Oke, kita mulai up lagi, yak. Jangan lupa sebar komen ya hehe sebelum baca. ***"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman
Aku up Reuni lagi, yak! Jangan lelah menunggu pokoknya, bakar aja kalau mau cepet update. Pembaca senang, penulis pun riang. Wkwk. Happy reading jangan lupa vote, Gaes.ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor s
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?" Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer. Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan. "Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop. "Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok." "Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor. "Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel. "Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak. "
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Al
Meski sepi kayak kuburan, tetep aku update-nya. Aku sayang cerita ini soalnya. (人 •͈ᴗ•͈)"Kalian berhasil menggaet klien?" tanya Danar saat dia meneleponku. Aku baru saja turun dari bus trans Jakarta dan berjalan menuju apartemen. "Lo tau kalau klien kita itu perusahaan tempat Tama kerja?" tanyaku balik, tanpa menjawab lebih dulu petanyaannya. Aku berhenti berjalan dan menunggu lampu merah menyala. "Tau. Kan gue yang nawarin kerjasama pas kemarin di acara reuni. Jadi, kemarin itu follow up tawaran gue." Sudah kuduga. Tahu begini aku–"Dan lo tau pasti bakal dapat kontraknya, kan?" "Oh, kalau itu belum tentu makanya aku kirim kalian. Pas itu Tama bilang mau lihat dulu proposal tawaran kerjasamanya." Syukurlah, itu artinya usaha Arin nggak sia-sia membuat percaya calon klien. "Lo masih di Bogor?" Aku mendongak ketika lampu merah menyala. Lalu kembali berjalan dengan pejalan kaki lainnya untuk menyeberang."Masih, tapi kayaknya sebentar lagi selesai. Gue pulang malam kayaknya."
Ini hal gila yang aku lakukan. Mengizinkan Tama masuk ke unit. Entah apa yang aku pikirkan ketika membolehkannya datang dan menerima ajakan makan malam masakan ibunya. Aku tahu ini salah. Tapi biarkan aku bahagia sejenak. Nggak masalah kan? Setelah ini aku akan menjauh, menciptakan jarak agar bisa membatasi rasa sukaku padanya. Aku sempat lintang pukang setelah menerima telepon dari Tama. Mendadak aku ingin terlihat mengesankan, meski berada di rumah. Lalu aku pilih midi dress sepanjang lutut bergambar dora emon super big, disambung dengan celana legging tiga perempat. Aku merasa ini adalah penampilan terbaikku saat ada di rumah. Santai, tapi nggak berantakan. Aku nggak memakai chussion seperti saat ke kantor, bedak dingin dan olesan lip blam menjadi pilihan alternatif tampil cantik ala-ala gadis rumahan. Jantungku seakan lolos dari rongganya ketika mendengar bunyi bel pintu. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk menetralisir degup jantung yang menggila sebelum aku
Aku merasa sudah bisa menguasai diri setelah makan malam. Meski Tama yang sering bercerita, tapi aku bisa merespons dengan kalimat panjang. Aku berhasil memecah kecanggungan dalam diriku sendiri. Mungkin karena sikap luwes Tama yang dominan. Sehingga membuatku nyaman. Meskipun tetap saja ada batasan yang harus aku jaga. Aku nggak mungkin memperlakukan Tama seperti aku memperlakukan Giko dan Danar, kan? "Kasih tips dong kenapa persahabatan kalian bisa awet," ujar Tama saat kami menutup kegiatan makan malam dengan sepotong buah apel. "Kasih formalin." Tama tertawa mendengar jawabanku. "Memangnya mayat? Ada-ada aja kamu. Tapi aku bisa menduga sesuatu sih." Dia menatapku sejenak mengambil potongan buah apel yang aku simpan di sebuah wadah. "Apa?" "Kamu sahabat yang asyik makanya kalian bisa awet." Aku melengkungkan bibir ke bawah. Dugaannya salah besar. Aku nggak seasyik yang dia pikir. Kata Giko aku cewek paling menyebalkan. Meski Danar nggak bilang aku yakin dia juga berpikiran ya
Giko menambah dua kali nasi. Dia terlihat lahap makan nasi padang plus sambal goreng ati pedas. Sampai-sampai keringat di pelipisnya bermunculan. Sepertinya dia sakit hati gara-gara Bu Rina makan siang bareng Pak Beni. Aku di depannya cuma bisa mengulum senyum. Sekali-kali Giko memang perlu dikasih pelajaran biar nggak asal nemplok sama cewek. "Mau nambah lagi?" tanyaku saat Giko berhasil menandaskan piring keduanya. Dia menggeleng dan mendorong piringnya menjauh lantas menarik gelas es teh dingin di dekatnya. "Cukuplah, gue bisa bengkak. Sore gue bakal ke gym lagi buat buang kalori siang ini." Tentu saja. Makan siangnya kali ini seperti orang kesurupan. Aku sampe ngeri sendiri melihatnya. "Lo nimbun banyak kolesterol loh." "Besok gue diet," ucapnya menyeruput es teh tanpa gulanya. Kata 'ah' meluncur ketika dia berhasil menandaskan isi gelas. "WA Danar gih, Win. Dia udah sampai di kantor belum?" Aku menurut saja dan mengambil ponsel di kantong dompetku yang berukuran panjang. Su