Bzzzzzzzzzzzzt! Listrik menggelegar mengacaukan seisi akademi, hanya karena emosi seorang gadis bernama Li Zhiya yang meluap tak terkendali. Orang-orang akademi mengira, gadis itu hanyalah anak pemula yang baru saja mengenal dunia super human. Tapi, ternyata ...
Voir plus"Zhiyaaa! Cepat-cepat laa daftar! Jangan bikin Bapakmu ini pensiun sebagai bocah gagal total loh!" serunya sambil mengayun-ayunkan kakinya yang kecil. Suaranya ringan, nyaris seperti anak TK yang sedang cerewet minta jajan, tapi tiap katanya menyimpan tekanan dan ancaman terselubung.
Bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang duduk di atas pagar beton depan warung sebelah rumah kontrakan mereka itu, dengan rambut klimis belah pinggir dan tangan memeluk buku tebal bertuliskan “Dasar-Dasar Formasi Energi Langit” adalah Li Xiaohan, sosok kecil yang secara lahiriah tampak seperti adik laki-laki Zhiya. Tapi di balik wajahnya yang imut, tersimpan jiwa seorang petarung legendaris: Rong Weihan, mantan anggota 10 terkuat di dunia, sekaligus ayah kandung Zhiya.
Zhiya memutar bola matanya, 'Aduh … mulai lagi nih opera sabun jalanan ....'
“Aku bilang betul-betul ini ya,” lanjut Xiaohan, suaranya naik satu oktaf. “Kalau kamu nggak daftar hari ini juga, besok aku suruh burung kertas petir terbang ke kantor pendaftaran! Satu kali sentuh—piakkk! langsung botak tuh mbak resepsionis, baru tahu rasa!”
Zhiya mendengus pelan. “Udah tutup kemarin, Ayah.”
“Justru itu yang bikin keren meh! Masuknya telat, tapi pake surat rahasia gitu, kaya di film-film. Kau liat la, anak-anak lain masuk kayak sayur rebus, kamu ini ... pewaris petir, masuk gaya boss! Aiyaa~ mantap kan?”
“Jadi, maksud Ayah aku harus bikin drama biar heboh, gitu?”
“Betul! Biar semua langsung bisik-bisik. ‘Siapa dia?’ ‘Cantik-cantik misteri~’ Wah, langsung trending nomor satu di kantin.
Zhiya menyipitkan mata. “Ayah terlalu banyak nonton sinetron.”
“Eh jangan hina cita rasa seni loh! Lagian kamu kalau nggak daftar sekarang juga, aku kirim serangga petir. Kecil, lucu, tapi gatal-gatal loh! Dia nyanyi dangdut remix 24 jam nonstop, kamu bisa gila meh~”
Zhiya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Baiklah!"
“Yahh, itu anakku! Jangan kaya colokan longgar laa. Hidup harus kayak listrik tinggi—cetarrr! bikin orang lain panas dingin!”
Sebenarnya, balik segala ocehan dan ancaman absurdnya, Li Xiaohan menyimpan satu rencana gila yang tak pernah ia akui: menjodohkan Zhiya diam-diam. Akademi Superhuman Indo dipilih bukan semata karena reputasinya, melainkan karena putra dari pendirinya, anak muda jenius yang konon tak pernah tertarik pada siapa pun, juga belajar di sana. 'Siapa tahu petir menyambar cinta, kan?' batin Xiaohan sambil menggambar skema jodoh di belakang buku formasi energi. Bagi Xiaohan, menyatukan dua garis keturunan kuat bukan hanya soal strategi ... tapi juga bonus cucu-cucu yang Over Power di masa depan.
Zhiya membenamkan wajahnya ke dalam jaket lusuhnya. Tapi tak ada pilihan. Kalau ia menolak, Xiaohan benar-benar bisa mengirim serangga petir mini yang suka nyanyi dangdut remix dalam kepala.
Dengan langkah malas, ia menyeberang ke arah akademi.
***
Hari itu, langit Jakarta sedikit mendung. Angin berhembus pelan menyapu halaman depan Akademi Superhuman Indo, lembaga paling bergengsi di negara ini untuk melatih manusia-manusia berkekuatan khusus. Bangunan tinggi bercorak modern berdiri megah dengan lambang petir dan perisai menyala di atas gerbangnya. Suasana di dalam akademi cukup sepi. Penerimaan siswa baru telah ditutup sehari sebelumnya.
Namun, seorang gadis tiba-tiba melangkah masuk melewati gerbang utama. Sepasang sepatu kanvas lusuh membungkam langkahnya, menyapu jalanan marmer putih akademi yang mengilap. Ia mengenakan jaket abu-abu tipis yang tampak sudah usang, celana jins longgar, dan ransel kecil tergantung di punggung. Penampilannya tak mencolok. Tapi ada satu hal yang tak bisa disembunyikan, wajahnya.
Wajah itu cantik secara alami, tanpa riasan, tanpa usaha. Rambut hitamnya terurai lepas, matanya tajam namun teduh, bibir tipisnya sedikit mengerucut, dan kulit putih langsatnya membuatnya menonjol di antara gedung beton dan patung besi di sekitarnya. Meski langkahnya terlihat malas, tiap geraknya tampak tenang dan percaya diri.
Hal ini karena ocehan sang ayah yang terus terngiang-ngiang di telinganya.
Beberapa siswa laki-laki yang sedang berada di taman langsung menoleh. Salah satu dari mereka berbisik pelan sambil menyikut temannya, “Eh … liat deh. Siapa tuh? Cantik banget.”
Yang lain ikut melirik dan menimpali, “Itu ... bukan anak baru ya? Tapi penerimaan udah ditutup, kan?”
Seorang perempuan dari kelompok siswa yang duduk di bawah pohon menyipitkan mata, lalu tertawa sinis, “Pasti titipan orang dalam. Gaya cupu gitu, tapi berani datang telat? Yakin gak punya backing?”
Di ruang penerimaan, seorang petugas administrasi yang nyaris menyelesaikan pekerjaannya mendongak dengan dahi berkerut. Gadis itu pun menyodorkan map kecil dan berkata pelan, “Saya ... ingin mendaftar.” Dia adalah Li Zhiya, putri dari mantan anggota 10 terkuat di dunia.
“Maaf, Dik. Pendaftaran sudah ditutup kemarin,” ucap petugas ramah itu.
“Coba buka amplop ini,” sahut Zhiya, lalu menyodorkan sebuah surat dengan segel perak di bagian depan. Petugas itu membuka suratnya, dan wajahnya seketika berubah serius. Ia berdiri, lalu mengangguk cepat. “Tolong tunggu sebentar.”
Beberapa menit kemudian, pintu kaca di belakang meja terbuka. Seorang pria paruh baya berkemeja biru dan jas akademi muncul. Direktur akademi sendiri. Tatapannya tajam saat ia mengamati Zhiya, namun hanya berkata, “Ikuti saya.”
Gadis itu mengikuti sang direktur menyusuri lorong panjang akademi. Dindingnya berhiaskan foto-foto siswa berprestasi, dan layar-layar kecil yang menampilkan aksi pertarungan superhuman di masa lalu. Bau antiseptik dan logam memenuhi udara, khas tempat pelatihan kekuatan ekstrem.
Li Zhiya duduk diam di dalam ruangan besar berisi meja kayu besar dan layar hologram yang menampilkan data siswa. Ia mengamati ruang itu dengan tenang, tak menunjukkan kecemasan sedikit pun. Direktur membuka kembali surat rahasia yang barusan ia terima. Lambang petir yang terukir di kertas bukan simbol sembarang
"Rong Weihan!"
Nama itu adalah legenda, seorang pengendali petir yang dijuluki Lei Shou Wang, Raja Pemburu Petir.
Zhiya memalingkan wajah, berpura-pura tidak peduli. Tapi saat surat itu dibuka, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu apa yang tertulis di sana, dan siapa yang menuliskannya.
Sang direktur membalik surat itu. Di balik kalimat-kalimat pendeknya, tertulis satu pesan penting: “Izinkan putriku masuk. Ia tidak butuh perlakuan istimewa. Biarkan kekuatannya berkembang dengan tekanan. Aku percaya padamu, Teman.”
Direktur menarik napas panjang. “Baiklah, Li Zhiya. Kau diterima.”
"Terima kasih!" Gadis itu menunduk dalam, lalu keluar dari ruangan kepala akademi dengan langkah ringan, nyaris tanpa suara. Surat penerimaan sementara terselip rapi di saku jaket lusuhnya. Rasa lega tak benar-benar muncul, tapi ada satu beban kecil yang lepas dari pundaknya.
Lorong akademi itu sepi dan berkilau. Di kejauhan, suara langkah sepatu pantul dari lantai marmer. Sunyi. Terlalu bersih. Terlalu steril. Ini dunia yang akan ia masuki. Dunia yang sangat berbeda dari lorong sempit rumah kontrakan dan warung depan tempat Xiaohan sering duduk menulis skema jodoh konyolnya.
Zhiya menarik napas pendek, mencoba menenangkan gelombang kecil dalam dadanya, tapi sebelum sempat benar-benar tenang—
Bruk!
Tubuhnya menabrak seseorang, dan ia mundur setengah langkah. Lawan tabraknya tetap berdiri tegak seperti tiang listrik berfondasi baja.
Seorang pemuda berdiri di hadapannya. Tingginya jauh di atas rata-rata, dengan postur tegap dan dada bidang. Seragam akademi-nya rapi sempurna, disetrika hingga kaku. Rambut hitamnya disisir ke belakang, dan matanya... tajam. Tatapan yang bukan sekadar menatap, tapi menilai, menganalisis, dan menghakimi.
Zhiya langsung tidak suka.
"Pendatang baru?" tanyanya, suaranya datar namun tatapannya tajam seperti sedang menilai barang dagangan.
"Ya. Kenapa?" balas Zhiya.
Pemuda itu melipat tangan di dada. "Penerimaan sudah ditutup. Tapi ya ... selalu ada yang bisa masuk lewat pintu belakang."
Zhiya mengangkat alis. “Aku memang pakai jalur khusus.”
Seringai tipis terukir di wajah pemuda itu, tapi tidak ramah. "Jalur khusus, ya? Semoga bukan cuma karena kau punya wajah cantik dan surat sakti dari orang dalam. Akademi ini bukan panggung audisi selebgram."
Zhiya diam. Tapi dalam diamnya, hawa listrik halus mulai merambat di ujung jarinya, sangat tipis, tak kasat mata. Ia menahan diri. Belum waktunya.
“Nama?” tanya pemuda itu lagi, kini nadanya seperti seorang penjaga gerbang.
Zhiya mendongak, menatapnya dari bawah dengan pandangan tajam. Ia sudah cukup sabar. Matanya menyipit, dan ujung bibirnya menegang.
“Cari tau aja sendiri!” semburnya, nada suaranya datar namun mengandung sengatan kesal yang tajam. Ia tidak meninggikan suara, tapi tekanan emosinya terasa jelas.
“Woiii! Kakak Ipar! Rambutmu masih rapi nggak tuh?”Suara cempreng khas Xiaohan memecah ketegangan lorong.Zhiya langsung refleks mendengus keras. “ASTAGA…” desisnya, wajahnya merah padam.Nathan berhenti melangkah, alisnya berkerut tipis. Murid-murid yang ngintip dari pintu kantin langsung cekikikan, beberapa malah merekam sambil menahan tawa.“Astaga, itu adiknya!”“Fix banget dong Kakak Ipar!”“UWOOOO, ketahuan quality time di lorong!”Zhiya mengepalkan tangan, listrik berdesis halus di ujung jarinya. “XIAOHAN!!”Tapi bocah itu malah lari kecil ke arah mereka, sambil mengunyah biskuit seolah tidak ada masalah. Ia berhenti tepat di samping Nathan, menatap ke atas dengan wajah polos, meski matanya jelas penuh usil.“Eh, Kakak Ipar, kamu harusnya hati-hati loh. Kalau rambutmu berdiri seminggu, jangan nyalahin Kak Zhiya yaaa.”KYAAAAA!! teriakan murid yang ngintip makin menggema.Zhiya menutup wajah dengan tangan. “Tutup mulutmu, bocah tengil!”Nathan tetap diam, hanya menatap Xiaohan
“—tertarik,” sela Nathan, sangat perlahan.Zhiya berhenti bernapas. “Apa?”“Terhadap anomali,” tambahnya tenang, seolah membahas eksperimen lab. “Data tidak cocok. Ujian awal, nol. Hari ini, percikan. Saat itu, sensor tantangan aktif tanpa niat. Tiga hal, satu orang. Aku… mencoba menyusun persamaan.”Zhiya menahan tatapan. ‘Ia bukan menggoda. Ia menganalisis. Kenapa rasanya tetap… menohok?’Sorak-sorai kembali bergemuruh, semakin liar. Beberapa murid mulai meneriakkan gabungan nama mereka. “Nath—Zhi! Nath—Zhi!” Seseorang meniup peluit entah dari mana. Seseorang yang lain memutar efek confetti di holo.“Luar biasa,” gumam Zhiya datar. “Kita dijadikan festival.”“Kamu bisa menyalakannya,” ucap Nathan tiba-tiba.“Apa?”“Petirmu,” katanya, setengah menantang, setengah… penasaran. “Kamu bilang bisa membuat rambutku berdiri selama seminggu. Buktikan. Di sini.”“Gila?” Zhiya memelototnya. “Kamu mau seluruh kantin gosong?”“Jika kamu tidak bisa, mereka akan menganggapmu berbicara kosong. Jika
Keheningan yang menyelimuti kantin terdengar bising di kepala Zhiya. Ratusan pasang mata memantul di permukaan meja, di punggung kursi, di lantai yang dipenuhi remah roti dan percikan jus, lalu kembali lagi ke dirinya. Napas para murid terdengar seperti dengung mesin, tidak jelas, tapi mengganggu. Listrik tipis berdesis di ujung jarinya setiap kali ia menahan dorongan untuk meledak.Ia bersedekap lebih kencang. ‘Kenapa Xiaohan harus nyeret Sekar pergi sekarang juga? Dasar bocah tengil!'Nathan berdiri tegap di hadapannya, bayangannya jatuh menutupi setengah meja. Seragamnya begitu rapi sampai kancingnya seperti sejajar dengan garis lantai. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi rahangnya, yang terkenal tidak pernah goyah, mengeras samar. Ada semacam kesunyian dingin yang selalu mengiringi Nathan, seperti AC rusak yang tetap memaksa ruangan dingin.Detik memanjang. Suara kursi berderit di kejauhan. Beberapa murid menahan tawa, beberapa yang lain menggigit sedotan. Selebihnya, menunggu.“Jadi…”
Suasana kantin sudah seperti pasar malam. Murid-murid berdesakan, sebagian berdiri di kursi, sebagian lain sibuk merekam dengan kamera holografik. Semua mata terfokus pada Nathan dan Zhiya yang baru saja membuat satu akademi mendidih dengan percakapan singkat mereka.Zhiya masih duduk di kursinya, bersedekap, tatapannya dingin menusuk Nathan. Aura listrik tipis menjalar dari ujung jarinya, meski ia berusaha menahannya. Sekar di sampingnya tampak panik, tangannya meremas rok seakan ingin menghilang dari pandangan.Nathan berdiri tegap, wajahnya nyaris tanpa emosi, tapi rahangnya mengeras jelas. Kantin menahan napas. Satu detik, dua detik, waktu seperti melambat—“Wuih, rame banget ya di sini?”Suara cempreng tapi penuh kenakalan terdengar dari arah pintu.Semua kepala menoleh serentak.Di sana berdiri seorang bocah berusia tujuh tahun, rambut hitamnya acak-acakan, pipinya belepotan remah biskuit. Ia berjalan santai ke tengah kantin, mengunyah renyah, seolah seluruh ruangan bukan sedang
Suasana kantin Akademi Superhuman Indo biasanya ramai, tapi pagi itu riuhnya terasa berbeda. Bukan sekadar suara sendok yang beradu dengan piring, melainkan gumaman dan bisikan berantai yang menyebar cepat, seperti api yang menjilat kertas kering. Meja-meja penuh dengan murid yang mencondongkan badan, saling berbisik dengan mata berbinar penuh gosip.“Eh, eh! Katanya semalam ada yang manggil Ketua OSIS dengan sebutan Kakak Ipar!?” seorang murid cewek menunduk ke arah temannya, suaranya penuh sensasi.“Apa?! Ketua OSIS Nathan? Jadi dia udah punya pacar?!” sahut temannya, terlalu kencang sampai tiga meja di sekitarnya langsung ikut menoleh.Desas-desus itu merambat dengan kecepatan kilat. Dalam hitungan detik, separuh kantin sudah membicarakan hal yang sama.Di meja tengah, Valerie duduk dengan anggun. Gadis berambut perak itu menyesap jus jeruknya dengan elegan, tapi matanya menyipit saat telinganya menangkap kata ‘pacar’ dan ‘Nathan’. Wajahnya tetap tersenyum, namun jemarinya mengetuk
Lorong masih sepi. Nathan berdiri tegap di depan pintu kamar Zhiya, wibawa ketua OSIS terpancar jelas.“...Kamu potong rambut?” tanyanya datar.Zhiya menoleh setengah, ekspresi dingin. Lalu dengan nada penuh sinis ia menjawab, “Tanya sendiri sama pacar jadi-jadianmu itu!”BRAK!Ia membanting pintu kamar hingga membentur tembok, lalu melengos lewat sisi Nathan tanpa menatap lagi. Sekar buru-buru mengekor sambil membawa sisir, wajahnya antara panik dan berusaha menahan tawa.Nathan tetap berdiri tegap. Tapi kali ini alisnya sedikit berkerut.“…Pacar… jadi-jadian?” gumamnya bingung.Krak krak!Suara kunyah terdengar di sampingnya.Xiaohan, dengan santai duduk di lantai sambil ngemil biskuit, menatap Nathan dengan polos, tapi matanya penuh usil.“Wih, Kakak Ipar selingkuh?”Nathan langsung menoleh cepat, tatapannya tajam.“…Apa?”Xiaohan menggoyang-goyangkan biskuitnya seperti mikrofon. “Pacar asli satu, pacar jadi-jadian satu. Wah, wah… Ketua OSIS ternyata punya life skill ganda juga ya~
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires