"Kamu nggak apa-apa 'kan Dara?" tanya bu Endang yang membantuku bangun dari jatuhku.
Aku menggelengkan kepala mengatakan tidak dan menjelaskan apa yang menjadi masalah hidupku saat ini. Aku harus meminta bapak pulang saja. Akan sama gilanya jika meladeni bu Mutia dan putranya yang tidak punya malu itu.
Aku bersama bu Endang menghampiri orang tuaku. Untuk mengajak mereka pulang agar tidak jadi bahan gibah tetangga. Walau sudah terlanjur setidaknya harus berhasil membawa orang tuaku masuk rumah dulu.
"Pak, bu ayo pulang malu di lihat tetangga!" ajakku tegas.
"Halah darimana saja kamu dari munjul. Apa takut terbongkar kedokmu sebagai ayam kampus beneran!" seru bu Mutia.
"Heh bu Mutia sadar diri dong. Ngatain anak orang sembarangan. Suruh anakmu kerja jangan jadi pemuda pengangguran kalau naksir anak perempuan yang cantik dan pekerja keras kaya Dara. Cinta ditolak kok menebar fitnah," balas bu Endang tegas dan langsung ngena di hati bu Mutia.
Mendengar percakapan ibu-ibu di warung sayur bu Sri. Bu Mutia kembali meradang ia tidak rela kalau anak kesayangannya dikatakan pengangguran juga hanya bisa numpang makan sama perempuan."Anakku belum beruntung saja dapat pekerjaan. Kalian yang anaknya beruntung bisa cepet dapat kerja jangan pada belagu!" seru bu Mutia."Belum peruntung apanya sih. Memangnya kita semua di sini nggak tahu bagaimana anak bu Mutia," balas bu Endang.Perselisihan berlangsung sengit karena menurut orang yang melihat, putra kesayangan bu Mutia itu sudah banyak yang mengajak kerja tapi setiap diajak kerja baru sehari masuk sudah mogok kerja alasannya adalah capek."Emang dasar anaknya manja saja sudah bagus ada yang bawa kerja pakai keluar alasannya capek. Dimana-mana kerja nggak ada yang enak," jelas bu Sri."Iya bikin malu yang bawa kerjanya. Kalau sekali dua kali mah nggak apa-apa ini tiga kali di bawa orang begitu mulu. Bikin malu yang masukin kerja saja!" seru bu End
Bu Mutia semakin marah dengan apa yang diucapkan ibuku. Beliau semakin tidak terima anaknya dikatakan pengangguran. Memang anaknya pengangguran tapi dia adalah salah satu pemuda tampan yang ada di desa sukma jaya. Pemuda perkasa paling digandrungi wanita-wanita sekitaran desa. "Walau anak saya pengangguran tapi aset berharga berwujud wajah tampan itu sudah dirusak oleh suami ibu. Kalau begitu ibu Siti harus menikahkan anak ibu dengan anak saya jika wajahnya tidak bisa disembuhkan," ucap ibu Mutia. "Kamu itu loh dapat pemikiran darimana. Saya tanya sekali lagi apa yang menjual dari anakmu selain wajahnya yang tampan. Kenyang apa anak orang di suruh nyemilin kegantengan semata?" tanya ibuku sedikit nada tinggi. Bu Mutia masih tak bergeming. Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa lagi karena bu Mutia tetap kekeh kalau anaknya itu berwajah tampan dan banyak yang menaksir. Walau tidak bekerja banyak perempuan yang antre untuk menjadi istrinya. "Bu Siti j
Putra bu Mutia meradang dengan sahutan bu Endang yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Ini bukan urusannya kenapa selalu ikut campur gertaknya dengan kasar. Aku terkekeh geli sendiri mendengar ucapan dari bu Endang yang begitu menohok. Benar juga keuntungannya apa kalau emnikah dengan pria yang mengandalkan ketampanan belaka. TIdak mau bekerja untuk menafkahi. "Keuntungan yang didapatkan tentu saja tidak malu saat diajak kondangan. Hal lainnya tentu saja aku akan memuaskan mereka diatas ranjang. Aku ini pria yang perkasa!" seru anaknya bu Mutia. "Haha ... Terus kamu apa nggak mikir bisa makan bayar anak sekolah, bayar listrik juga beli beras? Mengandalkan keperkasaan doang emang bisa membaut perut kenyang apa?" tanya bu Endang. Aku rasa pria di depanku ini adalah pria sinting yang tidak tahu malu. Bagimana dia bisa dikatakan sebagai seorang pria sejati jika pemikirannya begitu dangkal dan tidak berguna seperti itu. Mana ada anak pejabat dan pengusaha kaya y
Aku memutuskan hal yang sangat kejam mungkin. Ini untuk membuatku waras karena sudah tidak tahan dengan hinaan yang aku terima dari beberapa warga desa sukma jaya ini. Terutama dari bu Mutia dan anaknya."Saya bersedia jadi saksi lagian anak bu Mutia ini kalau ada kegiatan apapun tidak pernah menampakkan diri malah sibuk mencela," balas bu Sri."Terima kasih ibu Sri. Hari ini akan saya buatkan laporannya!" seruku seraya meninggalkan warung.Aku memberikan apa yang diperlukan ibu dari warung bu Sri. Aki segera mandi ke kantor tanpa sarapan dan pamit pada ibu karena buru-buru. Aku menghubungi tim pengacara di perusahaan untuk berdiskusi dengan mereka bagaimana baiknya.Hari ini aku datang ke rumah sakit untuk cek kegadisan harga tidak murah sih tapi tidak apa-apa yang penting sekarang jelas aku tidak seperti yang mereka tuduhkan selama ini.Surat laporan serta bukti sudah aku buat. Sekarang juga sudah dikirim ke rumah bu Mutia. Seketika mendadak hebo
Kami semua tertawa mendengar kata santet di era modern ini. Pasalnya siapa yang percaya santet di jaman serba canggih ini. "Bu Mutia mau cari santet dimana? mau semedi dimana? Atau jangan-jangan bu Mutia ini sudah mempraktekkan ilmu hitam ya?" ledek bu Endang. "Kalau iya kenapa bu. Kalau bu Endang tidak percaya nanti aku kirimkan santet ke rumah bu Endang!" gertak bu Mutia. Kami jadi saling pandang karena merasa tidak percaya dengan adanya santet. Kami hidup berdampingan di sini sudah lama tidak pernah mendengar hal berbau mistis. "Sudah bu Endang tidak usah di ladeni lagi orang gila seperti bu Mutia ini. Orang sudah salah tidak mau kalah ngotot lagi," ucap bu Arum. "Iya bu Endang ayo kita istirahat pulang. Saya tetap mendukung Dara tidak mencabut tuntutannya. Sekarang ada hal baru lagi katanya mau di santet berati 'kan bisa kena pasal pengancaman ya bu?" tanya bu Sri. Aku membenarkan apa kata bu Sri. Serta mengatakan pada bu Mut
Pak Hansip ini aku tunggu jawabannya kenapa seperti tampak ragu untuk menjawab apa yang harus ia katakan depan warga.Membuat panik dan penasaran kami semua yang sudah tak sabar untuk mendapatkan jawaban yang benar."Anu ... itu sebelum saya menjawab apa yang saya dan tim temukan kami mau mau bertanya dulu sama anaknya bu Mutia," jawab pak Hansip."Jangan kelamaan pak. Langsung saja katakan. Apakah putra songong bu Mutia yang ketampanannya tiada tara itu menyembunyikan narkoboy di kamarnya?" tanya bu Endang yang sudah tak sabar. Bu Endang ibu-ibu gahul masa kini makanya pakai bahasa anak muda."Bu-bukan sih tapi sebelum menjawab saya mau bertanya beberapa hal kepadanya," ucap pak Hansip.Pak Hansip memanggil anak bu Mutia terlihat dari atas sini mereka masih penasaran dengan apa yang akan ditanyakan oleh oak hansip di saksiksan oleh pak rw, pengurus rt juga warga sekitar."Nak, apakah ini milikmu?" pak Hansip memperlihatkan sebuah bung
Bu Endang ternyata yang memanggilku. Aku berhenti sejenak dan ingin tahu apa yang akan beliau sampaikan."Ada apa bu, mau julid lagi?" tanya Doni."Heh jangan suudzon begitu sama saya Doni. memangnya saya tukang gosip apa ya. Sampai kamu bilang begitu, aku ini mau bicara serius sama Dara," ucap bu Endang.Aku tenangkan adikku dan mempersilahkan bu Endang untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan oleh bu Endang."Bu Endang minta maaf pernah menuduh Dara sebagai simpanan om-om, mumpung ada umur bu Endang minta maaf ya, takutnya nanti nggak ada umur," ucap bu Endang."Aku nggak salah denger bu Endang? Masa sih ratu gosip macam bu Endang itu mau minta maaf pada kakak saya!" seru Doni.Bu Endang mengatakan yang sebenarnya dalam hati. Beliau sangat menyesali perbuatan selama ini. Beliau mengaku khilaf tapi kalau diingatkan akan mengerti. Beliau meminta maaf atas kesalahan yang selama ini diperbuat."Kak mungkin bu Endang mau m
Pak Rt menyunggingkan senyuman. Beliau meminta untuk musyawarah kembali ke rumah bersama keluarga. Mungkin ini terkait laporan polisi yang aku ajukan ke kantor atas tuduhan pencemaran nama baik."Tidak bu, mumpung bapak dan ibu Dara ada di rumah kami ingin bicara secara kekeluargaan saja kok," ucap pak Rt."Apa pak rt meminta agar Dara mencabut laporan polisi yang sudah dibuat. Jangan ngadi-ngadi pak. Ini untuk menjadikan pelajaran untuk kita semua agar tidak saling menghujat sembarangan!" seru bu Endang.Bu Mutia langsung sewot mendengar mulut bu Endang itu. Bagaimana bisa bu Endang berkata jangan menghujat sembarangan padahal bu Endang sendiri suka berkata sembarangan dan menjengkelkan kepada warga yang lainnya."Ngaca dong bu Endang gimana sih. Bu Endang 'kan suka ngomong nggak jelas juga sampai orang sakit hati!" seru bu Mutia."Itu kan dulu bu karena khilaf aja, emang kenapa sih orang juga ada salahnya. Sekarang kehidupan sudah berbeda. Dunia