Langkah kaki mereka bergema di bawah naungan hutan selatan. Udara lembap masih mengandung bau darah dari tubuh harimau berlapis batu yang baru saja mereka kalahkan. Inti bercahaya kini tersimpan di dalam kantong Hiro, berdenyut pelan seperti jantung kedua.Tidak ada yang berbicara untuk waktu lama. Zhang Wei sesekali melirik ke arah Hiro, matanya penuh perhitungan. Liu Mei berjalan tenang di belakang, wajahnya tetap datar, seakan pertarungan tadi bukan sesuatu yang menegangkan.“Kalau kau tidak mengambil inti itu, kita bisa membaginya,” Zhang Wei akhirnya membuka mulut. Nada suaranya dibuat seramah mungkin, meski tidak bisa menyembunyikan ketidaksabarannya. “Lagipula, inti kelas dua bernilai tinggi. Kau tidak berniat menyimpannya sendiri, kan?”Hiro menoleh sedikit, matanya dingin. “Inti ini hasil pedangku. Kau hanya berdiri di samping, mencoba menunggu celah. Apa kau merasa layak?”Zhang Wei tersenyum hambar. “Aku hanya berbicara soal kerja sama. Kalau kau menolak, tentu aku tidak bi
Pagi itu langit Paviliun Pedang Langit dipenuhi kabut tipis. Sinar matahari berusaha menembus awan, namun hanya menghasilkan cahaya pucat yang melapisi halaman latihan. Murid-murid sudah berbaris, menunggu pengumuman dari elder. Hari ini bukan hari biasa—ada kabar bahwa sebuah ujian khusus akan digelar.Nama Hiro kembali menjadi pusat perhatian. Di antara barisan kandidat murid, ia berdiri paling belakang, jubah hitamnya kontras dengan pakaian putih para murid lain. Tidak ada yang berani mendekat, seolah udara di sekitarnya beracun.Seorang elder muncul di panggung batu. Jubah panjangnya berwarna biru tua, rambutnya diikat rapi, dan sorot matanya tajam. Ia mengangkat tangan, dan suara bisik-bisik murid pun langsung terhenti.“Hari ini, Paviliun akan menggelar ujian lapangan bagi kandidat murid,” suaranya bergema. “Kalian akan dikirim ke hutan selatan, tempat di mana binatang buas spiritual merajalela. Tugas kalian sederhana: bawa kembali inti binatang kelas dua sebagai bukti kelayakan
Tubuh Bai Jian masih tergeletak di lantai arena, darahnya merembes perlahan, memenuhi celah-celah batu putih. Bau besi menusuk hidung, membuat beberapa murid menutup mulut menahan mual.Namun yang paling menekan bukanlah pemandangan itu, melainkan tekanan gelap yang terus mengalir dari tubuh Hiro. Meski pedangnya sudah ia turunkan, hawa dingin yang menyelubunginya seolah menahan semua orang dalam kurungan tak terlihat.Salah seorang elder akhirnya berdiri. Jubahnya bergetar tipis karena tekanan Hiro, namun matanya tetap tajam.“Kau membunuh murid inti kami. Apa kau tahu konsekuensinya?”Hiro menatapnya tanpa gentar.“Dia datang untuk membunuhku. Apa kau ingin aku berdiri diam dan menunggu pedangnya menembus tubuhku? Jika Paviliun Pedang Langit tak sanggup melindungi muridnya, jangan salahkan aku karena merenggut nyawa mereka.”Kata-kata itu membuat banyak murid menggertakkan gigi. Belum pernah ada orang asing berbicara seperti itu di hadapan elder, apalagi setelah membunuh murid inti.
Arena dipenuhi suara pedang beradu. Dari sepuluh murid Paviliun Pedang Langit, hanya empat yang tersisa. Nafas mereka memburu, tangan gemetar, wajah pucat menahan tekanan.Di depan mereka, Hiro berdiri tenang. Pedang hitam di tangannya masih meneteskan darah.Salah seorang murid berteriak, memaksa keberanian muncul.“Jangan mundur! Kita tidak boleh mempermalukan Paviliun!”Teriakan itu menjadi pemicu. Keempatnya menyerang bersamaan. Cahaya pedang meledak, menutup arena dengan kilatan tajam.Hiro hanya mengayunkan pedangnya sekali. Gerakannya sederhana, seolah sapuan biasa. Namun cahaya pedang itu pecah berantakan, hancur seperti kaca yang retak.Dua murid terhempas ke dinding, darah muncrat dari mulut. Satu lainnya jatuh berlutut dengan luka gores di bahu. Tinggal satu, wajah pucat, tapi masih menggertakkan gigi dan menyerang.Hiro menatapnya sebentar sebelum menghilang. Bayangan hitam berkelebat, dan saat murid itu sadar, pedang hitam sudah menempel di lehernya.Hiro tidak menebas. B
Pagi itu Kota Moonlight ramai seperti biasa, tetapi suasana terasa berbeda. Obrolan di pasar, kedai arak, hingga jalan-jalan kecil hanya berputar pada satu topik: orang asing berjubah hitam yang mempermalukan anak pejabat dan membantai dua kultivator bayaran. Cerita itu menyebar cepat, dari mulut ke mulut, dengan tambahan bumbu yang membuat sosoknya terdengar semakin menyeramkan.Hiro duduk di sebuah kedai sederhana sambil menikmati sarapan. Ia tidak berbicara, hanya mendengarkan riuhnya orang-orang yang bahkan tak sadar objek pembicaraan mereka ada di ruangan yang sama. Sebagian menyebutnya pembunuh legendaris yang bangkit dari kubur, sebagian lain menganggapnya kutukan dalam wujud manusia. Hiro menyesap tehnya, senyum samar terlukis di bibir.Pintu kedai tiba-tiba terbuka. Seorang pemuda berbaju putih dengan bordir pedang emas melangkah masuk. Auranya tajam, setiap langkahnya diiringi tatapan hormat dari orang-orang yang mengenal lambang Paviliun Pedang Langit di dadanya. Ia menatap
Kota Perbatasan Moonlight selalu ramai, tetapi dua hari terakhir suasananya berbeda. Obrolan di kedai, di pasar, bahkan di pelataran sekte kecil hanya membicarakan satu hal: orang asing berjubah hitam yang mempermalukan anak pejabat dan membantai dua kultivator bayaran seolah bukan apa-apa.“Katanya dia hanya menghunus pedangnya sekali, lalu dua orang itu jatuh begitu saja.”“Aku mendengar aura yang ia lepaskan membuat belasan orang pingsan.”“Tidak mungkin ia hanya seorang pengembara. Dia pasti murid sekte besar yang sedang menyamar.”Cerita-cerita itu semakin lama semakin dilebih-lebihkan. Ada yang bilang Hiro adalah reinkarnasi pembunuh legendaris. Ada yang menyebutnya sebagai bayangan kutukan yang turun dari langit. Tidak ada yang tahu kebenarannya, tetapi semua orang membicarakannya.Di sebuah kedai arak, beberapa kultivator muda dari sekte kecil saling berdebat.“Kalau benar dia sekuat itu, mengapa tidak ada sekte yang mengklaimnya?”“Justru karena terlalu kuat, sekte besar past