baru. Mereka fasih berbahasa daerah, memahami adat istiadat, dan bahkan ikut serta dalam upacara-upacara sederhana yang diselenggarakan di bawah naungan pohon beringin tua. Bisikan-bisikan tentang "orang luar" hampir lenyap, tergantikan oleh senyum dan sapaan akrab. Desa Uluwatu, dengan segala misteri dan ketenangannya, telah menjadi rumah bagi mereka.Alifia, setelah pulih sepenuhnya, menunjukkan bakat luar biasa dalam menenun. Jari-jarinya yang cekatan mampu menciptakan pola-pola rumit dengan benang hitam, bahkan mulai berani menambahkan sentuhan merah gelap seperti yang Rahajeng kenakan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di bale-bale, di antara gemeretak alat tenun, seolah menemukan kedamaian dalam setiap helai benang yang ia rangkai. Namun, di balik
Hari-hari berlalu di Desa Uluwatu. Raudah dan Alifia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan sederhana di sana. Alifia perlahan pulih, kakinya sudah tidak lagi terpincang-pincang. Mereka berdua sering membantu pekerjaan desa, dari menumbuk padi dan jagung hingga mengangkut air dari sungai. Meskipun penduduk desa menerima mereka dengan tangan terbuka, Raudah tak bisa memungkiri bisikan-bisikan dan tatapan penuh kewaspadaan yang sesekali ia tangkap. Warna kulit mereka yang lebih terang dan pakaian yang tidak selaras dengan warga Uluwatu lainnya masih menjadi penanda mereka sebagai "orang luar".Suatu sore, ketika Raudah dan Alifia sedang menjemur hasil tenunan yang sudah jadi di depan rumah Mbah Surti, seorang gadis desa mendekati mereka. Gadis itu seumuran Alifia, dengan mata bulat yang cerah dan senyum yang tulus. Ia mengenakan pakaian hitam khas desa, namun ada sentuhan warna merah gelap pada motif tenunan di bagian pinggir kainnya, membuatnya tampak sedikit berbeda dari yang lain."Kal
Pagi di desa tersembunyi itu datang dengan kabut tipis dan udara dingin yang menusuk tulang. Raudah terbangun lebih dulu. Alifia masih terlelap pulas di sampingnya, napasnya lebih teratur setelah luka di kakinya diobati. Raudah keluar dari rumah kayu sederhana yang mereka tempati. Suasana desa masih sunyi, hanya suara ayam berkokok dan gemericik air sungai yang memecah keheningan.Dia mengamati sekeliling. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, beberapa di antaranya tampak lebih tua dengan lumut menempel di dinding. Tidak ada suara mesin, hanya derit pintu dan langkah kaki penduduk yang mulai beraktivitas. Raudah melihat beberapa wanita paruh baya telah sibuk di luar rumah. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, kain dililitkan sebatas dada, dan kepala mereka terbalut kerudung hitam yang tampak tebal. Kerudung itu, Raudah perhatikan, terbuat dari kain tenunan kasar yang terlihat kokoh, seolah melindungi mereka dari sesuatu. Kerudung yang sama juga dipakai oleh Mbah Surti. Kaum pria pun mengen
Raudah dan Alifia berjalan terseok-seok menembus semak belukar yang lebat. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek itu semakin menanjak dan licin. Hutan di sekitar mereka tampak semakin gelap dan sunyi, seolah menelan setiap suara. Alifia mengerang kesakitan, lukanya di kaki kembali terasa nyeri. Raudah mencoba memapahnya sekuat tenaga, tetapi dia sendiri mulai kelelahan."Kita hampir sampai, Lifia... Bertahanlah," bisik Raudah, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.Kaki mereka terasa pegal, napas memburu, dan rasa putus asa mulai menyelimuti. Mereka bertanya-tanya, apakah desa itu benar-benar ada atau hanya harapan kosong. Tiba-tiba, Alifia tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh berlutut."Raudah... aku tidak kuat lagi," rintih Alifia, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Raudah berlutut di sampingnya, memeluk erat bahu Alifia. "Tidak, Lifia, kita harus kuat! Kita sudah sejauh ini. Tuhan akan melindungi kita."Saat Raudah berusaha mengangkat Alifia, samar-samar terdenga
PART 12. KEMARAHAN SADAM BHISMA Betapa marahnya Sadam Bhisma atas keteledoran Ray yang sudah diberinya bayaran di muka untuk menjaga dua tawanannya. Ia tak menyangka lelaki itu bisa termakan umpan Raudah. Sadam Bhisma segera membereskan urusan bisnisnya dan bergegas mencari sendiri Ray, Raudah dan Alifia. Ia hanya ditemani Bram, kaki tangannya di kantor. Dengan mengendarai mobil ranger-nya mereka mengendus jejak pelarian di hutan pinus. "Untuk Ray, tak ada kata ampunan lagi." ujar Sadam Bhisma kepada Bram yang sedang menyetir. "Tentu." Bram menyetujui. "Cepatlah mengemudi, aku masih banyak urusan." Lantas ranger raptor merah itu mempercepat lajunya menembus hutan yang mulai pekat. Tak seberapa lama sampailah mereka ke kedalaman hutan pinus yang sudah tak dapat lagi ditembusi kendaraan mereka. "Di sini saja, Bos?" "Ya. Siapkan senjata dan senter!" "Baik!" "Hmmm ... sudah lama aku tidak berburu di hutan." Bram mengikuti Sadam Bhisma yang berjalan dengan langkah le
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments